Hatta dan Kita
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya; Dosen di FISS Unpas, Bandung
|
KOMPAS, 05
Februari 2016
Selalu bisa menemukan hal-hal baru ketika
membaca karya-karya Mohammad Hatta. Ia tampil di pentas politik
Nusantara pra- dan pasca kemerdekaan bukan sekadar seorang politikus,
melainkan juga negarawan sekaligus pemikir yang piawai merumuskan gagasannya
dengan dingin, mendalam, dan visioner.
Langkah politiknya seakan-akan dibimbing
imajinasi kuat dan rasionalitas kukuh yang menjadi oksigen kehidupannya.
Inilah barangkali yang jadi latar utama mengapa Bung Hatta kukuh
memegang prinsip, kukuh memperjuangkan keyakinan, sekaligus berani mengambil
pilihan hidup bersahaja. Tentu saja termasuk keputusannya menanggalkan
jabatan prestisius, wakil presiden (1957), ketika dipandangnya
Soekarno telah jauh menyimpang dari khitah bernegara yang diimpikannya,
kekuasaan kian terkonsentrasi dalam genggaman satu orang, dan jabatan wakil
presiden sekadar seremonial.
Jangan tanyakan tentang kecintaan Hatta
terhadap Tanah Air. Justru dia sendiri yang mengusulkan untuk menggeser
penamaan Hindia Belanda dengan Indonesia dalam sebuah rapat Indonesische
Vereeniging di jantung pusat kolonial Belanda yang masih
sangat berkuasa. Bukan sekadar usulan nama, melainkan di belakangnya
terhampar iman kebangsaan yang membayangkan bahwa ketika
"Indonesia" sudah menjadi kebutuhan bersama dalam proyek besar
memperjuangkan kemerdekaan, maka hal ihwal yang berbau kedaerahan, etnisitas,
dan isu sempit keagamaan harus lekas dikuburkan. Bagi Hatta,
"Menamakan diri nasionalis Indonesia, tetapi pergaulan dan semangatnya
masih amat terikat kepada daerah dan tempat ia dilahirkan?"
Bersekolah di negeri penjajah tidak membuatnya
menjadi operator dan corong kepentingan kolonial, tetapi justru kian
menumbuhkan sikap kritis. Senarai tulisannya dengan tajam menggugat
Belanda, yang kemudian berujung pada penangkapan terhadapnya,
lalu ia dibawa ke penjara di Casiusstraat, dan harus mempertanggungjawabkannya
di meja Pengadilan Belanda (1927).
Pulang ke Indonesia dalam pengawalan ketat
polisi rahasia (1932), justru ia seolah-olah menemukan tempat yang subur
mengartikulasikan seluruh keresahan politisnya. Dihidupkannya PNI (Pendidikan
Nasionalis Indonesia) bersama kawannya, Sutan Sjahrir. Lewat buku, kursus
politik, brosur, dan majalah, diserukannya rakyat melawan kolonial,
disuntikannya kepada massa agar berani sekaligus tegak lurus dengan
kebenaran. Tentu semua itu bukan tanpa risiko, malah kemudian
mengharuskan dirinya diasingkan ke Banda Neira (1936-1941).
Hatta melakukan semua itu tak dengan pekik,
gemuruh, dan arak-arakan massa, tetapi dengan cara-cara senyap, lewat
pendidikan dan kaderisasi. Bagi Hatta, masa politik ramai itu harus lekas diakhiri
dan sudah semestinya beralih pada cara-cara rasional. Zaman hiruk-pikuk
Diponegoro telah khatam, kilatan pedang model Teuku Umar sudah usai, harus
berganti lewat pendidikan rakyat yang solid, terarah, sistematis, dan jelas.
Di titik ini tentu ia berseberangan dengan Soekarno yang sangat
terobsesi pada pengerahan massa, pidato di tengah khalayak, sekaligus
politik gempita di tengah lapangan dengan teriak manifesto revolusinya yang
dipandang belum selesai.
Politik akal sehat
Bagi Hatta, politik bukan sekadar bagaimana
meraih kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu digarami dengan nyala jiwa,
dengan keutamaan, sikap lurus, dan prinsip-prinsip demokrasi yang
menjadikan kepentingan bersama sebagai titik pijaknya dengan
orientasi secepatnya mendistribusikan kemakmuran kepada masyarakat
luas. Napas seperti ini kemudian terbaca dalam UUD 1945, terutama
pasal-pasal tentang hak berserikat dan kekayaan alam yang seharusnya dikuasai
negara yang notabene pasal-pasal seperti ini datang dari usulan Hatta.
Segala bentuk tirani dan kediktatoran bukan
saja tidak layak hidup dalam sebuah sistem pemerintahan, melainkan dengan
segenap kekuatan harus dilawan. Segala tindakan yang bertentangan
dengan jiwa demokrasi, siapa pun yang melakukannya-termasuk presiden
sekalipun-harus diingatkan, "Perkembangan politik yang berakhir dengan
kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk
lawannya diktator."
Hatta juga yang menggeser sistem presidensial
menjadi sistem demokrasi parlementer melalui Maklumat X, 16 Oktober
1945. Tumbuh suburnya partai dianggap sebagai alamat sehat berkembangnya
demokrasi. Namun, pada saat yang sama, seperti dicatat dalam "Demokrasi
Kita", Hatta dengan telak mengecam kaum politisi dan partai-partai yang
hanya menjadikan lembaga partai sebagai tujuan dan negara dibajak hanya
sebagai alat memburu benda dan melanggengkan kekuasaan semata. Hatta
menghardik lembaga politik yang terus menggelar percekcokan tak
berujung yang mengakibatkan ekonomi telantar, daerah bergejolak, nilai mata
uang merosot, dan pembangunan berjalan tidak semestinya.
Walaupun Hatta berhenti dari jabatan wakil
presiden dan demokrasi semakin tidak jelas juntrungannya di tengah
kekuasaan yang semakin terkonsentrasi pada Bung Besar, Hatta tetap menyimpan
harapan terhadap masa depan demokrasi karena, baginya, demokrasi adalah
sistem terbaik, sistem yang dapat diandalkan mendekatkan cita-cita dengan
kenyataan. "Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya
sendiri. Namun, setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul
kembali dengan keinsafan". Sekaligus harapan itu tumbuh
berbarengan dengan sebuah keyakinan futuristik lainnya bahwa segala
bentuk kediktatoran pada akhirnya akan roboh serupa rumah dari kertas.
Warisan literasi
Satu hal yang menjadi pembeda pokok Hatta dari
manusia pergerakan lainnya, apalagi dengan politikus abad XXI, adalah
persahabatannya yang intim dengan buku. Berpeti-peti bukulah yang dibawa dari
Belanda, buku pula yang harus diikutkan berdus-dus ke tempat pengasingan di
Banda Neira. Dalam sebuah seloroh disebutkan bahwa istri pertama Hatta itu
adalah buku dan, setelah itu, Rachmi Rahim. Pada hari bahagia perkawinan Sang
Proklamator, yang menjadi hadiah kepada sang istri itu adalah buku filsafat
yang ditulis di penjara Boven Digul (1934), Alam Pikiran Yunani.
Sejak belia, Hatta terbiasa membacamenulis,
terus berlanjut sampai lanjut usia. Seperti dalam pelacakan Harry A Poeze
(KPG-Tempo, 2010), "Ada lebih kurang 151 judul buku tulisan Bung Hatta,
42 buku tentang Bung Hatta, dan 100-an artikel Bung Hatta di beberapa majalah
Belanda yang ada di koleksi perpustakaan kami."
Hatta bukan hanya telah mewariskan kemerdekaan
kepada kita. Ia telah meretas jejak politik yang sehat, bersahaja, dan penuh
dedikasi, tetapi juga telah mewakafkan gagasan-gagasan besarnya untuk kita
baca.
Merenungkan jejak langkah Hatta menjadi penting kita lakukan
justru di tengah suasana politik kebangsaan hari ini yang sepertinya telah
kehilangan kompas. Sepanjang mata memandang, yang kita temukan adalah kaum
politikus yang sibuk mengurus diri sendiri dan sisanya adalah percekcokan dan
percakapan politik seputar isu partisan keagamaan, perkauman, dan
nalar sempit berjangka pendek lainnya. Kita camkan Hatta, "Pemimpin
berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar