Selasa, 09 Februari 2016

Pertahanan Budaya Kita

Pertahanan Budaya Kita

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
                                                     KOMPAS, 09 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa yang sebenarnya paling menarik dari peristiwa bom bunuh diri di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu? Dalam hemat saya, dan juga banyak pemberitaan internasional dan artikel atau esai-esai para pengamat (para Indonesianis atau Islamolog), pada umumnya berpendapat serupa: ISIS/NIIS (ISIL, dalam istilah akademisnya), yang (mengklaim) berada di balik aksi teror itu gagal total dalam semua maksud dan tujuan aksinya.

Pertama, aksi itu tidak berhasil menciptakan kekacauan atau rasa takut yang berlebih, semacam histeria di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana tujuan dasar sebuah aksi teror, dan juga seperti yang banyak terjadi di negara-negara Kontinental, Eropa misalnya. Kedua, aksi tersebut juga tidak mampu sama sekali mengangkat pamor atau wibawa Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dalam kesadaran mental, intelektual, hingga spiritual bangsa Indonesia. Sementara Indonesia mereka harapkan-juga dibayangkan banyak orang, termasuk pengamat internasional-dapat menjadi sumber utama atau lumbung anggota kelompok teroris berkedok negara itu.

Ketiga, tentu saja, NIIS pun akhirnya gagal total mempromosikan gerakannya sebagai sebuah alternatif ideologis atau jalan "tandingan" bagi sekelompok kaum Muslim yang mengalami kekecewaan, frustrasi, atau disorientasi hidup karena persoalan internalnya masing-masing. Indonesia ternyata bukan umpan yang bagus, atau semacam casus belli bagi perang proksi yang dia inginkan di tingkat dunia. Betapa pun di sinilah sebenarnya kerajaan Islam terbesar, setidaknya dari potensi kekuatan jumlah pemeluknya.

Kita bersama, juga masyarakat global, menjadi saksi yang tak bisa didustai, bagaimana masyarakat Indonesia merespons aksi yang begitu "hebat"-tampaknya-dalam rancangan, hingga bisa terjadi di jantung ring 2 Ibu Kota, berjarak hanya sekitar 1 kilometer dari Istana Negara, tempat paling keramat yang menandakan kedaulatan negeri ini. Foto utama pendamping berita utama harian ini sehari setelah kejadian, misalnya, memperlihatkan bagaimana petugas keamanan atau beberapa polisi tengah sibuk merespons situasi tegang, yang kita bayangkan menurut laporan televisi dipenuhi tembakan. Namun, lihat latar belakangnya, ratusan rakyat Jakarta berjubel di tengah Jalan MH Thamrin berdiri tertib menonton semua kejadian itu: tidak jauh, bahkan tepat di tengah lokasi teror.

Secara harfiah, tanpa mengerti latar peristiwanya, foto itu memperlihatkan keasyikan publik seperti menyaksikan sebuah adegan shooting film aksi. Secara semiotis, gambar itu merepresentasikan sikap sebuah masyarakat yang begitu kuat dan matangnya sehingga mampu menyikapi teror yang terjadi terhadapnya dengan tenang, sebagian melihatnya malah sebagai hiburan. Ini menggelikan. Dan, memang, tetapi begitulah yang terjadi.

Reaksi publik Jakarta bukan hanya menunjukkan kematangan sikap, tetapi juga sense of humor yang tinggi. Bahkan, saat teror itu masih berlangsung seru, beberapa orang justru selfie di lokasi kejadian. Dan, lihat komentar di media-media sosial, bahkan ada tagar untuk sebuah foto yang memperlihatkan seorang polisi muda, ganteng, tengah menembak bertuliskan: #Kami Naksir. Ketika Kepala Polri mengedarkan larangan ber-selfie di TKP alias tempat kejadian perkara, humor itu justru kian meninggi. Ha-ha-ha....

Modal adat tradisi

Mengapa kita tertawa? Mengapa kita begitu santainya, seperti beberapa artis atau perempuan cantik yang lembut, esok harinya sudah berkumpul di Jalan MH Thamrin mengekspresikan sikap "Kami Tidak Takut" dengan bahasa tubuh yang rileks tanpa tekanan, bahkan senyum yang menawan? Mengapa negeri ini ternyata "hanya" mengirim tidak lebih dari 300 orang (menurut catatan resmi intelijen/pemerintah ataupun dunia internasional) untuk bergabung dengan NIIS di Suriah, berbanding dengan ribuan hingga belasan ribu yang berasal dari Jordania, Mesir, atau Arab Saudi yang begitu heroiknya melawan NIIS?

Bahkan, dibandingkan beberapa negara Eropa, angka di atas juga sangat minor posisinya. Negara seperti Inggris atau Belgia "mengirim" tidak kurang dari 600 sukarelawan NIIS, Jerman mencapai 800, bahkan Perancis diperkirakan 1.200 orang. Amerika Serikat, negara paling keras (katanya) menentang teror, dan kaum Muslim di sana adalah minoritas, masih "mengirim" sukarelawan hingga setengah dari negeri ini. Jika diperhitungkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 245 juta jiwa, jumlah 300 orang sungguh tak berarti dibandingkan negara-negara Islam lainnya, bahkan daripada banyak negara Eropa.

Mengapa semua itu terjadi, di Indonesia khususnya? Mengapa bencana-bencana, baik yang alamiah atau disebabkan manusia, tidak membuat kita, rakyat Indonesia, menjadi kacau pikiran, mental, hingga spiritualnya? Tidak menjadi histeris, bahkan di tingkat tertentu meninggalkan luka psikologis dari trauma, sebagaimana terjadi di banyak belahan dunia lainnya? Bahkan untuk Kota Yogyakarta, bencana dapat menjadi bahan humor seolah semua hal tragis itu justru menyelipkan komedi di dalamnya? Tragi-komedi, kata Aristophanes.

Apakah semua itu karena kita memiliki ketahanan politik yang kuat, ekonomi, militer, agama, ilmu pengetahuan yang dahsyat? Tentu saja kita tidak bisa mengafirmasi semua hal itu. Sebab, negara-negara lain banyak yang lebih berdaya dalam semua hal tersebut. Satu-satunya hal yang membedakan adalah: kebudayaan! Semua itu lantaran kita memiliki fundamen kultural, yang dibangun oleh adat dan tradisi ribuan tahun, sehingga seluruh masyarakat negeri ini mencapai kematangan yang tinggi dalam menghadapi semua romantika hidup, yang senang dan senang sekali, yang susah bahkan susah sekali.

Bagi orang Jawa, misalnya, hidup penuh rona ini dihadapi dengan sikap yang begitu rileks dan sumeleh (ikhlas), "urip kuwi mung mampir ngombe", hidup itu, kan, hanya untuk mampir minum (kopi). Ada yang harus dihadapi dengan sungguh-sungguh dalam tiap kehidupan kita, tetapi janganlah terlalu serius sehingga kita terjebak dalam kerumitan yang "serius" itu sendiri. Apa yang "serius" itu? Bisa saja pemikiran, politik, tindak ekonomi, hukum, dan seterusnya. Sebab, pada akhirnya kehidupan kita bukanlah kenyataan yang "sesungguhnya", bukan kesejatian kasunyatan. Dia hanya artifisialiasi dari jagat gede, dari yang Ilahiah, dari dunia baka alias hanya b(w)ayang. Buat apa jadi wayang kok serius? Dalangnya sendiri suka ndagel. Ha-ha-ha....

Kekuatan budaya itu

Dalam gaya, sifat dan bentuk yang berbeda sesungguhnya hampir seluruh puak atau suku bangsa yang ada di negeri ini memiliki tingkat kematangan, mungkin dengan tingkat yang sedikit berbeda, dengan apa yang dimiliki orang Jawa. Dengan peradaban yang berbasis pada budaya baharinya, orang Indonesia punya cara penyikapan tersendiri, kuat, terpelihara, dan berkembang, bahkan lebih dulu dari banyak bangsa-yang dianggap besar-oleh dunia, bahkan oleh agama-agama "besar" dalam sejarah manusia.

Suku-suku bangsa, seperti Jawa, Bugis, Batak, Banten, Dayak, Flores, bahkan Mentawai dan banyak lainnya adalah bangsa-bangsa yang tergolong purba dalam tataran dunia. Mereka memiliki satu cara hidup yang begitu kuat, berlanjut, dan sintas hingga mampu bertahan sampai detik ini. Sementara etnik atau suku bangsa di dunia lain mengalami kepunahan dan atau terkuburkan oleh budaya baru yang ekspansif dan dominatif.

Inilah negeri dengan panorama hidupnya sebagaimana seni rupa tradisional maupun modern-berbasis etnik-yang dipenuhi warna, bentuk, dan corak yang memadati seluruh bidang kehidupan (kanvas) hingga ke sudut terkecil tanpa ada satu pun obyek lebih menonjol dari yang lain: egaliter! Tidak memusat atau sentralistik sebagaimana seni rupa Kontinental yang didasarkan pada perspektif atau keseimbangan antara kanan-kiri, hitam-putih, atas-bawah, yin-yang, manicheanisme yang sering terasa terlalu menyederhanakan (over simplification) sehingga kerap terjebak dalam ideologi, bahkan ilusi. Apakah komunisme bahkan kapitalisme, dalam gagasan dasarnya bukanlah sebuah ideologi dan-jika kita mau jujur-sesungguhnya ilusi, obsesi setidaknya?

Indonesia, dalam kesejatiannya bukanlah bangsa yang obsesif, apalagi ilusif. Kebaharian itu bahkan tidak ideologis walau tetap idealistis. Orang Indonesia, sebagaimana diperlihatkan dalam filosofi Jawa di atas, adalah manusia yang sederhana, simple, praktis, bahkan bisa jadi pragmatis (bukan dalam pengertian William James). Sebab, itulah yang membuat Islam menjadi agama yang begitu luas persebarannya di wilayah ini. Sebagian dari kita tentu saja berpeluang terjebak dalam oportunisme atau adab kasar yang negatif dan destruktif. Namun, di tingkat rakyat kecil (wong cilik) atau akar rumput, hal itu sulit terjadi. Mengapa?

Dasar manusia Indonesia, terserah ia Jawa, Bugis, Asmat, Bali, Madura, atau mana saja, adalah makhluk komunal sejati, homo socius, sebagaimana yang dibayangkan filsuf-filsuf bahari di Yunani dan filsuf Kontinental yang mengadopsinya. Kesadaran komunal itu menciptakan sikap yang akseptan dan terbuka pada kehadiran orang lain (liyan), bahkan di tingkat tertentu yang liyan itu menjadi bagian integral dari (eksistensi) personalnya. Tiap orang (suku bangsa) membutuhkan orang (suku bangsa) lain untuk meneguhkan keberadaan bahkan keberlanjutan hidupnya. Karena itu, konsep "the other", apalagi dalam konsep Eksistensialistik Sartrian ("orang lain adalah neraka bagiku") sangatlah tidak dikenal di sini.

Dasar mental dari tradisi budaya inilah sesungguhnya yang merekatkan bangsa kita, jauh sebelum kita mengenal apa yang disebut "nasionalisme" di dasawarsa pertama abad ke-20. Nasionalisme yang berbasis kepentingan, seperti Amerika dan Eropa, sangatlah rapuh dan rentan pertikaian karena perbedaan kepentingan. Bangsa Indonesia hidup bersama tidak didorong oleh kepentingan, tetapi naluri alamiah untuk ber-"ada". Karena itu, sulit sekali untuk memecah ikatan seperti itu jika tidak direpresi oleh semacam tekanan politis yang kuat, macam referendum (di Timor Timur) misalnya.

Kekuatan atau ketahanan budaya itulah yang membuat kita jadi bangsa yang melahirkan Sumpah Pemuda, yang memerdekakan kita. Bukan bentuk dan filosofi modern, semacam partai politik, yang sahamnya terlalu kecil bagi berdirinya Indonesia, dibandingkan dengan kekuatan budaya di atas. Ketahanan budaya inilah sesungguhnya kekuatan terbaik dan terbesar dari bangsa kita. Tapi yang menyedihkannya, ternyata ia justru dinafikan, dipelintir, dijadikan alat murahan bagi ambisi politik dan ekonomi, yang bahkan dihina hingga diasasinasi secara sistemik oleh regulasi dan program pemerintah. Padahal, sejarah membuktikan, kekuatan atau pertahanan budaya itulah yang membuat kita bukan hanya tetap ada, tetapi juga bangga menjadi sebuah bangsa. Dalam menghadapi teroris picisan NIIS, contohnya.

Inilah akal sehat. Lalu mengapa Anda, para penentu kebijakan terutama, tidak menerima, meyakini, dan mempraktikkan akal sehat kebudayaan ini? Kita, bangsa ini, harus segera menjawabnya sebelum bencana atau "teror" yang sesungguhnya terjadi dan menimpa kita. Dan, dosa adab pun akan menjadi "harta" memalukan bahkan mengerikan yang akan kita wariskan kepada cucu dan buyut kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar