HFN dan 100 Tahun Sensor (Film)
Kemala Atmojo ; Pencinta Film
|
KOMPAS, 09
Februari 2016
Bandingkan
dengan tulisan Kemala Atmojo di Kompas 7 Februari 2016 halaman 27
Ada dua peristiwa
penting yang akan diperingati oleh insan perfilman nasional dalam waktu
dekat. Pertama, memperingati Hari Film Nasional yang ke-66 (dihitung sejak
1950). Kedua, memperingati 100 Tahun Sensor (dihitung sejak 1916).
Lalu apa yang bisa
dicatat dari kedua peristiwa ini?
Dalam hal Hari Film Nasional (HFN), kita bisa bertanya: apa arti
peringatan di tahun 2016 ini dibanding 2015 atau tahun-tahun sebelumnya? Apa
artinya bagi sutradara, produser, pemain, dan bioskop? Bukankah ini cuma
deretan angka? Februari ke Maret, Minggu
ke Senin, pukul 00 ke 01 hanyalah penunjuk dari konsep "waktu" (temps) obyektif-matematis.
Peringatan HFN menjadi
penting apabila kita merefleksikan apa yang sudah kita kerjakan dalam
"keberlangsungan" (duree)
selama ini dan apa yang akan kita kerjakan berikutnya. Hal ini agar perfilman
kita menjadi bertambah baik dalam situasi konkret.
"Keberlangsungan" adalah dimensi lain dari waktu. Dalam konsep
Bergson, ini adalah
"lamanya" atau "keberlangsungan". Jika "waktu"
dapat dibagi-bagi, diukur, dan obyektif-matematis,
"keberlangsungan" merupakan kontinuitas, mengalir, tak terbagi, dan
subyektif-psikologis. Jika temps adalah waktu menurut kronometer, duree adalah waktu menurut pengalaman
pribadi. Jika temps adalah kuantitas,
duree merupakan kualitas, yang jauh
lebih penting.
Karena itu, apa
artinya "waktu" bagi seluruh pemangku kepentingan perfilman jika
dalam "keberlangsungan" tak ada yang berubah. Di dalam
"keberlangsungan" inilah kita hidup konkret dan memberi makna
setiap langkah. Di dalam "keberlangsungan" pula kebebasan kita,
kesadaran kita, ditantang menghadapi berbagai godaan yang menyesatkan, yang
merugikan kemanusiaan.
Dan, konsep
"makna konkret" ini pula yang menurut saya penting bagi Usmar
Ismail. Film Darah dan Doa bukan
film pertama arahan Usmar. Sebelumnya Usmar sudah menyutradarai setidaknya
dua film lain (Harta Karun dan Tjitra), tetapi baru dalam Darah
dan Doa Usmar merasa dirinya membuat film pertama. Mengapa? Sebab, baru
dalam film Darah dan Doa ia
menemukan makna hidupnya sebagai seorang pekerja film. Lalu tanggal 30 Maret
1950 itulah (hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa) yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film
Nasional.
Jadi, dalam konteks
peringatan HFN, apa yang harus dan perlu berubah? Pertama-tama adalah
mentalitas proteksi. Kita tak boleh terus bermental seperti pengemis
proteksi. Persaingan harus dimaknai sebagai tantangan untuk meningkatkan
kemampuan sumber daya. Kehadiran negara tak boleh dimengerti sebagai
kewajiban negara untuk melindungi kemalasan dan seterusnya. Negara perlu
hadir untuk memastikan semua orang mendapat perlakuan dan kesempatan sama
sesuai aturan ada. Negara perlu hadir untuk membantu meningkatkan sumber daya
manusia, kemudahan akses, dan keadilan
bagi seluruh pemangku kepentingan perfilman.
Hal lain yang perlu
dilakukan adalah segera mempersiapkan revisi UU Perfilman. Sebab, UU No
33/2009 tentang Perfilman terlalu banyak kelemahannya dan sudah tak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman. Misalnya, terlalu banyak "pasal
mati", pasal tidak jelas, dan pasal yang tidak lagi bisa merespons
perkembangan teknologi mutakhir, termasuk masalah hak asasi manusia.
Sensor jadi momok
Fakta bahwa sampai
hari ini kita memiliki Lembaga Sensor Film (LSF) adalah tak bisa dimungkiri.
Ini fakta sosial, politik, dan kebudayaan kita. Tetapi, memperingati-apalagi
merayakan-kehadiran sensor di sini, buat saya, hal itu seperti mempermalukan
diri sendiri atau mengolok-olok martabat bangsa sendiri. Kenapa? Sebab,
sensor film inilah, sejak kehadirannya di zaman Hindia Belanda, yang menjadi
momok bagi kebebasan masyarakat mengakses informasi serta pada akhirnya
menjadi alat jagal kreativitas insan film kita
Sejarah sensor adalah
sejarah gelap dan kegagalan kita menuntaskan diri sebagai bangsa yang merdeka
dan mandiri. Kita tahu, lembaga sensor ini pada mulanya dimaksudkan oleh
penguasa Hindia Belanda untuk melindungi citra dan kewibawaan mereka terhadap
penduduk lokal.
Ketika makin banyak
film dari Eropa dan Amerika masuk, penguasa Hindia Belanda dan sebagian
penduduk Eropa di sini merasa galau.
Kendati sebagian besar masih berupa film bisu, penduduk lokal dan
sebagian orang Eropa menyambut hangat kehadiran film-film tersebut. Namun,
menurut pejabat di Hindia Belanda, film-film itu bisa mengubah citra
masyarakat Eropa yang selama ini dicitrakan sebagai masyarakat beradab,
berpendidikan, taat hukum, dan lain-lain. Sementara film-film yang masuk
justru memperlihatkan adegan saling bunuh,
melakukan hubungan seks di luar pernikahan, atau intinya menunjukkan
kehidupan yang lebih bebas.
Alhasil, pada 1916
diterbitkan UU bernama Ordonansi Bioskop. Isinya adalah pembentukan komisi
pemeriksaan film yang hendak diputar di sini. Lalu pada 1919 dibuat UU baru
untuk menggantikan UU lama, dengan maksud memperketat film impor dan
memperluas keberadaan komisi sensor di daerah-daerah.
Sayangnya, ketika
Indonesia merdeka, kebijakan sensor ini diterima begitu saja dan diteruskan
dengan nama Panitia Pengawas Film. Panitia ini berhak menggunting film dengan
kriteria yang sangat umum: melanggar kesusilaan, mengganggu ketenteraman
umum, dan memberi pengaruh buruk kepada masyarakat. Lembaga ini jadi salah
satu sarana ampuh bagi pemerintah mengontrol kebebasan ekspresi dan
menyeleksi apa yang boleh dan tak boleh ditonton masyarakat.
Hingga kini LSF masih
tercantum dalam UU No 33/2009. Kemudian, pada 11 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani PP
No 18/2014 sebagai pengganti PP No 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film. Tata
cara penyensoran memang agak berbeda dibanding sebelum UU yang baru, tetapi
pada prinsipnya kreativitas insan film tetap terancam.
Perlu refleksi kritis
Melihat sejarah
semacam itu, maka merayakan kehadiran sensor sesungguhnya menyakitkan hati.
Mestinya yang dilakukan saat ini adalah refleksi kritis atas keberadaan
lembaga ini. Jika lembaga ini belum bisa dihilangkan atau diubah menjadi
lembaga klasifikasi, minimal yang harus diubah adalah pola pikir para
anggotanya.
Seperti kita ketahui,
Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Maka, film adalah salah satu sarana itu. Hak-hak dasar manusia itu kemudian
dituangkan dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembatasan hak-hak
asasi itu hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan HAM serta kebebasan orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Karena itu, penting
sekali para anggota LSF memahami hal ini.
Sejauh pengamatan saya, hanya tinggal satu hal yang masih perlu
mendapat perhatian, yakni masalah SARA. Kondisi multikultur bangsa kita dan
kesenjangan pendidikan yang tinggi, masalah SARA masih mungkin muncul dalam
film. Di luar itu, rasanya para insan film sudah bisa melakukan sensor
terhadap dirinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar