Selasa, 09 Februari 2016

Kecepatan Tanpa Responsibilitas

Kecepatan Tanpa Responsibilitas

Yudi Latif  ;   Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila
                                                     KOMPAS, 09 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kecepatan keputusan Presiden Joko Widodo dalam mengabulkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menunjukkan bahwa tidak selamanya kecepatan bertindak itu menunjukkan sikap responsif terhadap arus aspirasi publik.

Setidaknya ada empat prinsip bagi kebijakan politik yang bersifat responsif: prinsip kemasuk-akalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemenaan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Dalam keputusan mengenai kereta cepat, Presiden setidaknya mencederai prinsip pertama dan keempat.

Berbagai keputusan Presiden Jokowi belakangan ini mulai mencemaskan para pendukungnya. Tampil menjadi presiden karena meroketnya harapan akan pemerintahan yang lebih responsif terhadap aspirasi publik, pemberian ruang yang melebar bagi pemenuhan kepentingan segelintir orang membuat banyak orang merasa tidak bahagia.

Situasi ini kian menguatkan apatisme dan pesimisme terhadap janji-janji demokrasi. Demokrasi memang telah membawa perubahan, tetapi belum membawa kebahagiaan. Padahal, kekuasaan harus diarahkan untuk mengejar kebahagiaan. Menurut Abu Nasr al-Farabi dalam Al-Madinah al-Fadhilah, ”Negara yang baik berbuah kebahagiaan.”

Bagi kebanyakan warga, rongrongan utama kebahagiaan ini berasal dari kualitas pemerintahan. Negara merupakan penentu kebahagiaan ditunjukkan oleh survei di 50 negara, seperti dilaporkan Geoff Mulgan (2008). ”Pengaruh kualitas pemerintah terhadap kebahagiaan hidup jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh pendidikan, pendapatan, dan kesehatan, yang semua itu pun bergantung pada kualitas pemerintahan.”

Usaha demokrasi membawa kebahagiaan menuntut penjelmaan ”negara-pelayan”. Basis legitimasi negara-pelayan bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan.

Negara memiliki legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya. Hal ini karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial bukan hanya bagi kehidupan, melainkan juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti, negara dengan pencapaian tertinggi dalam indeks kebahagiaan, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban.

Legitimasi kedua adalah responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah dalam memfasilitasi kesejahteraan sangat penting. Seperti ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan, melainkan karena rakyat tidak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat buruknya layanan pemerintahan.

Legitimasi ketiga adalah kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran. Tidak ada perbantahan antara rezim demokratis dan nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, seorang Mao dalam Revolusi Kebudayaan meyakini, ”Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan.”

Legitimasi pamungkas adalah kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dan binatang adalah kemampuan membedakan baik dan buruk, adil dan zalim, yang mendapat puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara sangat vital bagi resolusi konflik dalam masyarakat multikultur.

Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan itu jadi pertaruhan atas kebahagiaan warga negara. Para pendiri bangsa memosisikannya jadi tujuan negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Jalan demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan masih panjang. Untuk mencapainya, para pemimpin politik harus tegak lurus di atas prinsip politik responsif. Terkait hal itu, para pemimpin perlu memperkuat kesadaran harkat nasional di dirinya, dan pertautan yang erat dengan akar rumputnya.

Bung Karno pernah mengingatkan, ”Kelemahan jiwa kita ialah bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya-memercayai satu sama lain padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ’cari gampangnya saja’. Dan itu semua karena makin menipisnya ’rasa harkat nasional’,—makin menipisnya rasa ’national dignity’—, makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa dan rakyat sendiri.”

Bung Karno juga menyesalkan pudarnya jiwa kerakyatan dari para pemimpin. ”Dulu itu kita semua adalah ’rakyati’, dulu itu kita semua adalah ’volks’. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat.”

Lantas, ia pun bertanya secara retoris, ”Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar ’rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ’volks’ seperti dulu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar