Perspektif Kebudayaan untuk Pedesaan
Kacung Marijan ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Titik balik arah
pembangunan di pedesaan memperoleh momentum setelah disahkannya UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, dan munculnya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
UU Desa mengakui dan
memberikan otoritas lebih besar kepada desa dalam mengelola dirinya, termasuk
merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan. Selain itu, seperti
tertuang dalam Pasal 72, desa juga memperoleh jaminan berkaitan dengan sumber
keuangan dari pusat (APBN) ataupun dari kabupaten dan provinsi.
Payung hukum semacam
itu diperkuat gagasan pemerintahan Jokowi-Kalla, yaitu membangun Indonesia
dari pinggiran, termasuk dari desa. Upaya mendobrak pembangunan yang
sentralistis melalui model pembangunan yang terdesentralisasi, yang mulai
dilakukan sejak 2000-an, diperkuat dengan langkah-langkah yang lebih konkret.
Kebijakan
desentralisasi memang telah memungkinkan adanya perencanaan dan implementasi pembangunan
yang berbasis pada daerah. Namun, sejak satu setengah dekade implementasinya
belum mampu membuka ruang bagi adanya pembangunan yang lebih adil. Kebijakan
itu memang telah menguntungkan daerah, tetapi tidak semua daerah
memperolehnya.
Dua kelompok daerah
yang memiliki karakteristik tertentu saja yang memperoleh keuntungan lebih.
Pertama, daerah yang memiliki warisan historis dan teruntungkan di masa lalu,
yaitu kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Daerah-daerah ini
memperoleh keuntungan dari pajak sektor modern warisan sebelumnya, seperti
pajak bumi dan bangunan serta pajak kendaraan bermotor. Kedua, daerah- daerah
yang memiliki kekayaan alam melimpah, seperti sejumlah daerah di Kalimantan
dan Sumatera. Selain daerah-daerah itu, mereka harus berjibaku untuk
melangsungkan kehidupannya.
Gagasan membangun dari
pinggiran berarti adanya keberpihakan pada wilayah yang secara historis
ataupun alam belum teruntungkan. Gagasan ini bisa juga disebut sebagai
affirmative action terhadap wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan.
Paradoks pembangunan
Membangun Indonesia
dari desa merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Hal ini tidak
lepas dari realitas bahwa sebagian besar wilayah dan penduduk Indonesia itu
berada di pedesaan. Namun, yang terjadi selama ini, model pembangunan yang
dipakai berangkat dari perspektif modernisasi. Perspektif ini berangkat dari
asumsi bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan suatu masyarakat itu bisa
dilakukan melalui proses modernisasi, yaitu penjungkirbalikan hal-hal yang
berbau tradisional. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan,
industrialisasi, dan pembangunan infrastruktur transportasi dan komunikasi
atau yang terkait merupakan instrumen penting dari modernisasi itu. Mengingat
modernisasi sudah dimulai di perkotaan pada masa kolonial, yang menjadi titik
pangkal pembangunan kemudian adalah wilayah perkotaan.
Model semacam itu
memang cukup ampuh. Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, sejumlah kota di
Indonesia telah berkembang luar biasa, telah menjadi pusat industri, baik
manufaktur maupun jasa dan perdagangan. Di kota-kota itu telah tumbuh sarana
dan prasarana sebagaimana kota-kota metropolis dunia lainnya. Di kota-kota
itu pula telah tumbuh berkembang kelas menengah dan atas yang kekayaannya
setara kelas menengah-atas negara-negara maju lainnya.
Meskipun demikian,
proses semacam itu telah melahirkan paradoks di dalam pembangunan. Di balik
perkembangan semacam itu, di dalamnya juga terdapat kesenjangan yang melebar.
Pertama, kesenjangan
wilayah-wilayah yang memperoleh sentuhan modernisasi dengan wilayah-wilayah
lain yang belum memperoleh sentuhan secara baik. Dalam bahasa para ekonom
neoliberal, terdapat kesenjangan antara daerah-daerah yang memperoleh kucuran
investasi dan daerah-daerah yang minim atau belum memperoleh investasi.
Kedua, pelebaran
kesenjangan juga terjadi di wilayah-wilayah perkotaan yang mengalami proses
modernisasi tinggi. Modernisasi pada akhirnya lebih banyak membawa keuntungan
bagi pemilik modal dan sekelompok orang telah memperoleh sentuhan modernisasi
seperti kelompok profesional. Sementara itu, penduduk yang memiliki
kelambatan di dalam memperoleh sentuhan modernisasi dan kaum pendatang harus
bertahan mengarungi hidup di perkotaan dalam suasana penuh keterbatasan.
Pembangunan pedesaan
Terlepas dari masih
adanya tarik-menarik kelembagaan antara Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Desa dan PDT dalam mengelola pembangunan di pedesaan,
langkah-langkah yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Kalla mendekonstruksi
pembangunan patut dihargai.
Meskipun demikian, apa
yang terjadi di masa lalu bisa dijadikan pelajaran. Sejak awal harus
disadari, yang jadi titik tolak bukan sekadar bahwa sebelumnya pembangunan
dilakukan dari perkotaan dan saat ini dilakukan dari pinggiran atau pedesaan.
Kalau hal demikian yang menjadi titik tolak semata, proses yang akan dilalui
tak akan berbeda dengan sebelumnya. Paradoks-paradoks pembangunan bisa saja
terulang.
Kalau kita lihat,
perspektif modernisasi sepertinya masih lekat dalam proses pembangunan pedesaan
di masa setahun pemerintahan Jokowi-Kalla. Hal ini terlihat dari realitas
bahwa sebagian besar alokasi dana desa lebih banyak dipakai untuk pembangunan
infrastruktur fisik. Hal serupa terjadi di sektor pendidikan dan kesehatan,
lebih pada pengembangan pendidikan formal-modern dan kesehatan modern.
Alokasi semacam itu
memang tidak salah. Hanya saja, menyamakan pembangunan dengan modernisasi
jelas bukan pandangan yang pas. Lebih-lebih kalau pembangunan itu dilakukan
di pedesaan. Perspektif modernisasi semata di dalam pembangunan pedesaan
berpotensi pada munculnya "penghancuran" nilai-nilai budaya yang
selama ini melekat dan telah menjadi kekayaan yang ada di pedesaan. Kearifan
lokal dalam mengelola alam dan lingkungan, nilai-nilai harmoni dan gotong royong
antarwarga, secara pelan tapi pasti bisa tergantikan oleh nilai-nilai baru
yang dibawa oleh modernisasi.
Selain itu, penggunaan
perspektif modernisasi bisa melahirkan kapitalisasi dalam pembangunan di
pedesaan. Konsekuensi dari itu: penguatan kesenjangan tak hanya ada di
perkotaan, juga di pedesaan.
Semoga perspektif
modernisasi dalam membangun pedesaan hanya sebagian dan langkah awal sematan,
yang segera diikuti perspektif lain, perspektif kebudayaan, misalnya. Di
dalam perspektif ini, pembangunan bertitik tolak dari nilai-nilai dan
kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam masyarakat pedesaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar