Bacaan Anak pada Pendidikan Holistik
H Witdarmono ; Penerbit Koran Anak
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Saat sosialisasi
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Program Penumbuhan Budi Pekerti kepada
para kepala dinas pendidikan provinsi se-Indonesia di Jakarta, 10 Juli 2015,
Mendikbud Anies Baswedan memberi perhatian khusus pada nilai kelima gerakan
itu: pengembangan potensi utuh siswa.
Katanya, tugas yang
harus dilakukan mendorong kecakapan dasar atas minat anak adalah mewajibkan
murid 15 menit pertama membaca buku selain buku mata pelajaran. Melalui buku
yang dibaca, potensi siswa tumbuh bersamaan dengan terciptanya ruang
mengembangkan minat dan bakatnya.
Perkataan Mendikbud
itu benar. Membaca (dan menulis) bukanlah kemampuan alami macam berbicara
atau menangis, tetapi harus dipelajari dan sangat terkait dengan pengembangan
serta pertumbuhan otak manusia (IY Liberman, D Shankweiler, dan AM Liberman,
1989; GR Lyon, 1998). Membaca butuh pembelajaran, pendidikan, dan budaya.
Penelitian mengenai
manfaat dan dampak membaca sangat banyak. Kurun 1904-1905 Jepang memenangi
perang melawan Rusia karena tingkat kemampuan baca mereka lebih tinggi: 90
persen berbanding 20 persen. Meski keduanya memiliki sumber pasokan senjata
yang sama (dari Jerman), dengan tingkat kemampuan baca lebih tinggi, Jepang
mampu menggunakan (dan memodifikasi) senjata impor itu efektif dan efisisen.
Sebaliknya, literasi tentara Rusia rendah sehingga dalam mengoperasikan
senjata, yang dijalankan adalah praktik coba-coba.
Di ranah sosial,
berbagai penelitian menunjukkan kesejahteraan masyarakat meningkat sejalan
dengan peningkatan tingkat kemampuan baca (UNESCO, 2005). Dengan keterampilan
baca yang tinggi, jalan menuju maju ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan,
partisipasi, dan kesertaan mengambil keputusan secara demokratis jadi lebih
terbuka (Dugdale dan Clark, 2008; Cunningham dan Stanovich, 1998; Bus et al
1998).
Tingkat literasi
Bagi anak-anak,
tingkat literasi juga berpengaruh bukan hanya pada pengembangan tingkat
akademik yang lebih tinggi dan jenjang karier sosial- ekonomi masa depan,
juga dalam pengembangan karakter mulia. Penelitiaan Sarah Miles dan Deborah
Stipek memperlihatkan murid SD kelas III yang bertingkat kemampuan baca yang
tinggi saat sudah duduk di kelas V ternyata lebih unggul dalam budi pekerti,
empati, dan percaya diri ketimbang kelompok sebaya mereka yang saat kelas III
lemah tingkat kemampuan bacanya.
Tingkat kemampuan baca
memang menentukan masa depan sebuah bangsa. Sejak tahun 2000 Indonesia selalu
diikutkan dalam penelitian tiga tahunan Programme
for International Student Assessment
(PISA) dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan. Yang
diteliti PISA adalah kemampuan dan
keterampilan anak usia 14-15 tahun dalam reading
literacy, mathematical literacy, dan scientific
literacy. Namun, sejak PISA 2000 hingga PISA 2012, yang diikuti 40-65
negara, peringkat Indonesia di bidang reading
literacy, selalu bertengger pada kisaran lima terbawah, terendah di Asia.
Imbauan Anies Baswedan
sebagai Mendikbud pantas ditindaklanjuti. Waktu dan tempat baca sudah
ditentukan: 15 menit pertama setiap hari di kelas. Namun, untuk
mewujudkannya, banyak pekerjaan rumah harus dilakukan. Salah satunya
menentukan bacaan macam apa selama 15 menit itu. Membaca harus dipelajari,
dididikkan, dan dibudayakan. Ada subyek sekaligus obyek terkait. Subyeknya
para peserta didik dan mereka yang belajar. Obyeknya bahan yang harus dibaca.
Dalam pembelajaran, pendidikan, dan pembudayaan, perlu penentuan arah.
Sejak lama arah
pendidikan telah mengacu pada apa yang dinamakan pendidikan holistik,
pendidikan yang bersamaan dan saling terkait mengembangkan sisi fisik,
kognitif, emosi, sosial serta moral para peserta didik. Akar pendidikan
holistik adalah teori pendidikan Jean-Jacques Rousseau yang diikuti, dikembangkan, dan
dipraktikkan John Dewey, Abraham Maslow, Ivan Illich, dan Ki Hadjar
Dewantara.
Teks informasional
Pendidikan holistik
mengarahkan dan mengembangkan seluruh potensi anak didik ke tingkat
pencapaian yang paling tinggi. Dalam prosesnya, ada perjalanan mendidik dari
dalam (Singh, 1996; Forbes, 2003; R Miller, 2008). Elemen utamanya ialah
saling keterhubungan antara pengalaman dan realitas. Di sini pembelajaran
mengenai pengalaman dan realitas harus disesuaikan dengan langkah yang sedang
dijalani anak dalam perkembangan pribadinya, bukan sebaliknya. Visinya
membuat peserta didik menyadari dirinya sebagai pribadi utuh dan penuh
sekaligus terhubung dengan lingkungan sekelilingnya. Ada dialog antara guru,
anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup komunitas para pembelajar.
Bila mengacu pada
paradigma konsep pendidikan holistik di atas, bahan pendidikan dan
pembelajaran harus disesuaikan dengan kriteria bahwa semua harus berelasi
dengan pengalaman hidup dan lingkungan sekitar.
Bila ini diterapkan
pada bahan bacaan dalam pendidikan holistik, maka bahan bacaan yang paling
sesuai adalah teks informasional. Jenis teks ini bertujuan utama menyampaikan
informasi mengenai dunia alam dan sosial sekitar kehidupan. Karena itu,
biasanya teks informasional disertai dengan berbagai teks feature, yang
memuat berbagai elemen grafis, seperti diagram dan foto, serta berbagai
struktur logika, seperti perbandingan dan kontras, sebab dan akibat, judul
dan indeks, dan berbagai bentuk keterangan waktu maupun tempat. Teks
informasional adalah teks yang dibaca untuk belajar, bukan teks untuk belajar
membaca (NK Duke, 2002).
Sebagai teks yang
memaparkan dunia, fakta, dan peristiwa sekitar lingkungan, teks informasional
tak hanya berhenti pada soal apa. Ia selalu berlanjut menguraikan ihwal
mengapa dan bagaimana. Keduanya jadi unsur penting membangun minat anak
menjelajahi dunia sekitar mereka dengan lebih banyak bertanya dan membaca
(Schiefele, Krapp, dan Winteler, 1992).
Ada motivasi intrinsik
yang membuat mereka jadi pembaca seumur hidup. Dengan motivasi semacam itu,
anak-anak akan lebih mahir membaca dan menulis teks informasional, memiliki
kosakata dan pengetahuan latar lebih banyak, berketerampilan memahami lebih
baik, serta meningkatkan nilai mereka dalam pelajaran bahasa dan sastra (K
Wixson, 2009).
Pembelajaran dan
pemahaman mengenai teks informasional akan lebih berhasil bila mereka diberi
kesempatan berinteraksi dengan teks itu (Duke, et al, 2002, 2003). Jadi,
membaca di kelas mutlak didampingi dan dibimbing guru yang kreatif dan siap.
Membaca teks informasional juga disertai bacaan teks fiksi agar emosi sehat
serta empati yang tepat tumbuh dan berkembang. Proporsinya: 60 persen teks
informasional, 40 persen teks fiksi. Ini yang belum terlihat dalam praktik
lapangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar