Imam Khomeini
Trias Kuncahyono ; Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Hari Kamis, 1 Februari
1979. Hari itu, Ayatollah Ruhollah Moosavi Khomeini, tiba di Teheran, Iran.
Ia kembali ke negerinya setelah hampir 15 tahun hidup di pengasingan. Jalan
panjang telah dilalui Khomeini, tokoh karismatik Iran yang lahir pada 24
September 1902, di Hazrat Fatima, sebuah kota kecil di Khumayn, sekitar 160
kilometer barat daya Qom. Kota Qom terletak 156 km barat daya Teheran, ibu kota
Iran.
Inilah hari yang
menentukan masa depan Iran setelah ditinggalkan Shah Iran. Shah Iran dan
anggota keluarganya meninggalkan Iran pada 16 Januari 1979. Kepergian Shah
Iran itu dirayakan besar-besaran oleh rakyat Iran. Berita tentang rencana
kepulangan Khomeini dari pengasingan, disambut gegap-gempita oleh rakyat
Iran. Suasana anti Shah Iran dan Amerika Serikat, sangat terasa pada waktu
itu. AS pun segera mendesak warganya untuk meninggalkan Iran.
Kepulangan
Khomeini—diusir Shah Iran dan meninggalkan Iran pada 4 November
1964—mematangkan situasi. Bahkan, bisa dikatakan menjadi puncak perlawanan
terhadap pemerintahan Shah Iran, yang sebenarnya sudah dimulai sejak 1977,
ketika muncul tuntutan diberikannya hak-hak sipil oleh para penulis dan
pengacara. Sebenarnya, benih-benih Revolusi Islam (Revolusi Iran 1979), bisa
dilacak jauh ke belakang, yakni sejak dicanangkannya ”Revolusi Putih” oleh
Shah Iran pada 1963 (Michael Eisenstadt: April 2011).
Revolusi Putih adalah
serangkaian reformasi yang dimaksudkan untuk memodernisasi dan ”Westernized”
Iran. Reformasi ini mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, pada saat yang
bersamaan juga mengakibatkan terjadinya dislokasi sosial, munculnya gelombang
urbanisasi, dan diadopsinya kebiasaan Barat oleh elite partai sehingga
mengasingkan elemen-elemen tradisional dan religius dalam masyarakat Iran.
Reformasi juga mengancam mengurangi pengaruh para ulama, dan menjauhkan kaum
ulama dari rezim yang berkuasa.
Revolusi ini terdiri
dari enam bagian: reforma agraria, penjualan pabrik-pabrik milik pemerintah
untuk membiayaireforma agraria, penerbitan undang-undang pemilu baru yang
memberikan hak pilih bagi kaum perempuan, nasionalisasi hutan-hutan, kampanye
literasi nasional, dan rencana memberikan pembagian keuntungan industri kepada
para buruh (Krysta Wise:2011).
Itulah yang ditentang
Khomeini. Secara ringkas dapat dikatakan, Khomeini menentang rezim Shah Iran
karena dua hal. Pertama, pengaruh AS di Iran begitu kuat. Rezim Shah Iran
benar-benar di bawah kendali Washington DC. Bantuan militer dan perlengkapan
militer dari AS menjadi tumpuan tetap berkuasanya Shah Iran. Dalam bahasa
Khomeini, Shah Iran benar-benar menjadi ”bonekanya AS”. Kedua, sekularisasi
dalam masyarakat Iran.
Kepulangan Khomeini
meledakkan revolusi, yang kemudian disebut Revolusi Iran atau Revolusi Islam.
Revolusi ini terjadi lantaran perubahan ideologi di Iran. Revolusi yang oleh
hampir semua ilmuwan dipandang sebagai gerakan rakyat murni, berbeda dengan
revolusi lainnya. Oleh karena itu, revolusi ini tidak berakhir dengan
pembentukan sistem politik modern, tetapi menimbulkan struktur dan ideologi
baru (Vedat Gürbüz: 2003). Revolusi Iran tidak hanya mendudukkan Khomeini di
puncak kekuasaan, tetapi ia dan para ulama Syiah, juga memerintah langsung.
Mereka mendasarkan kekuasaannya pada hak-hak Ilahi dan menjalankan Iran
berdasarkan interpretasi mereka terhadap hukum Islam. Karena itulah disebut
Revolusi Islam.
Namun, setelah
kematian Khomeini (1989), Ayatollah Khamenei, sebagai penerusnya, membuat
interpretasi baru terhadap misi yang diwariskan Khomeini. Itu terjadi setelah
berakhirnya Perang Dingin dan Iran menghadapi persoalan-persoalan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar