Bebas Bersama Agama
Martin Lukito Sinaga ; Pendeta Jemaat di Gereja Kristen Protestan
Simalungun
|
KOMPAS, 04
Februari 2016
Di Indonesia, agama agaknya tak mengalami
sekularisasi, tetapi justru sebaliknya: ia tumbuh dan turut membentuk ruang
publik kita.
Ini terlihat tidak hanya melalui kuatnya agama
menentukan hari libur bagi semua anggota masyarakat, tetapi juga melalui
kuatnya ia menentukan mana yang boleh secara publik dan mana yang dianggap
kurang patut dan bersifat pornografis. Pengaruh publik agama ini masih dapat
kita urutkan lebih panjang lagi.
Dengan keterlibatan publik sedemikian itu,
secara sosial politis agama tetap sebentuk force dengan lingkup pengaruh yang
dinamis di Indonesia; dan kita tahu negara berkepentingan dalam hal ini dan
berniat mengelolanya. Dalam hal pengelolaan atas agama tadi, ada debat yang
masih tetap berlangsung sampai saat ini. Ada dua alur atau debat atas
pengelolaan agama di Indonesia yang muncul akibat pemahaman atas agama itu
dan dalam hal apa lingkup pengaruhnya akan berlangsung.
Yang pertama, karena agama dilihat sebagai
suatu katalog kebenaran yang terjalin ajek dengan komunitas tertentu,
pengaruh publiknya dibayangkan akan nyata jika ia memperluas wilayah
kehadirannya dan jumlah anggotanya. Di sini negara didorong melindungi
pertumbuhannya, bahkan ikut menjaga kemurnian ajarannya. Namun, ada pandangan
kedua yang memahami agama sebagai katalog narasi yang bermakna mendalam dan
ultim, maka pengaruh publiknya akan dilihat kalau ada orang yang bebas memilih
dan mewujudkan semangat agama itu. Di sini negara diminta mencegah pihak yang
bersifat memaksa/memakai kekerasan dalam upaya agama mewujudkan pengaruh
sosialnya atau menjalankan misinya.
Ronald Dworkin, filsuf hukum ternama dari
Universitas New York, menulis buku menarik mengenai peran publik agama yang
terbit segera setelah ia meninggal dunia. Dalam bukunya, Religion without God (2013), ia mencoba mengapresiasi peran
publik agama tadi sambil menelisik bagaimana sebaiknya agama memahami diri
dan diterima yang publik. Ia, di satu pihak, memahami agama sebagai sumber
pengetahuan mengenai hal ihwal ultim di seputar hidup kita, tetapi juga, di
pihak lain, agama adalah sumber nilai yang membuat kita merasa betapa
berharga hidup ini.
Dalam hal pengetahuan tadi, jelas di setiap
agama tercatat ajaran mengenai terjadinya semesta dan hidup ini, juga apa-apa
yang manusia harus percayai agar hidupnya diberkati, agar nanti di ujung tak
akan berlalu sia-sia. Dalam hal nilai, agamalah yang bikin kita makin mampu
mendalami keindahan hidup, juga memberi kita rasa kagum tak terperi tentang
alam semesta sehingga kita akan berupaya menjalani hidup ini sebaik-baiknya.
Menurut Dworkin, ihwal pengetahuan yang agama
miliki tadi, biarlah hal itu lebih jadi perhatian dan terutama dihayati dalam
lingkup komunitas tertentu saja. Kian banyak pengetahuan yang diproduksi
agama dan diedarkan secara publik, kian mudah ia berbenturan dengan
pengetahuan yang juga diproduksi agama lain, atau yang dari sains.
Di pihak lain, mengenai nilai akan harga hidup
yang agama ha- silkan, ini lebih dapat dibagikan secara lintas agama. Malah
selanjutnya dapat terjadi, agama-agama bersepakat mengenai nilai utama apa
yang perlu diemban dan ditumbuhkan bersama di tengah masyarakat. Nilai bahwa
hidup kita ini berharga tiada bandingnya sesungguhnya datang dari
religiositas umat beriman, maka itu dapat dikongsikan bersama-sama. Keunikan
dan legitimasi agama terletak pada nilai mendalam dan sakral atas hidup dan
alam semesta yang ia tawarkan kepada manusia.
Menurut Dworkin, kalau sisi nilai ultim akan
hidup ini yang lebih ditonjolkan agama, dari agama kita akan lebih dapat
pesan tentang berharganya hidup, atau tentang rasa takjub pada alam semesta.
Dengan demikian, makna akan kehadiran aktif agama-agama jadi positif: hidup
yang sedemikian berharga dan yang dengan rasa takjub dikenali ini sungguh
suatu nilai terpenting bagi umat manusia sehingga tugas utama umat beragama
jadi jelas: bersama-sama dengan sikap bertanggung jawab menjalani hidup
sebaik-baiknya.
Kebebasan dalam agama
Cara memahami agama seperti ini bisa menolong
kita memilih alur penghayatan publik dan pengelolaan agama di Indonesia.
Seperti catatan di awal, jelas di sini negara tetap diperlukan dalam hal
ihwal beragama dan secara lebih tegas negara perlu hadir mencegah penganut
agama dari kehendaknya memakai paksaan/kekerasan menjalankan misinya. Dengan
modus pengelolaan negara yang sedemikian, agama akan lebih leluasa lagi
dijalankan, tanpa rasa takut, karena itu agama akan lebih mampu memperdalam
penghayatan masyarakat tentang hidup yang sungguh berharga, dan karenanya
perlu dijalani dalam tanggung jawab serta ditempuh dengan sebaik-baiknya.
Kalau pesan ultim tentang nilai hidup yang
berhargalah yang agama hendak bagikan, selanjutnya persetujuan akan pesan itu
butuh sikap bebas manusia dalam menerimanya. Sikap bebas inilah yang
memungkinkan manusia bisa tiba pada pengalaman ultim akan harga hidup itu.
Bahkan, boleh dibilang, tak ada sikap yang paling diperlukan dalam menghadapi
misi atau dakwah publik agama-agama selain sikap dan respons bebas manusia.
Kalau penghayatan dalam hidup beragama dan
penerimaan publik atasnya sedemikianlah sebaiknya, semakin perlulah
mengukuhkan dimensi kebebasan ini dalam ruang batin agama-agama dan
masyarakat Indonesia. Secara umum sudah lama para pemikir di sepanjang
sejarah, karena hormat akan potensi dan kehendak manusia, menetapkan
kebebasan hal mendasar dalam martabat manusia itu. Malah ada penyebutan forum
internum mengenai kebebasan, artinya kebebasan adalah bagian hakiki dari
kerohanian manusia yang perlu didampingi dengan aspek forum externum-nya, yaitu ruang ekspresi
yang bebas dan terlindungi bagi kerohanian manusia tadi.
Dalam terang ini kita lebih mudah memahami
gagasan klasik Isaiah Berlin ternama itu: sungguh perlu dibangun kebebasan
negatif, artinya kita sungguh perlu hidup tak ditindas, atau tak dibatasi
dalam gerak-geriknya. Di sini kebebasan berarti dibiarkannya seseorang
beriman memutuskan sendiri kehendaknya tanpa intervensi orang lain. Lalu
kebebasan positif; kebebasan di sini berarti realisasi diri di ruang publik
yang bernalar dan yang mempertimbangkan pihak lain yang langsung tak langsung
dipengaruhi kebebasan tadi.
Dengan begitu, kebebasan sesungguhnya tak
perlu mencemaskan, tetapi sungguh perlu ada, baik untuk mengalami dan
meneguhkan kedalaman rohani setiap umat beriman maupun untuk membagikannya di
ruang publik. Malah dalam rangka realisasi publik dari kekayaan rohani tadi,
setiap orang mau tak mau perlu bertanggung jawab karena, selain berhadapan
dengan kebebasan orang lain, hendak mengundang pilihan bebas sesamanya akan
langgam religiositasnya itu.
Betapa agama dan masyarakat kita butuh
perenungan mendalam lagi tentang kebebasan itu, yang dalam perkembangannya
ternyata tak perlu serba individualistis. Bisa kita simpulkan: agama perlu
lebih bebas lagi dihayati dan diperkenalkan di negeri ini. Di atas semua itu,
yang sungguh mendasar mengenai kepentingan kebebasan ini: agama butuh respons
bebas manusia atas misi/dakwahnya. Ini yang membuat manusia bersyukur pada
agama yang telah membantunya melewati hidup dengan bertanggung jawab, dengan
sebaik-baiknya, dengan takjub. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar