Senin, 01 Februari 2016

Pendengar yang Kelelahan

Pendengar yang Kelelahan

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;  Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi”
Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Terkadang kita harus membuat batasan tertentu dalam berkomunikasi, terutama apabila kita hidup bersama kerabat atau teman yang memiliki pola pikir negatif dan selalu mengeluh. Kita butuh untuk segera menyatakan, "Saya tidak bisa hidup dengan kondisi seperti ini, saya harus mencari bantuan."

Klien saya bernama N menempatkan diri dengan cara tertentu dalam relasi dengan kerabatnya bernama L yang tinggal satu atap dengannya selama hampir tiga tahun lamanya. N dan L adalah dua kerabat yang sekaligus bersahabat dan berniat untuk tinggal bersama dalam satu atap sampai masing-masing mendapat pasangan hidup untuk membina kehidupan perkawinan, kelak.

L adalah pribadi yang terobsesi dengan kecemasan berlanjut. Tingkat kecemasannya memburuk saat kecemasan menetap tersebut terakumulasi dengan kondisi stres yang didapatkan dari keluarga besarnya atau situasi kerja di kantornya.

Pada mulanya, N mengungkapkan rasa simpati kepada L. Namun, lama-kelamaan N merasakan kejenuhan terhadap keluhan yang terus-menerus diungkapkan L, yang merasa dirinya tidak berdaya, tidak mampu melepaskan diri dari kesulitan, dan setiap kali merasa diri bersalah atas kejadian yang menimpa dirinya.

N mendengarkan L dengan penuh simpati. Pada mulanya N berpendapat bahwa dirinya sebagai sahabat harus terus mendengar keluhan-keluhan L tersebut. N merasa alangkah buruk perilakunya apabila ia tidak bersedia mendengarkan keluhan L.   

Namun, kemudian N menolak untuk terus-menerus memanjakan L dengan cara yang sama. N mulai menggunakan cara humor untuk membuat L bangkit, atau langsung mengatakan kepada N bahwa dia tidak mau lagi mendengarkan keluhan-keluhan L.

N kemudian berkata sebagai berikut: "Hai L, otakmu terpaku pada hal-hal negatif dan terus terang kondisimu itu memengaruhi aku, otakku pun menjadi ikut rusak karena setiap kali mendengar keluhanmu. Semakin kamu berpikir dan mengeluh dengan caramu, semakin rusaklah fungsi otakmu. Saya pikir kamu harus mengganti isi dan fungsi otakmu dengan hal-hal positif dan beralih dari pikiran negatif. Saya benar-benar lelah dan jenuh mendengar keluhan-keluhan negatifmu tersebut."

N menutup pintu kamarnya dan mengatakan langsung bahwa dirinya tidak mau lagi mendengarkan keluhan L. Sikap N tersebut tentu saja membuat L sedih dan menangis. N berpendapat tidak ada orang yang meninggal dunia karena kesedihan berlanjut. N juga berkata bahwa N akan memutuskan relasi dengan L apabila L tidak mengubah caranya bersikap. N benar-benar menjaga jarak relasi dengan L, kecuali itu N membatasi seluruh iklim kasih dan rasa hormat terhadap diri L.

Akhirnya, N mendorong L untuk mencari seorang profesional untuk membantu mengatasi masalahnya. Sebenarnya saran tersebut telah berulang kali N sampaikan kepada L. Pada dasarnya, L menyayangi N dan menghargai nasihat N. Oleh karena itu, L menuruti nasihat N.

Sementara itu, sebenarnya N pun tidak ingin membiarkan L sedih dan frustrasi berlanjut. Hasil terapi yang L ikuti ternyata membuat L merasa lebih sehat dan nyaman.

Setelah proses terapi berjalan beberapa saat bagi L, maka relasi antara N dan L menjadi lebih fleksibel dan nyaman bagi keduanya. Tanpa L sadari, L pun mampu menjalin perbaikan relasi dengan orangtua, teman-teman, dan kerabat lainnya.

N kemudian menyampaikan kepada L: "Kamu memang harus mencari bantuan profesional. Sebab, kalau tidak, pikiran-pikiran negatif akan otomatis merusak iklim relasi kita."

Hal yang dapat kita tangkap dari pengalaman relasi N dengan L tersebut adalah bahwa apa pun inter-relasi yang kita bangun dengan seseorang, kita harus tahu keterbatasan diri kita sendiri dalam mendengarkannya. Kita harus memiliki cara melindungi diri kita.

Kita harus mampu membedakan antara percakapan saat seseorang menghadapi perasaan sakit atau sedih yang nyata serta percakapan yang ditandai oleh reaksi emosi yang bersifat kronik serta bersifat negatif yang mendorong ke arah peluang yang tidak proporsional.

Kita harus mampu mengarahkan percakapan ke arah yang jelas, dengan cara yang matang. Kita juga akhirnya akan mendapat perolehan positif dari intensitas percakapan yang kita jalin dengan rekan kita. Akhirnya koneksi yang kita bina menjadi semakin kuat apabila kita semua dapat membatasi diri serta menemukan cara produktif dalam mengatasi topik percakapan tentang hal-hal yang alergik bagi diri kita sendiri. Bravo....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar