Krisis Peran Intelektual
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar
di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya;
Associate Director Akar Rumput
Strategic Consulting (ARSC)
|
KORAN JAKARTA, 30
Januari 2016
Di Belanda, salah satu
intelektual Bumiputera Abdul Rivai pada tahun 1905 teringat nasib negeri. Dia
lalu menulis artikel “Kaoem Moeda” di majalah Bintang Hindia. Artikel
tersebut bernada satir untuk kalangan inteligensia muda saat itu karena tidak
perduli kemajuan umum seluruh negeri. Rivai menulis, “Cuma diri saya…saya…saya. Itulah yang saya pikirkan. Cuma saya…
saya…saya yang mesti menarik keuntungan dari pekerjaan saya. Lebih baik saya
jadi magang dan dapat komisi dari bos, daripada sibuk menyatukan usaha dan
perasaan, buat memajukan bangsa dan negeri Hindia.”
Setelah lebih dari
satu abad, kini Indonesia kembali menghadapi problem serupa. Kaum intelektual
yang diharapkan rakyat menjadi pengemban aspirasi publik, tanpa disadari
banyak terpenjara kepentingan diri sendiri. Mereka banyak terserap menjadi
alat legitimasi elite pengusaha-penguasa untuk mempertahankan diri melalui
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Contoh aktual, ada
kesaksian Angelina Sondakh yang menjelaskan bahwa APBN tahun 2010 untuk
anggaran pendidikan nasional diberikan kepada Partai Demokrat. Sementara
sebagai partai pendukung kekuasaan rezim SBY, partai ini menjadi madu yang
menggiurkan bagi banyak intelektual untuk masuk dalam kekuasaan menjadi
pengawal rezim. Apakah kontribusi intelektual? Apa sumbangan intelektual di
tengah pusaran dugaan korupsi masif? Tulisan Abdul Rivai tadi menjadi penanda
zaman bagi suara-suara kaum intelektual muda yang mulai bangkit menggugat
paham dan kebiasaan lama feodalistik dan antikemajuan. Dia juga menjadi pendorong
intelektual organik dekat rakyat untuk tampil.
Perjumpaan negeri
Hindia Belanda dengan era kapitalisme modern yang dibawa Belanda saat itu
membawa konsekuensi yang tidak diperkirakan. Kemunculan kaum terdidik melalui
pembukaan wahana pendidikan modern yang didorong kepentingan untuk melayani
birokrasi kolonial, alih-alih melahirkan pelayan-pelayan kolonial,
memunculkan figur-figur seperti Tirtoadhisoerjo, Tjokroaminoto, Tjipto
Mangoenkosoemo, Ki Hajar Dewantoro dan seterusnya.
Kaum borjuis sekaligus
inteligensia baru dengan ide-ide pencerahannya kala itu berperan penting
menggugat kolonialisme. Dia menjadi intelektual organik yang menyatu dengan
rakyatnya untuk membangkitkan kesadaran untuk merdeka. Kemudian juag
merumuskan imajinasi negara-bangsa melalui organisasi modern, media massa,
dan terfasilitasi oleh terbangunnya jalan-jalan yang menghubungkan tiap
daerah (Benedict R’OG Anderson, 1991).
Dalam sejarah
Indonesia, kaum intelektual seperti akademisi, jurnalis, dan budayawan
memiliki posisi sosial terhormat dan suaranya didengar elite politik maupun
publik setiap kali bicara kenyataan sosial atau arah masa depan bangsa. Namun
demikian, lontaranlontaran gagasan mereka tidak lagi menyumbang konstruktif
bagi penguatan ide-ide egalitarianisme, keadilan sosial, dan kemerdekaan
politik seperti para pendahulu awal abad ke-20. Tendensi yang menguat dari
posisi dan peran sosial mereka tidak lebih sebagai gincu manuver kekuatan
oligarkhi nasional sampai lokal untuk mempertahankan kemakmuran dan kekuasaan.
Mereka juga menutup akses publik untuk terlibat menentukan nasib hidup dalam
ruang politik.
Terafiliasi
Kiprah kaum
intelektual pasca-otoritarianisme bukanlah kisah tentang lapisan kelompok
sosial tercerahkan yang berjuang secara organik untuk memajukan agenda-agenda
demokrasi partisipatoris, pengelolaan negara demokratik, atau desain
transparansi kelembagaan melawan korupsi struktural. Peran dan posisi mereka
sekarang terhubung erat dengan karakter kekuasaan nasional dan lokal yang
koruptif, tidak terdisiplinkan oleh tatanan demokrasi maupun agenda good
governance. Peran, posisi, dan relasi intelektual dengan kuasa nasional-lokal
setelah Soeharto memperlihatkan wajah muram.
Di tengah keterbatasan
sumber-sumber material dari institusi asalnya sesuai profesinya sebagai kaum
akademik, mereka membangun hubungan-hubungan dengan pemegang kekuasaan.
Mereka juga menjadi instrumen pengetahuan seperti dalam momen politik
elektoral, pembangunan pascapemilihan, maupun kasus-kasus yang berbenturan
dengan keadilan publik.
Di tingkat nasional
maupun daerah, mereka memberi naskah maupun blueprint akademik melalui
landasan intelektual tadi. Aliansi-aliansi elite penguasa bermanuver untuk
meraup keuntungan baik dari APBN maupun APBD. Pola-pola hubungan simbiosis
mutualistik, di mana kalangan intelektual bergantung pada lapisan elite,
ditukar legitimasi pengetahuan akademik memunculkan penciptaan pengetahuan-pengetahuan
terjinakkan. Pengetahuan tentang good
governance dan demokrasi yang terdepolitisasi ini, menjadi senjata
penguasa modal menggerakkan kepentingan para elite berburu kemakmuran.
Contoh, kiprah
akademisi yang menjadi konsultan politik dari para kandidat dalam momen-momen
pilkada maupun pilpres. Bahkan peran intelektual-konsultan dalam proses
kampanye melalui pembentukan tim sukses dipercaya lebih besar dari peran
partai politik yang saat ini dianggap sebagai rental politik.
Di tengah besarnya
peran kalangan intelektual-konsultan sebagai penasihat para elite dalam
momen-momen politik, mereka tidak berperan mendorong keadilan sosial dan
kesejahteraan dalam pikiran-tindakan para elite politik. Malahan banyak
ditemukan strategi politik uang untuk meraih dukungan pemilih,
konsesi-konsesi ilegal dengan penyelenggara pemilu, dan memproduksi kampanye
hitam untuk menyerang lawan. Semua tidak steril dari buah pikiran kaum
intelektual.
Persoalannya bukan
mereka menjadi bagian konsultan politik. Itu lumrah di negara-negara
demokrasi mapan. Namun ketika menjalankan peran publik, mereka terseret dalam
arus besar politik koruptif dari kekuatan oligarkhis. Kemarau sekaligus wajah
gelap intelektual memang sangat menyesakkan.
Namun demikian,
gugatan atas peran dan posisi intelektual yang sekarang menjauh dari peran
organik kerakyatan seharusnya membuat segenap kalangan intelektual sadar
kembali akan tugas sejarahnya seperti seruan Abdul Rivai tadi. Sudah saatnya
kaum muda inteligensia tidak hanya berjuang untuk kemakmuran sendiri-sendiri,
namun juga kemajuan bersama seluruh negeri dan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar