Partai Golkar Pasca-Konsensus
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 01
Februari 2016
Konsensus politik
berupa rencana penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslub)
telah diambil oleh para elite Partai Golkar pascarapat pimpinan nasional
(rapimnas) yang digelar kubu Aburizal Bakrie.
Pihak Tim transisi
yang dibentuk oleh Mahkamah Kehormatan Partai Golkar melalui Jusuf Kalla
tidak keberatan dengan opsi tersebut, demikian pula kubu Agung Laksono. Di
sisi lain, pemerintah melalui Menkumham pun telah mengeluarkan surat
perpanjangan waktu kepengurusan hasil Munas Riau pada 2009, sehingga
memperjelas ”legal standing” penyelenggara munaslub. Dengan demikian, jalan
ke arah penyelesaian konflik semakin terang.
Segera setelah itu,
isu bergeser teknis penyelenggaraan munaslub dan siapa saja yang akan maju
sebagai kandidat ketua umum. Yang terakhir ini dipandang menarik, karena dua
tokoh Golkar yang selama ini terlibat dalam pertikaian politik internal,
Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, menyatakan tidak akan maju lagi. Ini
artinya momentum regenerasi politik terbuka.
Media massa kini cenderung
mengulas siapa saja namanama calon kandidat ketua umum di mana sebagian besar
tidak asing lagi dan cenderung dari level generasi yang sama, antara 40-an
hingga kurang 60 tahun. Apabila munaslub terselenggara dengan baik, Golkar
memperoleh dua kesempatan sekaligus, menyelesaikan konflik dan regenerasi.
Tentu ada kesempatan lain yang tidak kalah penting, bagaimana Golkar kelak
berkejaran dengan waktu melakukan konsolidasi hingga ke daerah-daerah secara
cepat menyongsong pilkada pada 2017, pemilu legislatif dan pilpres pada 2019.
Ini akan menentukan
masa depan sejarah elektoralnya. Kepolitikan Golkar memang cukup khas. Pola
konfliknya nyaris tak terkait konteks ideologis, kecuali elitis kalau bukan
pragmatis. Kalau konflik kali ini bisa selesai, kuncinya pun terpola pada
penyelesaian pilihan rasional yang sejalan dengan konteks tradisi Golkar
sebagai kekuatan politik yang rasional. Maka dapat segera dipahami optimisme
sementara kalangan bahwa sebesar apapun konfliknya, Golkar akan mampu
menemukan caranya sendiri untuk menyudahinya.
Berbeda dengan partai
lain, Golkar relatif memiliki keragaman elite yang tidak sertamerta terpola
dalam hubungan patronatif yang kuat dan kaku. Konflik Golkar kali ini
sesungguhnya mencerminkan persaingan antarelite di tubuh organisasi yang
berpuncak konflik terbuka yang membelah organisasi. Jalan ke arah pembelahan,
terkait penafsiran dan praktik demokrasi internal oleh para elitenya.
Ketika organisasi
terbelah, opsi yang paling masuk akal sesungguhnya munas kembali yang diikuti
semua pihak. Ketika masing-masing memilih jalur hukum, perkembangannya justru
tambah pelik dan penyelesaiannya mengarah kembali ke konsensus politik.
Faktor Pemerintah
Semua itu tidak dapat
dilepaskan dari faktor pemerintah sebagai kekuatan politik. Pilihan munaslub
tidak akan tercapai, manakala pemerintah tidak turun tangan. Keputusan
Menkumham mengesahkan kepengurusan Munas Ancol atau kubu Agung Laksono,
tetapi bukan Munas Bali atau kubu Aburizal, bagaimanapun berimplikasi
politik.
Ketika proses hukum
mengembalikan ke keabsahan Munas Riau, pemerintah pun tetap tidak mau
mengakui Munas Bali yang diklaim kubu Aburizal sebagai kelanjutannya. Masalah
kekosongan kepengurusan terjadi manakala periodisasi kepengurusan Munas Riau
selesai begitu masuk Januari 2016, sementara pemerintah memutuskan mencabut
kepengurusan Munas Ancol.
Keputusan pemerintah
untuk memperpanjang masa kepengurusan Munas Riau dalam kerangka penyiapan
munaslub, tentu tidak semata-mata jalan hukum, tetapi juga politik. Kebijakan
memperpanjang waktu kepengurusan yang telah usai tersebut, bagaimanapun
merupakan fenomena, kalau bukan preseden dalam sejarah kepartaian di
Indonesia. Ini menunjukkan faktor pemerintah sesungguhnya sangat penting
dalam penyelesaian konflik internal partai-partai. Terlepas dari sisi positif
mediasi, pemerintah berpeluang besar untuk memastikan agenda politiknya
tercapai.
Dalam konteks ini,
yang menonjol soal dukungan politik. Dalam kasus Golkar, jelas bahwa partai
ini pada akhirnya ”mendukung dan bersama” pemerintah. Golkar keluar dari
pilihan politiknya semula sebagai kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan.
Pilihan ini tidak dapat dilepaskan dari ampuhnya kartu politik pemerintah
dalam mengondisikan dukungan politik.
Masuknya Golkar
sebagai kekuatan pendukung pemerintahan, kendatipun sangat mungkin partai ini
tidak memperoleh jatah menteri kabinet dalam kalkulasi politik dewasa ini,
tetaplah sangat menguntungkan pemerintah terutama dalam memainkan kartu-kartu
politiknya di parlemen. Bagi sebagian besar elite Golkar, bergabung dipandang
lebih mudah ketimbang di luar pemerintahan.
Mereka berdalih tidak
adanya ”kultur oposisi” di Golkar, kendatipun dalam hal ini kesempatannya
untuk memperoleh pengalaman di luar pemerintahan tidak pernah menjadi utuh.
Terlepas dari itu, kini timbul harapan besar bagi menyatunya kembali Golkar
pasca-konsensus munaslub. Golkar dituntut menunjukkan ke publik kemampuannya
menyelesaikan konflik melalui ajang kompetisi yang demokratis.
Akhirnya, apa yang
terjadi pada Golkar tetaplah pelajaran berharga, bagaimana sebuah konflik
politik yang mudah terjadi mampu diakhiri melalui konsensus bersama, kendati
melalui jalan terjal dan berliku. Bagaimanapun, Golkar merupakan aset bangsa.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar