Selasa, 02 Februari 2016

Partai Golkar Pasca-Konsensus

Partai Golkar Pasca-Konsensus

M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
                                               KORAN SINDO, 01 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Konsensus politik berupa rencana penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) telah diambil oleh para elite Partai Golkar pascarapat pimpinan nasional (rapimnas) yang digelar kubu Aburizal Bakrie.

Pihak Tim transisi yang dibentuk oleh Mahkamah Kehormatan Partai Golkar melalui Jusuf Kalla tidak keberatan dengan opsi tersebut, demikian pula kubu Agung Laksono. Di sisi lain, pemerintah melalui Menkumham pun telah mengeluarkan surat perpanjangan waktu kepengurusan hasil Munas Riau pada 2009, sehingga memperjelas ”legal standing” penyelenggara munaslub. Dengan demikian, jalan ke arah penyelesaian konflik semakin terang.

Segera setelah itu, isu bergeser teknis penyelenggaraan munaslub dan siapa saja yang akan maju sebagai kandidat ketua umum. Yang terakhir ini dipandang menarik, karena dua tokoh Golkar yang selama ini terlibat dalam pertikaian politik internal, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, menyatakan tidak akan maju lagi. Ini artinya momentum regenerasi politik terbuka.

Media massa kini cenderung mengulas siapa saja namanama calon kandidat ketua umum di mana sebagian besar tidak asing lagi dan cenderung dari level generasi yang sama, antara 40-an hingga kurang 60 tahun. Apabila munaslub terselenggara dengan baik, Golkar memperoleh dua kesempatan sekaligus, menyelesaikan konflik dan regenerasi. Tentu ada kesempatan lain yang tidak kalah penting, bagaimana Golkar kelak berkejaran dengan waktu melakukan konsolidasi hingga ke daerah-daerah secara cepat menyongsong pilkada pada 2017, pemilu legislatif dan pilpres pada 2019.

Ini akan menentukan masa depan sejarah elektoralnya. Kepolitikan Golkar memang cukup khas. Pola konfliknya nyaris tak terkait konteks ideologis, kecuali elitis kalau bukan pragmatis. Kalau konflik kali ini bisa selesai, kuncinya pun terpola pada penyelesaian pilihan rasional yang sejalan dengan konteks tradisi Golkar sebagai kekuatan politik yang rasional. Maka dapat segera dipahami optimisme sementara kalangan bahwa sebesar apapun konfliknya, Golkar akan mampu menemukan caranya sendiri untuk menyudahinya.

Berbeda dengan partai lain, Golkar relatif memiliki keragaman elite yang tidak sertamerta terpola dalam hubungan patronatif yang kuat dan kaku. Konflik Golkar kali ini sesungguhnya mencerminkan persaingan antarelite di tubuh organisasi yang berpuncak konflik terbuka yang membelah organisasi. Jalan ke arah pembelahan, terkait penafsiran dan praktik demokrasi internal oleh para elitenya.

Ketika organisasi terbelah, opsi yang paling masuk akal sesungguhnya munas kembali yang diikuti semua pihak. Ketika masing-masing memilih jalur hukum, perkembangannya justru tambah pelik dan penyelesaiannya mengarah kembali ke konsensus politik.

Faktor Pemerintah

Semua itu tidak dapat dilepaskan dari faktor pemerintah sebagai kekuatan politik. Pilihan munaslub tidak akan tercapai, manakala pemerintah tidak turun tangan. Keputusan Menkumham mengesahkan kepengurusan Munas Ancol atau kubu Agung Laksono, tetapi bukan Munas Bali atau kubu Aburizal, bagaimanapun berimplikasi politik.

Ketika proses hukum mengembalikan ke keabsahan Munas Riau, pemerintah pun tetap tidak mau mengakui Munas Bali yang diklaim kubu Aburizal sebagai kelanjutannya. Masalah kekosongan kepengurusan terjadi manakala periodisasi kepengurusan Munas Riau selesai begitu masuk Januari 2016, sementara pemerintah memutuskan mencabut kepengurusan Munas Ancol.

Keputusan pemerintah untuk memperpanjang masa kepengurusan Munas Riau dalam kerangka penyiapan munaslub, tentu tidak semata-mata jalan hukum, tetapi juga politik. Kebijakan memperpanjang waktu kepengurusan yang telah usai tersebut, bagaimanapun merupakan fenomena, kalau bukan preseden dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Ini menunjukkan faktor pemerintah sesungguhnya sangat penting dalam penyelesaian konflik internal partai-partai. Terlepas dari sisi positif mediasi, pemerintah berpeluang besar untuk memastikan agenda politiknya tercapai.

Dalam konteks ini, yang menonjol soal dukungan politik. Dalam kasus Golkar, jelas bahwa partai ini pada akhirnya ”mendukung dan bersama” pemerintah. Golkar keluar dari pilihan politiknya semula sebagai kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan. Pilihan ini tidak dapat dilepaskan dari ampuhnya kartu politik pemerintah dalam mengondisikan dukungan politik.

Masuknya Golkar sebagai kekuatan pendukung pemerintahan, kendatipun sangat mungkin partai ini tidak memperoleh jatah menteri kabinet dalam kalkulasi politik dewasa ini, tetaplah sangat menguntungkan pemerintah terutama dalam memainkan kartu-kartu politiknya di parlemen. Bagi sebagian besar elite Golkar, bergabung dipandang lebih mudah ketimbang di luar pemerintahan.

Mereka berdalih tidak adanya ”kultur oposisi” di Golkar, kendatipun dalam hal ini kesempatannya untuk memperoleh pengalaman di luar pemerintahan tidak pernah menjadi utuh. Terlepas dari itu, kini timbul harapan besar bagi menyatunya kembali Golkar pasca-konsensus munaslub. Golkar dituntut menunjukkan ke publik kemampuannya menyelesaikan konflik melalui ajang kompetisi yang demokratis.

Akhirnya, apa yang terjadi pada Golkar tetaplah pelajaran berharga, bagaimana sebuah konflik politik yang mudah terjadi mampu diakhiri melalui konsensus bersama, kendati melalui jalan terjal dan berliku. Bagaimanapun, Golkar merupakan aset bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar