Inflasi Rendah dan Suku Bunga Negatif
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEUI
|
KORAN SINDO, 01
Februari 2016
Tulisan saya di media
ini yang berjudul ”Deflasi dan Nilai
Tukar” (16/03/15) telah mengulas bahwa tren inflasi rendah akan tetap
berlangsung di sejumlah kawasan, terutama Jepang dan Eropa.
Rendahnya inflasi atau
bahkan deflasi telah membuat banyak otoritas, baik moneter maupun fiskal,
merumuskan sejumlah kebijakan untuk membuat perekonomian keluar dari
lingkaran setan (vicious circle ). Baru-baru ini dunia dikejutkan oleh
keputusan Bank Sentral Jepang (BoJ) yang menetapkan suku bunga acuan minus
0,1%. Dengan suku bunga negatif, pemegang deposito justru yang harus membayar
ke perbankan.
Bukansebaliknyabilasukubungadi
atas 0%, para penabung mendapatkan bunga dari dana yang ditempatkan di
deposito. Keputusan penetapan suku bunga negatif BoJ menambah deretan bank
sentral yang melakukan hal serupa setelah Bank Sentral Eropa (ECB) di
Desember 2015 memangkas suku bunga acuan menjadi minus 0,3%.
Langkah ini ditempuh
ECB agar perekonomian Eropa, terutama sector riil, lebih bergairah dan
menghasilkan spiral positif bagi aktivitas bisnis serta peningkatan konsumsi
di Eropa. Jepang maupun Eropa memiliki tantangan untuk meningkatkan inflasi
sebagai cerminan bergeraknya aktivitas bisnis. Rendahnya angka inflasi yang
dialami Jepang dan Eropa menunjukkan lemahnya aktivitas perekonomian di kedua
kawasan.
Pada Desember 2015,
Jepang mencatatkan inflasi hanya 0,1%, jauh dari harapan bank sentral.
Kondisi serupa dialami Eropa dengan inflasi sangat rendah terjadi dalam
beberapa waktu terakhir, yang semakin menegaskan lesunya perekonomian mereka.
Baik BoJ maupun ECB berharap suku bunga negatif akan membantu tercapainya
target inflasi di kisaran 2% tahun ini. Inflasi 2% merupakan cerminan kondisi
yang optimal bagi ketersediaan dan penyerapan tenaga kerja, meningkatnya
total output produksi serta indikasi optimum-capacity
perekonomian Jepang dan Eropa.
Dalam kerangka inflation targeting, bank sentral
biasanya memiliki target inflasi yang diharapkan dan kemudian mengarahkan
kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi tersebut. Suku bunga
dinaikkan dan diturunkan mengikuti target inflasi yang diinginkan bank
sentral. Secara teoretis, rendahnya suku bunga atau bahkan suku bunga negatif
seperti yang dilakukan BoJ dan ECB menjadi disinsentif bagi pemilik dana
untuk menempatkan dananya di perbankan.
Alih-alih mendapatkan
imbal hasil, pemilik dana justru harus membayar dan membuat nilai uang
semakin turun. Harapan bank sentral, pemilik dana akan menarik dananya dari
perbankan dan digunakan untuk membiayai investasi, modal kerja, dan konsumsi.
Sebelum BoJ dan ECB menerapkan suku bunga negatif, sebenarnya mereka telah
memobilisasi paling tidak dua instrumen moneter, yaitu penetapan suku bunga
rendah mendekati 0% dan pembelian aset-aset surat berharga (quantitative easing).
BoJ menggelontorkan
tidak kurang dari USD660 miliar untuk membeli aset-aset surat berharga di
pasar keuangan. ECB juga memiliki program serupa untuk pembelian obligasi
senilai 1,5 triliun euro atau setara USD1,6 triliun. Stimulus moneter ini
dilakukan agar likuiditas di pasar keuangan meningkat dan membantu perusahaan
melakukan ekspansi usaha. Dengan ekspansi usaha, target penyerapan tenaga
kerja akan meningkat sehingga pendapatan dan daya beli masyarakat terjaga.
Daya beli masyarakat
yang terjaga dan meningkat akan memberikan kepastian terhadap permintaan
pasar dan berikutnya akan meningkatkan kepercayaan dunia usaha. Namun siklus
positif di atas tidak terjadi seperti yang diharapkan kedua bank sentral.
Ekonomi Jepang dan Eropa masih sulit keluar dari kelesuan, inflasi juga tidak
beranjak mendekati target seperti yang diharapkan.
Hal inilah yang
mendorong kedua bank sentral akhirnya melangkah lebih jauh dengan menetapkan
suku bunga negatif untuk menambah stimulus yang selama ini sudah dilakukan.
Sepertinya baik BoJ maupun ECB akan berusaha sekuat tenagauntuk mengeluarkan
perekonomian mereka dari tekanan inflasi rendah dan lesunya dunia usaha.
Rendahnya inflasi yang dialami Jepang dan Eropa telah membuat dunia usaha
menunda investasi akibat tingginya risiko tidak terpenuhinya hasil usaha.
Tren rendahnya
kenaikan harga di pasar domestik telah membuat dunia usaha baik di Jepang
maupun Eropa menahan ekspansi usaha. Hal ini menjadi indikasi buruk bagi
sektor riil, manufaktur, dan jasa di kedua kawasan tersebut. Faktor eksternal
di luar Jepang dan Eropa seperti rendahnya harga minyak mentah dunia,
penurunan harga komoditas dunia serta melambatnya perekonomian China juga
berkontribusi pada melambatnya perekonomian Jepang dan Eropa.
Meskipun berbeda jalur
transmisinya, faktor-faktor tersebut membuat banyak perusahaan besar di
Jepang dan Eropa menurunkan aktivitas usaha, menahan ekspansi, mengurangi
kapasitas produksi, dan bahkan menghentikan sejumlah fasilitas produksi.
Banyak perusahaan juga mengalami tekanan dari sisi pasar saham di mana
jatuhnya pasar saham China juga memengaruhi investor global dan memberikan
sentimen negatif di sejumlah pasar saham kawasan lain.
Kombinasi dari
melemahnya permintaan dan volatilitas pasar keuangan membuat banyak
perusahaan dalam posisi sulit di Jepang dan Eropa. Sentimen ini tidak hanya
dialami perusahaan, tetapi pekerja dan rumah tangga juga terkena imbas. Dari
sisi konsumen, sikap menahan untuk tidak membeli sampai situasi membaik
semakin membuat situasi memburuk karena membuat permintaan di pasar domestik
melemah.
Pelajaran dari Jepang
dan Eropa adalah pentingnya Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah untuk tetap
menjaga confidence baik dunia usaha
maupun konsumen rumah tangga. Risiko BI menempuh suku bunga negatif memang
sangat kecil peluangnya untuk konteks Indonesia. Selama ini Indonesia
mengalami tren inflasi yang cukup tinggi sehingga tidak mungkin suku bunga
menjadi negatif seperti yang dilakukan BoJ dan ECB. Namun tren inflasi rendah
juga akan dialami Indonesia seiring dengan semakin rendahnya harga minyak
mentah dunia.
Inflasi yang rendah
akan memerikan ruang bagi BI untuk bisa menurunkan suku bunga acuan yang
beberapa waktu lalu telah diturunkan sebesar 25 basis poin. Bagi pemerintah,
tren rendahnya inflasi di satu sisi menjadi kabar baik, tetapi perlu terus
diwaspadai.
Titik optimal inflasi
harus tetap dijaga agar di satu sisi konsumen tidak tergerus daya belinya,
tetapi dunia usaha tetap memiliki insentif akan imbal hasil investasi di
sektor riil yang dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar