Medan Cahaya di Lokasi Medan Perang
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 01
Februari 2016
SAYA tidak pernah berhenti
mengagumi Masjid Nabi di Madinah ini: perencanaannya, desainnya,
arsitekturnya, penggunaan warna dan kombinasinya, kualitas materialnya,
finishing-nya, dalamnya, luarnya, dan skala ukurannya. Gigantik.
Termasuk toiletnya: dua susun di
bawah tanah. Masing-masing lantai toilet terhubung dengan tempat parkir bawah
tanah. Seluas sahara.
Berkali-kali saya melihat video
bagaimana masjid ini dibangun. Di acara megastruktur. Di Discovery Channel.
Tapi, saat saya ke Masjid Nabi
lagi tiga hari lalu, pikiran saya melayang jauh ke Spanyol. Ke Kota Cordoba.
Tepatnya ke Masjid Cordoba. Yang kini jadi gereja. Atau tepatnya dulu gereja
(600), lalu dipakai bersama paro-paro masjid dan gereja (600–900), kemudian
jadi masjid besar (900–1200), dan terakhir jadi gereja (1200–sekarang).
Sejak kecil saya tahu: Masjid
Cordoba luar biasa indahnya. Dari buku pelajaran di madrasah. Terindah di
dunia. Waktu itu. Simbol kejayaan pemerintahan Islam di Eropa.
Keinginan ke Cordoba akhirnya
terkabul. Tahun lalu. Bersama seluruh keluarga.
Betul. Masjid Cordoba indah. Indah
sekali. Ditambah dengan kekayaan seni interior gereja Katolik yang
ditambahkan di dalam masjid itu.
Tapi, Masjid Cordoba kenyataannya
berbeda. Tidak seindah yang saya bayangkan waktu kecil. Mungkin bayangan
seumur pelajar berbeda. Bayangan anak-anak.
Tapi tidak. Bukan itu penyebabnya.
Ini saya sadari tiga hari lalu. Saat saya memperhatikan Masjid Nabawi lebih
lama. Tepatnya menikmatinya lebih lama.
Masjid Nabi (Nabawi) jauh lebih
indah daripada Masjid Cordoba. Jauh sekali. Berlipat ganda indahnya.
Semula saya ragukan kesimpulan
itu. Hari kedua saya nikmati lagi Masjid Nabawi. Lebih lama. Dalamnya.
Luarnya. Mengelilingi dalamnya sama melelahkannya dengan meninjau luarnya.
Saking besarnya. Imajinasi saya
loncat-loncat: Madinah. Cordoba. Madinah. Cordoba. Yes! Madinah jauh lebih
indah!
Tiba-tiba muncul kesimpulan lain.
Mengejutkan imaji saya. Berada di Madinah ini rasanya kok seperti berada di
Cordoba. Ya. Ternyata ada kemiripan. Beberapa bagian arsitekturnya mirip.
Sangat mirip.
Lantas muncul pertanyaan. Untuk
diri saya sendiri. Mungkinkah desain Masjid Nabawi yang baru ini sengaja
dimiripkan dengan Cordoba? Untuk mengenang kejayaan Islam di Eropa itu?
Sekaligus untuk mengalahkannya? Secara telak pula? Agar tidak ada penyesalan
yang terlalu dalam atas hilangnya kebanggaan masa lalu itu?
Mungkin begitu. Mungkin tidak.
Selera arsitektur Madinah modern
memang beda dengan Makkah modern. Sama hebatnya, tapi beda wujudnya. Secara
keseluruhan. Madinah modern adalah kota yang ditata dengan elegan. Kalau di
Amerika ada tipikal New York dan Washington, Madinah modern adalah
Washingtonnya.
Madinah di waktu malam lebih-lebih
lagi. Anggaplah Anda naik mobil dari Jeddah atau Makkah menuju Madinah.
Begitu tiba di Bir Ali (sepuluh menit sebelum masuk pusat Kota Madinah),
siap-siaplah terpesona.
Begitu Anda melintas di jalan
Tariq Hijr, ada pemandangan magis yang menakjubkan. Keindahan Masjid Nabawi.
Lengkap dengan cahaya mirip siangnya.
Cahaya dengan tata warna yang
elegan. Ditambah menara-menaranya. Ditambah bangunan sekitarnya. Ditambah
lagi yang terbaru ini: latar belakangnya yang misterius.
Dulu tidak ada background itu. Hanya gelap. Kini ada
yang baru: cahaya magis yang memantul ke hutan rimba. Apakah ada hutan baru
di belakang masjid?
Oh... Bukan. Bukan hutan. Itu
seperti layar raksasa. Adakah dipasang layar raksasa sepanjang
berkilo-kilometer di belakang masjid? Oh.... Bukan. Bukan layar.
Sekarang saya ingat. Di belakang
masjid itu kan ada gunung. Terkenal dalam sejarah: Jabal Uhud. Sebuah bukit
batu yang cukup tinggi yang memanjang di belakang Masjid Nabawi.
Di kejauhan. Ternyata di
sekeliling Gunung Uhud itu sekarang dipasangi lampu sorot dengan kekuatan
besar. Tiap 50 meter. Sepanjang gunung. Berkilo-kilometer.
Sorotnya mencapai gunung batu
setinggi 1.000 meter itu. Yang saya kira hutan rimba tadi. Pencahayaan itu
menimbulkan imajinasi yang berbeda-beda.
Maka dari arah Tariq Hijr ini
Masjid Nabawi selalu berganti background:
siang gunung batu, malam gunung cahaya.
Atau datanglah ke mal terbesar
kedua di Madinah: Mal An Nur. Pesona Jabal Uhud di waktu malam ini juga bisa
dinikmati dari mal modern itu. Maka kawasan gunung yang dulu dikenal sebagai
medan perang itu (Perang Uhud) kini menjadi medan cahaya.
Masih ada ikon baru lain di
Madinah: bandara baru dan stasiun kereta api yang baru. Bandaranya bagus
sekali. Dengan sentuhan khas Arab. Pilar-pilarnya yang tinggi itu dibentuk
dengan inspirasi pohon kurma. Modern menakjubkan.
Demikian juga stasiun kereta
apinya. Indah di waktu siang. Lebih indah lagi di waktu malam. Saya tergoda
ingin masuk ke dalamnya. Tapi belum bisa. Masih tutup. Mungkin baru akan
beroperasi satu tahun lagi.
Itulah stasiun kereta supercepat
Makkah-Madinah (450 km). Yang sedang dibangun oleh gabungan kekuatan Spanyol,
Inggris, dan Tiongkok.
Tidak jauh dari situ ada juga
proyek raksasa. Sedang dikerjakan. Seru-serunya. Lho saya ingat. Lokasi ini
kan terminal bus untuk jamaah haji. Yang luas itu. Dulu. Dulu sekali.
Ternyata lokasi itu kini untuk proyek hotel-hotel bintang lima yang mewah.
Itu akan istimewa. Dari lantai
atas hotel itu nanti akan bisa melihat keindahan Masjid Nabawi. Lengkap
dengan background gunung cahaya
Uhud. Di waktu malam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar