Menanti Solusi di Suriah
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 03
Februari 2016
Perundingan atau
negosiasi akan berjalan baik dan lancar apabila masing-masing pihak
mengetahui apa yang mereka inginkan. Persoalan timbul apabila masing-masing
pihak atau satu pihak tidak mengetahui apa yang mereka inginkan.
Hal ini yang terjadi
dalam pembicaraan atau negosiasi mengenai masalah Suriah. Namun demikian,
lobi-lobi yang dilakukan dan format perundingan yang akan dilakukan kali ini
dapat dianggap sebagai langkah cerdas untuk mengatasi masalah klasik yang
selalu menghantui gagalnya perundingan tentang Suriah.
Sekadar mengingatkan
bahwa Minggu ini sesuai dengan jadwal yang disusun oleh Dewan Keamanan PBB
pada Desember tahun lalu adalah pertemuan tingkat tinggi antara wakil dari
Pemerintahan Rezim Bashar al-Assad dan perwakilan oposisi. Pertemuan ini
seharusnya sudah dilangsungkan awal Januari namun karena perdebatan,
khususnya di antara kelompok-kelompok oposisi, jadwal perundingan selalu
mengalami penundaan.
Resolusi no 2254 yang
memuat Peta Jalan Perdamaian terutama menyebut bahwa seluruh pihak yang
bertikai harus segera melakukan gencatan senjata untuk melindungi warga sipil
dari serangan. Namun, gencatan senjata ini tidak berlaku bagi
organisasi-organisasi yang masuk dalam kategori teroris. Mereka antara lain
adalah Islamic State (IS, formerly
ISIS/ISIL), Al-Nusra Front, Al-Qaeda dan kelompok atau individu yang terkait
dengan mereka.
Target dari
perundingan ini cukup ambisius yaitu mencakup dua hal. Pertama , membentuk
pemerintahan baru, konstitusi baru dan pemilihan yang baru. Kedua , mendorong
jalan untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Suriah. Dalam mandat tersebut
juga dikatakan bahwa dalam enam bulan setelah perundingan harus sudah mulai
berdiri pemerintahan yang kredibel, inklusif dan nonsektarian dengan
pengawasan langsung dari PBB.
Pemerintahan itu juga
harus segera menyelenggarakan sebuah pemilihan yang jujur, adil, dan bebas
dalam waktu 18 bulan. Isi dari mandat disetujui oleh 17 menteri luar negeri
dari negara-negara yang terlibat dalam konflik seperti Rusia, Amerika
Serikat, Uni-Eropa, Inggris, Prancis, China, Mesir, Yordania, Iran, Irak,
Itali, Qatar, Libanon, UEA, Arab Saudi dan Turki.
Isi mandat yang
mengejutkan itu juga mencerminkan perubahan politik khususnya dari
negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Rusia dan Eropa. Amerika dan
Eropa kini tidak lagi sepakat dengan tuntutan para oposisi yang dipimpin oleh
Arab Saudi untuk mensyaratkan turunnya rezim Assad sebagai landasan
pembentukan tim transisi yang mewarnai perundingan Geneva I dan Geneva II.
Perubahan ini antara
lain disebabkan keterlibatan Rusia dalam serangan-serangan terhadap basis
militer atau wilayah yang dikuasai organisasi teroris yang didefinisikan
tidak hanya ISIS dan afiliasi yang terkait. Serangan Rusia ke basis-basis
oposisi yang masuk dalam kategori organisasi teroris telah memukul mundur dan
memecahkan kekuatan para oposisi.
Oleh sebab itu,
perundingan Geneva ke-3 ini juga mewakili kekuatan militer di lapangan.
Selain itu, keberhasilan perundingan nuklir antara Iran dengan Eropa dan
Amerika Serikat juga menjadi faktor tidak langsung yang meyakinkan bahwa Iran
dapat menjadi faktor penentu keberhasilan dalam perundingan.
Utusan khusus PBB yang
menangani Staffan de Mistura sebetulnya tidak ingin menyebut perundingan ini
sebagai Geneva III karena isi dan proses perundingan sama sekali baru dan
tidak terikat dengan perundingan- perundingan sebelumnya. Salah satu syarat
yang mencolok adalah tiadanya syarat untuk memulai pembicaraan.
Format pertemuan juga
bukan negosiasi face to face antara
perwakilan pemerintah Suriah dan para kelompok oposisi, tetapi pembicaraan
atau perundingan melalui seorang moderator di mana perwakilan pemerintah
Suriah dan kelompok oposisi berada di dalam ruangan yang terpisah.
Masing-masing kelompok
akan membicarakan beberapa tema yang disodorkan mulai dari masalah
pemerintahan transisi hingga pemilihan umum. Oleh sebab itu, perundingan ini
bisa berlangsung lebih lama, paling sedikit enam bulan ke depan. Cara ini
adalah solusi dari rumitnya menentukan perwakilan terutama dari kelompok
oposisi. Kelompok oposisi tidak semuanya memiliki pandangan, ideologi dan
langkah politik yang sama.
Hal ini yang
menyebabkan banyak pembicaraan yang gagal atau tidak dapat dijalankan. Oleh
sebab itu dalam pembicaraan tentang Suriah ke-3 ini, selain mengundang
kelompok oposisi yang pernah berunding dalam pembicaraan sebelumnya, Staffan
de Mistura juga mengundang kelompok Kurdi yang ditolak oleh Turki dan
beberapa organisasi HAM, organisasi perempuan dan organisasi masyarakat sipil
lainnya.
Jadi, pembicaraan akan
berjalan dari berbagai sisi dan juga menguji keseriusan dari masing-masing
pihak untuk menyampaikan tawaran mereka. Saya melihat bahwa kelebihan dari
strategi perundingan yang baru ini akan mendorong spontanitas atau ide-ide
baru.
Pada awalnya, para
delegasi mungkin tidak akan bertatap muka namun apabila mulai tumbuh rasa
percaya dan pengertian dari masing-masing kelompok, tidak tertutup
kemungkinan perundingan tatap muka dan kesepakatan dapat terjadi untuk
beberapa tema tertentu walaupun mungkin tidak untuk tema yang lain.
Meski semua pihak
menyadari bahwa harapan yang terlalu tinggi hanya akan menimbulkan
kekecewaan, dunia tetap mengharapkan perundingan ketiga di Geneva akan
menghasilkan sesuatu yang produktif terutama untuk mengatasi masalah krisis
kemanusiaan di wilayah konflik di Suriah.
Para pihak yang
bertikai seharusnya justru harus segera memulai perundingan untuk membuka
jalan kemanusiaan ke Suriah dan tidak sebaliknya menggunakan krisis
kemanusiaan yang sangat dalam sebagai alasan untuk tidak memulai perundingan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar