Rabu, 03 Februari 2016

Involusi Civil NU

Involusi Civil NU

Syaiful Arif  ;   Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta
                                               KORAN SINDO, 02 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah gempuran radikalisme agama dan politik harian, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki problem mendasar yang membuat gerak organisasi ini jalan di tempat. Tulisan ini merefleksikan problem tersebut, mengingat NU telah berumur 90 tahun pada 31 Januari kemarin.

Yang penulis maksud dengan problem mendasar ialah peran politik NU, terutama pasca-Reformasi 1998, yang stagnan dan involutif. Artinya, ia tak berevolusi sebagaimana gerakan politik yang sebelumnya dibangun. Jika menengok ke belakang, terdapat tiga praktik historis politik NU yang mengagumkan. Pertama, fase pembentukan nasionalisme Islam melalui penahbisan Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam).

Ini dilakukan pada Muktamar Ke-11 di Banjarmasin (1936) yang terkenal itu. Pilihan kata dar al-Islam yang dimaknai wilayah, dan bukan daulah Islamiyah (negara Islam), menunjukkan kesadaran nasionalistik ulama NU karena meskipun bukan di bawah pemerintahan Islam, Nusantara secara sosiologis merupakan wilayah (bangsa) kaum muslim.

Fase kedua, politik kenegaraan, sejak pengaminan NKRI pada ”konsensus konstitusional” 1945 hingga pendaulatan Presiden Soekarno sebagai pemimpin darurat yang memiliki otoritas (waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah) pada 1954. Kepemimpinan Soekarno disebut darurat karena tak ada lagi khalifah tunggal dunia Islam pasca-Turki Ustmani (1924). Namun, memiliki kewenangan menerapkan hukum Islam sebab ia pemimpin yang sah secara hukum.

Dengan cara ini, NU mendelegitimasi upaya DI/TII untuk menegakkan Negara Islam Indonesia karena secara syar’i, pemerintahan RI sudah bersifat islami. Fase ketiga, politik demokrasi. Ini digerakkan pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui peran NU sebagai masyarakat sipil (civil society).

Dalam fase ini, NU mengimbangi hegemoni Orde Baru di satu sisi serta radikalisme agama di sisi lain. Ini dilakukan melalui; (1) penerimaan asas tunggal Pancasila untuk menghadang islamisasi negara, (2) pengembangan ekonomi kerakyatan lewat program Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren untuk mengimbangi pendekatan top down developmentalisme, dan (3) kritik atas otoriterisme negara melalui penolakan atas pencalonan Soeharto sebagai presiden dalam Pemilu 1992.

Dengan menyatakan kesetiaan hanya pada konstitusi, dan bukan pada penguasa (pada Rapat Akbar 1991), NU menegaskan politik demokratik melampaui politik kekuasaan. Tak heran jika masa ini, NU menjadi pionir gerakan civil Islam dan menjadi primadona bagi peneliti asing tentang Islam di Indonesia.

Para peneliti tersebut berduyun-duyun melakukan ”pertaubatan metodologis”, dari modern mindedness yang melihat NU sebagai gerakan tradisional oportunis, menuju pemahaman empatik atas peran transformatif NU. Dalam konteks ini, NU dilihat mengembangkan civil NU, yakni gerakan civil society berbasis paham ke-NU-an.

Melap-lap Tradisi

Dari praktik historis di atas kita menemukan tiga bentuk politik NU, yakni kebangsaan, kenegaraan, dan demokrasi. Menariknya sebagaimanadibaca dengan tepat oleh Robin Bush dalam Islam and Civil Society in Indonesia, the Case of the Nahdlatul Ulama (2002), orientasi politik NU memuat tujuan keagamaan (religious end) daripada kekuasaan. Artinya, yang menggerakkan praktik politik bukanlah motivasi kekuasaan, melainkan landasan dan tujuan keagamaan.

Hal ini bisa dipahami karena NU merupakan kaum Sunni yang-sebagaimana al-Mawardi menetapkan tujuan berpolitik kepada dua hal. Pertama, pelanjutan misi Nabi Muhammad untuk menjaga agama. Kedua, mewujudkan kemaslahatan umat. Dua tujuan ini bersifat keagamaan karena kemaslahatan merupakan tujuan utama syariah. Sifat keagamaan dari politik NU juga bisa dilihat dari metode pemikiran politiknya yang menggunakan fikih.

Karena itu, di setiap tilikan praktik historis politik NU di atas, ketika menemukan argumentasi fikih di dalamnya. Misalnya, Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih: Meninggalkan kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan. Ini menjadi landasan penolakan idealisme negara Islam karena di bumi multiagama, ia akan melahirkan kerusakan daripada kebaikan.

Pendekatan fikih ini pula yang menempatkan syariat tidak an sich sebagai hukum negara yang diwujudkan melalui gerakan ideologis, melainkan keilmuan hukum yang digunakan untuk membumikan prinsip syariat (mabadi’ al-syariah) di konteks yang beragam. Hanya, pemikiran yang pas dalam konteks kenegaraan ini kini mengalami involusi pada level politik demokratik.

Artinya, politik NU, terutama dalam wacana politiknya, hanya melaplap tradisi politik kenegaraandan kebangsaan yang telah diukir oleh para pendahulu. Ini terlihat dalam jargon ”NU membela NKRI sebagai harga mati”. Dalam hal ini, politik kenegaraan NU terbatas pada pembelaan atas Pancasila. Sedangkan politik kebangsaannya terpaku pada pembelaan atas nasionalisme.

Hal ini memang penting karena diarahkan untuk mengimbangi gerakan khilafah yang hendak mendelegitimasi NKRI. Namun, ia alpa dengan substansi politik, yang tidak hanya memuat dasar serta bentuk negara. Artinya, NU alpa dengan politik demokratik yang digerakkan Gus Dur yang menghantamkan gerakan politik ke ketimpangan kekuasaan. Hal ini bukan tanpa penyebab karena, pertama, Gus Dur telah berpolitik praktis pascakepresidenan keempat RI.

Ini yang menggeret sebagian aktivis kultural ke jalur politik melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kedua, kepemimpinan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lebih mencerminkan ”kaum tradisionalis” yang hanya konsen dengan politik kebangsaan dan kenegaraan. Ini terjadi karena PBNU lebih memahami diri sebagai pusat organisasi, bukan pusat gerakan sipil sebagaimana civil NU era ”PBNU Gus Dur”.

Ketiga , kalangan muda NU tak melakukan ”penyegaran konsep” Islam-demokratik karena hanya membidikkan tembakan pada radikalisme serta pembelaan terhadap kaum minoritas, namun abai dengan ketimpangan struktural pada ranah eko-politik. Ini yang membuat gerakan sipil NU tetap terbatas pada ranah keagamaan, dan tak meluas pada proses demokratisasi secara umum.

Keempat, menjamurnya politisi NU yang tersedot dalam pragmatisme politik. Dalam kondisi ini, segenap tradisi pemikiran politik NU hanya dijadikan ”pemanis gincu” bagi retorika politik. Kemesraan PBNU dan PKB pasca-Muktamar Ke- 33 NU (2015) semakin memperkuat politisasi ini, dan membuyarkan Khitah 1926 yang menggaris-batasi NU dan politik praktis.

Berdasarkan sebab-sebab ini, civil NU hanya tinggal sejarah, diganti oleh gerakan tradisional yang tersusupi para pemuja kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar