Involusi Civil NU
Syaiful Arif ; Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta
|
KORAN SINDO, 02
Februari 2016
Di tengah gempuran
radikalisme agama dan politik harian, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki problem
mendasar yang membuat gerak organisasi ini jalan di tempat. Tulisan ini
merefleksikan problem tersebut, mengingat NU telah berumur 90 tahun pada 31
Januari kemarin.
Yang penulis maksud
dengan problem mendasar ialah peran politik NU, terutama pasca-Reformasi
1998, yang stagnan dan involutif. Artinya, ia tak berevolusi sebagaimana
gerakan politik yang sebelumnya dibangun. Jika menengok ke belakang, terdapat
tiga praktik historis politik NU yang mengagumkan. Pertama, fase pembentukan
nasionalisme Islam melalui penahbisan Nusantara
sebagai wilayah Islam (dar al-Islam).
Ini dilakukan pada
Muktamar Ke-11 di Banjarmasin (1936) yang terkenal itu. Pilihan kata dar al-Islam
yang dimaknai wilayah, dan bukan daulah Islamiyah (negara Islam), menunjukkan
kesadaran nasionalistik ulama NU karena meskipun bukan di bawah pemerintahan
Islam, Nusantara secara sosiologis merupakan wilayah (bangsa) kaum muslim.
Fase kedua, politik kenegaraan,
sejak pengaminan NKRI pada ”konsensus konstitusional” 1945 hingga pendaulatan
Presiden Soekarno sebagai pemimpin darurat yang memiliki otoritas (waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah)
pada 1954. Kepemimpinan Soekarno disebut darurat karena tak ada lagi khalifah
tunggal dunia Islam pasca-Turki Ustmani (1924). Namun, memiliki kewenangan
menerapkan hukum Islam sebab ia pemimpin yang sah secara hukum.
Dengan cara ini, NU
mendelegitimasi upaya DI/TII untuk menegakkan Negara Islam Indonesia karena secara
syar’i, pemerintahan RI sudah bersifat islami. Fase ketiga, politik
demokrasi. Ini digerakkan pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) melalui peran NU sebagai masyarakat sipil (civil society).
Dalam fase ini, NU
mengimbangi hegemoni Orde Baru di satu sisi serta radikalisme agama di sisi
lain. Ini dilakukan melalui; (1) penerimaan asas tunggal Pancasila untuk
menghadang islamisasi negara, (2) pengembangan ekonomi kerakyatan lewat
program Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren untuk mengimbangi
pendekatan top down developmentalisme, dan (3) kritik atas otoriterisme
negara melalui penolakan atas pencalonan Soeharto sebagai presiden dalam
Pemilu 1992.
Dengan menyatakan
kesetiaan hanya pada konstitusi, dan bukan pada penguasa (pada Rapat Akbar
1991), NU menegaskan politik demokratik melampaui politik kekuasaan. Tak
heran jika masa ini, NU menjadi pionir gerakan civil Islam dan menjadi
primadona bagi peneliti asing tentang Islam di Indonesia.
Para peneliti tersebut
berduyun-duyun melakukan ”pertaubatan metodologis”, dari modern mindedness yang melihat NU sebagai gerakan tradisional
oportunis, menuju pemahaman empatik atas peran transformatif NU. Dalam
konteks ini, NU dilihat mengembangkan civil NU, yakni gerakan civil society berbasis paham ke-NU-an.
Melap-lap Tradisi
Dari praktik historis
di atas kita menemukan tiga bentuk politik NU, yakni kebangsaan, kenegaraan,
dan demokrasi. Menariknya sebagaimanadibaca dengan tepat oleh Robin Bush
dalam Islam and Civil Society in Indonesia, the Case of the Nahdlatul Ulama
(2002), orientasi politik NU memuat tujuan keagamaan (religious end) daripada kekuasaan. Artinya, yang menggerakkan
praktik politik bukanlah motivasi kekuasaan, melainkan landasan dan tujuan
keagamaan.
Hal ini bisa dipahami
karena NU merupakan kaum Sunni yang-sebagaimana al-Mawardi menetapkan tujuan
berpolitik kepada dua hal. Pertama, pelanjutan misi Nabi Muhammad untuk
menjaga agama. Kedua, mewujudkan kemaslahatan umat. Dua tujuan ini bersifat
keagamaan karena kemaslahatan merupakan tujuan utama syariah. Sifat keagamaan
dari politik NU juga bisa dilihat dari metode pemikiran politiknya yang
menggunakan fikih.
Karena itu, di setiap
tilikan praktik historis politik NU di atas, ketika menemukan argumentasi
fikih di dalamnya. Misalnya, Dar’ul
mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih: Meninggalkan kerusakan lebih utama
daripada meraih kebaikan. Ini menjadi landasan penolakan idealisme negara
Islam karena di bumi multiagama, ia akan melahirkan kerusakan daripada
kebaikan.
Pendekatan fikih ini
pula yang menempatkan syariat tidak an sich sebagai hukum negara yang
diwujudkan melalui gerakan ideologis, melainkan keilmuan hukum yang digunakan
untuk membumikan prinsip syariat (mabadi’
al-syariah) di konteks yang beragam. Hanya, pemikiran yang pas dalam
konteks kenegaraan ini kini mengalami involusi pada level politik demokratik.
Artinya, politik NU,
terutama dalam wacana politiknya, hanya melaplap tradisi politik
kenegaraandan kebangsaan yang telah diukir oleh para pendahulu. Ini terlihat
dalam jargon ”NU membela NKRI sebagai harga mati”. Dalam hal ini, politik
kenegaraan NU terbatas pada pembelaan atas Pancasila. Sedangkan politik
kebangsaannya terpaku pada pembelaan atas nasionalisme.
Hal ini memang penting
karena diarahkan untuk mengimbangi gerakan khilafah yang hendak
mendelegitimasi NKRI. Namun, ia alpa dengan substansi politik, yang tidak
hanya memuat dasar serta bentuk negara. Artinya, NU alpa dengan politik
demokratik yang digerakkan Gus Dur yang menghantamkan gerakan politik ke
ketimpangan kekuasaan. Hal ini bukan tanpa penyebab karena, pertama, Gus Dur
telah berpolitik praktis pascakepresidenan keempat RI.
Ini yang menggeret
sebagian aktivis kultural ke jalur politik melalui Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Kedua, kepemimpinan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lebih
mencerminkan ”kaum tradisionalis” yang hanya konsen dengan politik kebangsaan
dan kenegaraan. Ini terjadi karena PBNU lebih memahami diri sebagai pusat
organisasi, bukan pusat gerakan sipil sebagaimana civil NU era ”PBNU Gus
Dur”.
Ketiga , kalangan muda
NU tak melakukan ”penyegaran konsep” Islam-demokratik karena hanya
membidikkan tembakan pada radikalisme serta pembelaan terhadap kaum
minoritas, namun abai dengan ketimpangan struktural pada ranah eko-politik.
Ini yang membuat gerakan sipil NU tetap terbatas pada ranah keagamaan, dan
tak meluas pada proses demokratisasi secara umum.
Keempat, menjamurnya
politisi NU yang tersedot dalam pragmatisme politik. Dalam kondisi ini,
segenap tradisi pemikiran politik NU hanya dijadikan ”pemanis gincu” bagi
retorika politik. Kemesraan PBNU dan PKB pasca-Muktamar Ke- 33 NU (2015)
semakin memperkuat politisasi ini, dan membuyarkan Khitah 1926 yang
menggaris-batasi NU dan politik praktis.
Berdasarkan
sebab-sebab ini, civil NU hanya tinggal sejarah, diganti oleh gerakan
tradisional yang tersusupi para pemuja kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar