Rabu, 03 Februari 2016

Mengungsi di Negeri Sendiri

Mengungsi di Negeri Sendiri

Amzulian Rifai  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
                                               KORAN SINDO, 02 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan berita mengenai organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Begitu cepat menyebar soal Gafatar ini yang mengakibatkan beberapa ”kamp khusus” mereka didatangi oleh penduduk setempat sekaligus menolak kehadiran mereka.

Kemudian terkuak ada ribuan orang yang bergabung dengan gerakan ini berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Gerakan mengusir kelompok Gafatar ini begitu cepat menyebar. Akibatnya, ada ribuan orang yang rentan diusir oleh penduduk setempat yang tidak lagi menerima kehadiran anggota Gafatar karena dinilai meresahkan. Akibatnya juga luar biasa terkait jumlah orang yang mesti dipulangkan ke daerah asalnya.

Hingga Rabu, 20 Januari 2016, jumlah pengikut Gafatar yang berada di tempat penampungan 1.529 jiwa. Mereka terbagi dalam dua tempat. Pertama di kamp Bekangdam XII/Tanjungpura, berjumlah 1.119 jiwa atau 318 kepala keluarga. Terdiri atas laki-laki 370 orang, perempuan 312 orang, dan anakanak 437 orang. Kebanyakan yang namanya mengungsi itu tidak enak.

Akibat langsungnya adalah ”tercerabut” dari kondisi awal yang mungkin sudah berkarat dan nyaman. Berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan berbagai implikasi belum pasti. Mengungsi bagi anggota Gafatar memiliki beberapa implikasi. Pertama soal harta benda mereka. Harta benda di tempat asal mungkin sudah tidak ada lagi, terjual baik untuk ongkos”berjuang” ke Kalimantan ataupun sebagai modal untuk memulai kehidupan awal lagi di tempat yang baru.

Implikasi psikologis dan sosial pasti juga dialami oleh anggota kelompok ini. Secara psikologis mereka mungkin tertekan dicap sebagai orang sesat dengan berbagai akibatnya. Serasa tekanan dan penghakiman itu oleh orang serepublik ini. Implikasi sosialnya juga luar biasa.

Sudah ada semacam label bahwa mereka yang tergabung dalam Gafatar adalah orangorang sesat. Organisasi mereka adalah organisasi terlarang. Risiko dari merek ”terlarang” ini mereka dikucilkan secara sosial. Anak-anak eks Gafatar sudah merasakan penolakan dan ejekan dari lingkungannya.

Perlindungan Negara

Kental sekali ada sikap pro dan kontra terhadap campur tangan negara yang mengembalikan para anggota Gafatar ke daerah asalnya. Wajar saja polemik ini muncul karena kompleksitas masalah yang ditimbulkan. TNI menyiapkan kapal perang, pemerintah daerah asal menyiapkan berbagai fasilitas untuk menyambut kembalinya warga mereka dari Kalimantan Tengah tersebut.

Mereka yang kontra dengan pemulangan ini dengan beberapa alasan. Pertama, bagaimana mungkin orang Indonesia mengungsi di dalam negerinya sendiri untuk alasan yang tak mudah dipahami. Berbagai instrumen HAM internasional memberikan hak kepada setiap orang untuk berpindah/menetap di suatu wilayah. Apalagi jika terjadi di dalam negeri sendiri dan nyata-nyata mereka adalah warga negara.

Negara seharusnya memberikan kebebasan kepada setiap warga negaranya untuk berpindah dan menetap sesuai keinginannya. Karena itu, ”adalah tidak pas” apabila negara memaksa para anggota Gafatar kembali ke daerah asal dengan berbagai problematika yang mungkin terjadi setelahnya. Apalagi jika argumentasi freedom of association (kebebasan berserikat) semata yang dikedepankan.

Artinya, dengan pengakuan hak asasi ini, pada prinsipnya setiap orang bebas untuk membentuk dan menjadi bagian dari suatu organisasi, termasuk organisasi semacam Gafatar itu. Tentu saja argumentasi-argumentasi semacam ini ditentang oleh banyak orang yang tidak begitu saja menyetujuinya. Pemerintah tidak sembarang, apalagi gegabah mengambil keputusan mengungsikan para anggota Gafatar ini.

Ada berbagai alasan kuat dari merekayangprodenganlangkah memulangkan para anggota Gafatar itu. Alasan pertama, memang setiap orang memiliki kebebasan untuk bergabung dalam suatu organisasi, namun itu tidak berarti mereka dapat berbuat apa saja. Tetap ada aturanaturan yang mesti dipatuhi. Apabila ketentuan itu tidak diikuti, organisasi dan gerakan mereka tergolong ilegal dengan berbagai konsekuensinya.

Apabila suatu organisasi dinyatakan ilegal oleh negara, otomatis ada keterbatasan bagi mereka untuk melakukan pergerakan, ”bahkan” di negerinya sendiri. Pemerintah mengungsikan anggota Gafatar justru sebagai bentuk kehadiran negara untuk melindungi warganya terhadap berbagai kemungkinan keadaan yang membahayakan. Prinsipnya pemerintah hanya memfasilitasi yang terbaik bagi warga guna mendapatkan perlindungan yang patut.

Alasan lainnya sebagai langkah antisipasi pemerintah terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi. Sebagai kelompok yang mendapat penolakan kuat dari masyarakat sekitarnya, ada potensi keributan antaretnis, antara anggota Gafatar sebagai pendatang dan setidaknya ”orang Kalimantan” yang menolak kehadiran Gafatar dengan berbagai cerita yangmengkhawatirkan tuan rumah.

Justru atas nama perlindungan HAM pula negara telah memenuhi permintaan dari mereka yang mengadu bahwa sejumlah anggota keluarganya menghilang bergabung dengan Gafatar. Atas dasar HAM, negara melarang warga Menpawah menolak dan mengusir pengikut Gafatar yang hidup eksklusif dengan bertani dan juga mengajarkan agama dengan cara yang tidak umum dan sudah diuji oleh MUI.

Refleksi dari Mengungsi

Kasus Gafatar sudah menasional dengan berbagai tanggapan. Umumnya tanggapan itu hanya menyalahkan Gafatar sebagai aliran sesat yang harus dihentikan. Namun, ada baiknya kita juga merenung berbagai kemungkinan yang ada di balik cerita cetar soal Gafatar. Ada beberapa kemungkinan yang merefleksikan hal ini.

Jika benar informasi bahwa kelompok Gafatar meyakini bahwa pada 2014 sebagai periode ketika keyakinan diperlakukan secara buruk oleh para penguasa dan akhir dari periodesasi ini diserukan kepada para pengikut Gafatar untuk melakukan hijrah. Telah disiapkan lahan baru di Kalimantan Tengah sebagai lahan pertanian dan perkebunan bagi pengikut yang hijrah tersebut.

Ini artinya, ada sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa pemerintah tidak menjalankan amanah mengayomi warganya. Kasus Gafatar juga merefleksikan ada sebagian masyarakat yang ingin berpenghidupan lebih baik lagi. Kalimantan dinilai sebagai tempat yang strategis dengan lahan pertanian luas. Ini refleksi kepedihan masyarakat di banyak daerah yang tidak lagi memiliki lahan.

Tanah-tanah mereka telah dikuasai oleh kaum pemodal atas nama investasi. Di antara rakyat tergusur, tanpa daya sama sekali, bahkan kini kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara wajar. Pemikiran ingin berubah secara cepat dan signifikan ”melawan keadaan yang ada dengan cara apa pun” merupakan pemikiran yang radikal. Padahal, tidak semua anggota Gafatar berpendidikan di bawah ratarata.

Banyak di antara mereka yang berpendidikan tinggi dan pandai saat masa kuliahnya. Dokter Rica Tri Handayani hanyalah salah satu contoh anggota Gafatar yang pintar yang sempat terpublikasikan. Pendek kata ingin dikemukakan bahwa kehadiran negara tidak lengkap hanya dengan mengungsikan para anggota Gafatar untuk pulang ke daerah asalnya.

Harus ada evaluasi yang menyeluruh disertai langkah nyata agar kelompok semacam ini tidak bermunculan pada masa yang akan datang. Sepintas, mengungsikan Gafatar kembali ke daerah masing-masing bukan pula meniadakan persoalan sepenuhnya. Mungkin benar juga potensi kerusuhan etnis tinggi seandainya saja anggota Gafatar tidak diungsikan.

Bukan sembarangan pemerintah memutuskan langkah itu. Namun, peristiwa ini dapat menjadi sorotan internasional yang memerlukan penjelasan. Bagi sebagian, sulit memahami ada warga Indonesia yang terkenal dengan semboyan toleransi tinggi, tetapi mengungsi di negerinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar