Mengungsi di Negeri Sendiri
Amzulian Rifai ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
|
KORAN SINDO, 02
Februari 2016
Beberapa waktu lalu
kita sempat dihebohkan berita mengenai organisasi Gerakan Fajar Nusantara
(Gafatar). Begitu cepat menyebar soal Gafatar ini yang mengakibatkan beberapa
”kamp khusus” mereka didatangi oleh penduduk setempat sekaligus menolak
kehadiran mereka.
Kemudian terkuak ada
ribuan orang yang bergabung dengan gerakan ini berasal dari berbagai wilayah
di Indonesia. Gerakan mengusir kelompok Gafatar ini begitu cepat menyebar.
Akibatnya, ada ribuan orang yang rentan diusir oleh penduduk setempat yang
tidak lagi menerima kehadiran anggota Gafatar karena dinilai meresahkan.
Akibatnya juga luar biasa terkait jumlah orang yang mesti dipulangkan ke
daerah asalnya.
Hingga Rabu, 20
Januari 2016, jumlah pengikut Gafatar yang berada di tempat penampungan 1.529
jiwa. Mereka terbagi dalam dua tempat. Pertama di kamp Bekangdam
XII/Tanjungpura, berjumlah 1.119 jiwa atau 318 kepala keluarga. Terdiri atas
laki-laki 370 orang, perempuan 312 orang, dan anakanak 437 orang. Kebanyakan
yang namanya mengungsi itu tidak enak.
Akibat langsungnya
adalah ”tercerabut” dari kondisi awal yang mungkin sudah berkarat dan nyaman.
Berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan berbagai implikasi belum
pasti. Mengungsi bagi anggota Gafatar memiliki beberapa implikasi. Pertama
soal harta benda mereka. Harta benda di tempat asal mungkin sudah tidak ada
lagi, terjual baik untuk ongkos”berjuang” ke Kalimantan ataupun sebagai modal
untuk memulai kehidupan awal lagi di tempat yang baru.
Implikasi psikologis
dan sosial pasti juga dialami oleh anggota kelompok ini. Secara psikologis
mereka mungkin tertekan dicap sebagai orang sesat dengan berbagai akibatnya.
Serasa tekanan dan penghakiman itu oleh orang serepublik ini. Implikasi
sosialnya juga luar biasa.
Sudah ada semacam
label bahwa mereka yang tergabung dalam Gafatar adalah orangorang sesat.
Organisasi mereka adalah organisasi terlarang. Risiko dari merek ”terlarang”
ini mereka dikucilkan secara sosial. Anak-anak eks Gafatar sudah merasakan
penolakan dan ejekan dari lingkungannya.
Perlindungan Negara
Kental sekali ada
sikap pro dan kontra terhadap campur tangan negara yang mengembalikan para
anggota Gafatar ke daerah asalnya. Wajar saja polemik ini muncul karena
kompleksitas masalah yang ditimbulkan. TNI menyiapkan kapal perang,
pemerintah daerah asal menyiapkan berbagai fasilitas untuk menyambut
kembalinya warga mereka dari Kalimantan Tengah tersebut.
Mereka yang kontra
dengan pemulangan ini dengan beberapa alasan. Pertama, bagaimana mungkin
orang Indonesia mengungsi di dalam negerinya sendiri untuk alasan yang tak
mudah dipahami. Berbagai instrumen HAM internasional memberikan hak kepada
setiap orang untuk berpindah/menetap di suatu wilayah. Apalagi jika terjadi
di dalam negeri sendiri dan nyata-nyata mereka adalah warga negara.
Negara seharusnya
memberikan kebebasan kepada setiap warga negaranya untuk berpindah dan
menetap sesuai keinginannya. Karena itu, ”adalah tidak pas” apabila negara
memaksa para anggota Gafatar kembali ke daerah asal dengan berbagai
problematika yang mungkin terjadi setelahnya. Apalagi jika argumentasi freedom of association (kebebasan
berserikat) semata yang dikedepankan.
Artinya, dengan
pengakuan hak asasi ini, pada prinsipnya setiap orang bebas untuk membentuk
dan menjadi bagian dari suatu organisasi, termasuk organisasi semacam Gafatar
itu. Tentu saja argumentasi-argumentasi semacam ini ditentang oleh banyak
orang yang tidak begitu saja menyetujuinya. Pemerintah tidak sembarang,
apalagi gegabah mengambil keputusan mengungsikan para anggota Gafatar ini.
Ada berbagai alasan
kuat dari merekayangprodenganlangkah memulangkan para anggota Gafatar itu.
Alasan pertama, memang setiap orang memiliki kebebasan untuk bergabung dalam
suatu organisasi, namun itu tidak berarti mereka dapat berbuat apa saja.
Tetap ada aturanaturan yang mesti dipatuhi. Apabila ketentuan itu tidak diikuti,
organisasi dan gerakan mereka tergolong ilegal dengan berbagai
konsekuensinya.
Apabila suatu
organisasi dinyatakan ilegal oleh negara, otomatis ada keterbatasan bagi
mereka untuk melakukan pergerakan, ”bahkan” di negerinya sendiri. Pemerintah
mengungsikan anggota Gafatar justru sebagai bentuk kehadiran negara untuk
melindungi warganya terhadap berbagai kemungkinan keadaan yang membahayakan.
Prinsipnya pemerintah hanya memfasilitasi yang terbaik bagi warga guna
mendapatkan perlindungan yang patut.
Alasan lainnya sebagai
langkah antisipasi pemerintah terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi.
Sebagai kelompok yang mendapat penolakan kuat dari masyarakat sekitarnya, ada
potensi keributan antaretnis, antara anggota Gafatar sebagai pendatang dan
setidaknya ”orang Kalimantan” yang menolak kehadiran Gafatar dengan berbagai
cerita yangmengkhawatirkan tuan rumah.
Justru atas nama
perlindungan HAM pula negara telah memenuhi permintaan dari mereka yang mengadu
bahwa sejumlah anggota keluarganya menghilang bergabung dengan Gafatar. Atas
dasar HAM, negara melarang warga Menpawah menolak dan mengusir pengikut
Gafatar yang hidup eksklusif dengan bertani dan juga mengajarkan agama dengan
cara yang tidak umum dan sudah diuji oleh MUI.
Refleksi dari Mengungsi
Kasus Gafatar sudah
menasional dengan berbagai tanggapan. Umumnya tanggapan itu hanya menyalahkan
Gafatar sebagai aliran sesat yang harus dihentikan. Namun, ada baiknya kita
juga merenung berbagai kemungkinan yang ada di balik cerita cetar soal
Gafatar. Ada beberapa kemungkinan yang merefleksikan hal ini.
Jika benar informasi
bahwa kelompok Gafatar meyakini bahwa pada 2014 sebagai periode ketika
keyakinan diperlakukan secara buruk oleh para penguasa dan akhir dari
periodesasi ini diserukan kepada para pengikut Gafatar untuk melakukan
hijrah. Telah disiapkan lahan baru di Kalimantan Tengah sebagai lahan
pertanian dan perkebunan bagi pengikut yang hijrah tersebut.
Ini artinya, ada
sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa pemerintah tidak menjalankan amanah
mengayomi warganya. Kasus Gafatar juga merefleksikan ada sebagian masyarakat
yang ingin berpenghidupan lebih baik lagi. Kalimantan dinilai sebagai tempat
yang strategis dengan lahan pertanian luas. Ini refleksi kepedihan masyarakat
di banyak daerah yang tidak lagi memiliki lahan.
Tanah-tanah mereka
telah dikuasai oleh kaum pemodal atas nama investasi. Di antara rakyat
tergusur, tanpa daya sama sekali, bahkan kini kesulitan memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari secara wajar. Pemikiran ingin berubah secara cepat dan
signifikan ”melawan keadaan yang ada dengan cara apa pun” merupakan pemikiran
yang radikal. Padahal, tidak semua anggota Gafatar berpendidikan di bawah
ratarata.
Banyak di antara
mereka yang berpendidikan tinggi dan pandai saat masa kuliahnya. Dokter Rica
Tri Handayani hanyalah salah satu contoh anggota Gafatar yang pintar yang
sempat terpublikasikan. Pendek kata ingin dikemukakan bahwa kehadiran negara
tidak lengkap hanya dengan mengungsikan para anggota Gafatar untuk pulang ke
daerah asalnya.
Harus ada evaluasi
yang menyeluruh disertai langkah nyata agar kelompok semacam ini tidak
bermunculan pada masa yang akan datang. Sepintas, mengungsikan Gafatar
kembali ke daerah masing-masing bukan pula meniadakan persoalan sepenuhnya.
Mungkin benar juga potensi kerusuhan etnis tinggi seandainya saja anggota
Gafatar tidak diungsikan.
Bukan sembarangan
pemerintah memutuskan langkah itu. Namun, peristiwa ini dapat menjadi sorotan
internasional yang memerlukan penjelasan. Bagi sebagian, sulit memahami ada
warga Indonesia yang terkenal dengan semboyan toleransi tinggi, tetapi
mengungsi di negerinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar