Dilema Netflix Bukan Sekadar Konten
Diani Citra ; Peneliti Columbia University Graduate
School of Journalism
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Artikel ini bukan
sikap anti kebebasan berinternet atau anti industri "Over the Top"
(OTT). Saya menulis artikel ini sebagai anggota masyarakat yang ingin
mendorong pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan akses internet yang
lebih baik.
Untuk itu, saya ingin memulai dengan empati saya pada sikap garang
operator telekomunikasi dan pemerintah dalam menghadapi masuknya industri
OTT. Penyedia jasa telekomunikasi di
seluruh dunia memang sedang ketar-ketir melihat kebangkitan sebuah pasar dan
layanan baru yang muncul akibat dari pesatnya perkembangan internet.
Apa sebenarnya OTT
itu? OTT adalah layanan tambahan-disediakan oleh pihak lain-yang bisa
dinikmati pengguna internet (sering kali gratis) dengan menggunakan jaringan
data yang disediakan oleh operator telekomunikasi Anda. Layanan OTT bisa
dibagi menjadi beberapa kategori: jasa (Uber atau Go-Jek), konten (Netflix
atau Hulu), atau aplikasi (WhatsApp atau Skype).
Singkatnya, OTT
menyediakan jalur pintas antara penyedia konten dan pengguna. Alih-alih harus
bernegosiasi harga tinggi dengan operator telekomunikasi atau penyiaran,
melalui internet para penyedia konten kini dapat langsung menjual layanan
mereka tanpa harus membayar biaya perantara yang tinggi.
"Dipakai" tanpa insentif
Terlepas dari masalah
sensor moral (konten pornografis), pajak, dan kehadiran entitas bisnis lokal
yang sering dinyatakan sebagai kerepotan OTT, isu pemblokiran ini bisa dibaca
sebagai reaksi penyelenggara infrastruktur yang khawatir akan merugi.
OTT membawa potensi meredupnya industri telekomunikasi
tradisional dan gejalanya pun nyata secara global. Contohnya, di Eropa dan
Korea Selatan, beberapa operator telekomunikasi besar membukukan kerugian
drastis akibat turunnya penggunaan layanan telepon dan SMS, yang kini hampir
sepenuhnya dilakukan pengguna lewat OTT.
Untuk menebus kerugian
akibat penurunan penggunaan jasa tradisional tersebut, banyak operator
telekomunikasi meminta agar pengusaha konten, termasuk OTT, diwajibkan
membayar biaya penggunaan infrastruktur internet yang tinggi. Biaya ini perlu
dibedakan dari biaya langganan internet biasa yang dikenakan pada pelanggan
kantor atau individu pada umumnya.
Di Amerika Serikat,
negara kelahiran Netflix dan WhatsApp, serta di banyak negara maju lainnya,
pemberlakuan biaya sewa infrastruktur bagi pengusaha konten dilarang
berdasarkan prinsip netralitas internet (net
neutrality). Netralitas internet adalah prinsip yang mewajibkan penyedia
jasa internet memberikan kualitas layanan dan akses sama bagi semua jenis
konten dan sumber tanpa terkecuali.
Di negara maju,
seperti AS dan Korea, penurunan pendapatan "sementara" operator
telekomunikasi bisa disikapi dengan santai sebagai masa transisi teknologi
yang akan segera dilewati. Kenapa? Karena negara-negara ini sudah selesai
membangun backbone infrastruktur
telekomunikasi/internet mereka.
AS sudah punya
jaringan internet domestik yang rapi dan merata sejak 1930-an. Infrastruktur
ini diwarisi dari sambungan telepon AS yang memang sudah kuat secara
nasional. Di Indonesia, tingkat penetrasi kabel telepon ke penduduk-yang
seharusnya berfungsi sebagai tulang belakang utama teknologi internet
berkabel-hanya di bawah 10 persen. Sisanya, pembangunan infrastruktur
internet dilakukan dari nol oleh berbagai pihak swasta secara bertahap dan
dengan biaya sangat besar.
Dalam kasus Indonesia,
pemberian gradasi harga yang dilarang oleh prinsip netralitas internet jadi
insentif krusial bagi operator agar terus mau membangun dan mengembangkan
jasa internet. Operator ingin
menghindari scissor effect, di mana
investasi berbanding terbalik dengan keuntungan. Bagi operator, memasuki
bisnis data sama sekali tak menjamin keuntungan, apalagi dibandingkan layanan
telepon dan SMS. Profit untuk kedua layanan ini memiliki kenaikan linear yang
jelas. Jika Anda mengirimkan satu SMS,
Anda dikenai biaya Rp 350; dua SMS berarti Rp 700. Sama halnya dengan layanan
telepon. Mekanisme harga tersebut jadi kacau dengan adanya layanan data
bulanan yang mengizinkan pengguna untuk menelepon dan mengirim ribuan SMS
melalui aplikasi OTT.
Perlu diingat, operator juga harus membagi
kapasitas infrastruktur mereka agar bisa melayani berbagai kalangan
masyarakat. Di
satu pihak mereka dituntut melaju cepat dalam mengikuti perkembangan
internet. Namun, di pihak lain mereka harus tetap melayani mayoritas
masyarakat Indonesia yang masih menggunakan layanan mendasar, yaitu SMS dan
telepon. Dilemanya: potensi infrastruktur dan kapasitas investasi menjadi
tidak maksimal di sisi manapun.
Para pejuang net neutrality sering alpa melihat
sisi ini: bahwa prinsip netralitas internet sama sekali tidak netral atau
inklusif. Prinsip ini sarat agenda politik yang memprioritaskan penyediaan
informasi melalui layanan data di atas penyediaan informasi menggunakan
medium lain, seperti telepon, SMS, atau televisi.
Di Indonesia,
mayoritas kebutuhan internet dibebankan pada seluler, yang tanpa kehadiran streaming Netflix pun sudah sangat
lamban dan dengan penerimaan sinyal yang sporadis. Sama halnya dengan
internet berkabel yang walaupun lebih baik dan cepat, masih sangat jarang dan
banyak gangguan.
Berkaitan dengan OTT,
artinya, para operator yang telah berinvestasi besar dalam membangun
infrastruktur, harus merelakan saluran mereka "dimanpatkan" oleh
beban streaming yang sangat besar
tanpa adanya insentif. Padahal, investasi mereka belum sepenuhnya balik
modal. Publik pun tidak mendapatkan insentif yang lebih nyata selain akses
terhadap tontonan baru yang seru.
Bersaing dengan televisi
Mengingat WhatsApp dan
Skype sudah lama digunakan di Indonesia, industri OTT sebenarnya bukan barang
baru. Namun, Netflix menjadi pemicu keributan atas OTT karena kehadiran
mereka mengancam keselamatan dua industri: telekomunikasi dan penyiaran.
Potensi kerugian PT
Telkom sebagai operator telekomunikasi bergandengan dengan potensi kerugian
pemain dominan industri penyiaran, baik terestrial maupun berlangganan.
Enaknya lagi bagi Netflix: mereka tak termasuk dalam kategori mana pun dalam
entitas penyiaran yang diatur dalam UU di Indonesia. Akibatnya mereka
"tak perlu" tunduk pada etika industri penyiaran, seperti konten
lokal, pajak, atau aturan persaingan usaha.
Jaminan persaingan
usaha tak bisa dianggap enteng. Di Jerman dan Spanyol, untuk menjamin
persaingan konten yang sehat, pemerintah federal bahkan mewajibkan Google
membayar ke empunya atas setiap berita yang diterbitkan di Google News.
Pemerintah Indonesia
tidak perlu merasa kecolongan dengan masuknya Netflix. Industri akan selalu
berada jauh di depan regulasi yang mengaturnya. Kenyataannya sebagian besar
negara memang tidak siap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat ini. Di
Kanada, pertarungan regulasi untuk industri OTT konten masih berlangsung
hingga hari ini. Pemerintah Kanada bahkan harus menciptakan kategori baru untuk industri
ini berjudul exempt broadcaster
(penyelenggara penyiaran yang dikecualikan). AS menjatuhkan pilihan pada
istilah specialized services
(layanan khusus). Benang merah yang menyatukan istilah-istilah ambigu
tersebut adalah fakta bahwa kebanyakan pemerintah dan masyarakat tak
sepenuhnya memahami entitas bisnis dan teknologi baru yang mereka hadapi ini.
Sulit untuk menciptakan regulasi yang komprehensif jika obyek hukum yang
harus diatur tidak memiliki status dan keberadaan yang jelas.
Saya bukan menyatakan
OTT konten sama sekali tak bermanfaat. Konten OTT sudah terbukti mendorong
perbaikan kualitas tayangan televisi di beberapa negara. Karena harus
bersaing dengan ribuan tayangan Hollywood yang dibawa OTT, beberapa kanal di
Eropa dan Tiongkok berlomba-lomba meningkatkan kualitas produksi program
mereka.
Dengan diblokirnya Netflix, saya bisa mendengar ratapan
kawula muda urban Indonesia yang menyesali kepergian layanan ini. Sedih
memang, tetapi kalau kehadiran OTT konten yang menolak berkompromi dengan
regulasi berpotensi menghambat pembangunan akses dan infrastruktur
telekomunikasi, saya lebih baik baca buku saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar