Mendirikan Negara Lain di Indonesia
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Mungkinkah ada
”negara” yang tidak berdasar Pancasila di Indonesia? Pertanyaan ini patut
diajukan karena selalu ada sel, kelompok, atau organisasi yang ingin
mengganti negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan ”negara” lain
berbasis ideologi berbeda.
Contoh mutakhir dalam
hal ini adalah Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang menghebohkan dalam
beberapa pekan terakhir (Azra, Kompas, 15/1/2016). Kepala Polri Jenderal
Badrodin Haiti menyatakan, Gafatar bertujuan membentuk negara sendiri (25/1).
Kalangan petinggi
Gafatar boleh saja membantah tujuan akhir organisasinya membentuk negara lain
di Indonesia. Namun, dalam dokumen Gafatar, jelas mereka ingin menciptakan
Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA), yang lalu disebut ”Negeri Karunia Tuan Semesta Alam”
(NKTSA). Negara ini juga disebut ”Kerajaan Tuhan”.
Melihat ajaran dan
praksis Gafatar, tampaknya NKSA atau NKTSA mencerminkan kesesuaian dengan
sinkretisme teologi dan ritual millah Abraham—agama Yahudi, Kristianitas, dan
Islam—yang mereka percaya dan pegang. Berangkat dari Islam, perumus paham
religio-politik Gafatar memadukannya dengan aspek tertentu agama Yahudi dan
Kristianitas, yang lalu melahirkan konsep dan praksis negara sendiri.
Dengan demikian,
Gafatar tidak mendasarkan diri pada atau bertujuan membentuk khilafah, yang
secara unik terasosiasi dengan aliran wacana religio-politik Islam. Gafatar
dalam batas tertentu melepaskan dari Islam, baik dalam hal keimanan maupun
dalam ibadah dan muamalah yang mengatur hubungan sosial, termasuk politik dan
negara.
Dis-asosiasi dengan
khilafah atau bentuk negara Islam lain merupakan ”penyimpangan” atau
”pengalihan” dari cita awal sang ”Messiah” Gafatar, Ahmad Musadeq, yang
sebelumnya adalah salah satu figur penting Negara Islam Indonesia Komandemen
Wilayah (NII KW) IX. Meski konsep dan praksis NII berantakan seusai
pendirinya SM Kartosuwiryo dieksekusi mati (5 September 1962), berbagai fiksi
sisa NII, termasuk Mosadeq, tetap berusaha mewujudkan negara Islam. Mosadeq
lalu ”menyimpang” dari NII dengan mendirikan Al-Qiyadah al-Islamiyah di tahun 2000.
Gafatar dengan
genesisnya Komunitas Millah Abraham (Komar) dan Al-Qiyadah al-Islamiyah, bukan satu-satunya kelompok yang ingin
mendirikan negara sendiri menggantikan negara-bangsa Indonesia. Ada kelompok
atau friksi NII lain yang secara keseluruhan merupakan gerakan indigenous—muncul dari bumi Indonesia
sendiri.
Di luar itu juga ada
organisasi atau kelompok berorientasi transnasional, yang lewat sejumlah cara
juga ingin mendirikan negara lain di Indonesia yang biasa mereka sebut khilafah atau daulah Islamiyah.
Gerakan itu menemukan
momentum di Indonesia sejak demokratisasi dan liberalisasi politik 1998.
Momentum itu dapat tambahan daya dorong dari peristiwa seperti penyerbuan AS
dan sekutu ke Afghanistan (2001) dan Irak (2003), kemunculan Arab Spring
(sejak 2011), dan kebangkitan Negara Islam di Irak dan Suriah (2013).
Mempertimbangkan
kelatenan gagasan dan praksis indigenous
di Tanah Air dan bertahannya situasi kacau di Timur Tengah dan Asia Selatan—yang menjadi raison d’etre gerakan
transnasionalisme untuk penciptaan negara sendiri—bisa diduga terus munculnya
kelompok bertujuan serupa di masa depan. Karena itu, pemerintah dan umat arus
utama yang berkomitmen penuh pada negara-bangsa Indonesia, Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika, perlu mencermati dan mewaspadai dinamika yang
berkembang di berbagai kelompok seperti Gafatar.
Antisipasi dapat
dimulai dengan pengamatan lebih cermat atas gagasan dan praksis keagamaan
yang tak lazim atau menyimpang. Lazimnya, kelompok atau organisasi seperti
ini eksklusif dalam praksis keagamaan dan religio-politik, meski secara
sosial-politik mereka bisa saja menyatakan berdasarkan Pancasila dan aktif
dalam program aksi sosial.
Selanjutnya, perlu
mencermati tahapan langkah praksis yang mereka lakukan. Tahapan itu biasanya
dimulai dengan sirrun (rahasia)
berupa rekrutmen anggota; jahrun
(terbuka) dengan kegiatan sosial; hijrah
(pindah) ke wilayah tertentu; jihad
atau harb atau qital (perang) melawan orang-orang yang tidak mengikuti mereka;
dan kemudian tahap futuh,
kemenangan dengan terbentuknya negara yang mereka perjuangkan.
Mendirikan negara
sendiri dengan mengorbankan negara-bangsa Indonesia, hemat saya, adalah
utopian. Sejarah Indonesia sepanjang abad ke-20 dan menempuh abad ke-21
membuktikan komitmen mayoritas absolut warga bangsa pada negara Indonesia tak
pernah surut. Meski Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah, seperti
ketidakadilan, korupsi yang merajalela, dan keadaban publik yang merosot,
bagian terbesar absolut warga tetap setia kepada Indonesia.
Namun, bertahan dan
tumbuhnya kelompok yang ingin mendirikan negara lain di Indonesia menimbulkan
kegaduhan dan kerepotan serius. Karena itu, perhatian dan upaya dari
pemerintah dan warga bangsa senantiasa diperlukan sebelum segala sesuatu jadi
”terlalu sedikit” dan ”terlalu
terlambat”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar