Divestasi Saham Freeport
Ferdy Hasiman ; Peneliti pada Yosefardi.com,
PT Alpha Research Database
Indonesia
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Freeport Indonesia
resmi menawarkan 10,64 persen saham tahap pertama kepada Pemerintah
Indonesia. Penawaran ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77/ 2014
tentang kewajiban divestasi bagi perusahaan tambang asing.
Freeport Indonesia
hanya mendivestasikan 20,64 persen saham kepada pihak nasional karena saat
ini pemerintah telah mengontrol 9,36 persen saham Freeport. Freeport mematok
harga 10,64 persen saham senilai 1,7 miliar dollar AS.
Ini tentu patokan
harga yang tak wajar. Padahal, harga saham Freeport McMoRan (FCX), induk
usaha Freeport Indonesia, tergerus jadi 4,2 dollar AS per lembar saham,
merosot tajam jika dibandingkan harga saham FCX tahun 2010 sebesar 6,04
dollar AS per lembar saham. Patokan harga ini pun tak wajar mengingat harga
tembaga dan emas merosot tajam. Valuasi 100 persen saham FCX hanya senilai
16,2 miliar dollar AS dan utang membengkak sebesar 20,7 miliar dollar AS per
30 September 2015.
Kebijakan pelarangan
ekspor mineral turut memengaruhi kinerja finansial Freeport. Dalam sembilan
bulan pertama tahun 2015, Freeport Indonesia menjual 549 juta pound tembaga
(harga 2,45 dollar AS per lembar) atau 1,35 miliar dollar AS, dan emas
mencapai 891.000 ons (harga 1.149 dollar per ons) atau 1,02 miliar dollar AS.
Padahal, pada periode yang sama tahun 2014, penjualan tembaga Freeport
mencapai 664 juta pound dan 1,2 juta ons emas. Pendapatan operasional dari
Indonesia mencapai 383 juta dollar AS. Pada periode yang sama, induk usaha
Freeport (FCX) mencatat penjualan 12,08 miliar dollar AS dan rugi operasional
9,28 miliar dollar AS. Total aset tambang Grasberg mencapai 8,97 miliar
dollar AS. Total cadangan emas Grasberg mencapai 29,8 juta ons dan tembaga 30
miliar pound. Kontribusi tembaga Grasberg ke FCX mencapai 27 persen dan emas
95 persen.
Jika dibandingkan
dengan harga 61,4 saham tambang Martabe (Sumatera Utara) yang dijual
G-Resources kepada Djarum dan Wilmar Group, harga 10,64 persen tentu sangat
berbeda jauh. Djarum dan Wilmar hanya membeli saham G-Resources di tambang
Martabe senilai 800 juta dollar AS. Tambang Martabe memiliki cadangan emas
senilai 7,4 juta ons dan 70 juta ons perak. Nilai tambang Martabe pada harga
sekarang 8,07 miliar dollar AS (emas) dan 1,05 miliar dollar AS (perak).
Sementara nilai cadangan Grasberg sebesar 32,7 miliar dollar AS (emas) dan 60
miliar dollar AS (tembaga). Martabe diakuisisi 1/11 dari nilai cadangan,
sementara Grasberg dinilai 1/6. Biaya produksi dan profit margin tambang
Martabe memang lebih rendah dibandingkan Grasberg yang harus mengeksplorasi
tambang underground, seperti Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone, Deep
Mill Level Zone, dan Deep Ore Zone.
Untuk itu, penting
bagi pemerintah membentuk tim untuk melakukan evaluasi harga divestasi saham
Freeport. Tim itu bisa berasal dari lintas kementerian, seperti Kementerian
ESDM, Kementerian Keuangan (Ditjen Kekayaan Negara, BKF, Ditjen Pajak), BUMN,
BKPM, dan BPKP. Tim ini harus bergerak cepat karena batas waktu penawaran
kepada pemerintah pusat hanya 60 hari terhitung 13 Januari 2016. Apabila
dalam jangka 60 hari tidak menyatakan minatnya, saham akan ditawarkan kepada
BUMN/BUMD. Setelah mendapat harga wajar, pemerintah melakukan negosiasi
kembali terkait harga divestasi saham dengan pihak Freeport.
Kesempatan BUMN
Berapa pun harga akhir
saham Freeport, pihak yang pantas membeli saham itu adalah
perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Dengan memiliki saham Freeport,
perusahaan tambang BUMN bisa belajar dari Freeport Indonesia bagaimana cara
mengolah tambang underground yang
memiliki medan sulit dan tentu dibarengi tuntutan keamanan tinggi.
PT Aneka Tambang Tbk
(Antam) adalah salah satu perusahaan milik negara yang berpeluang membeli
saham Freeport. Antam memiliki pengalaman mengelola tambang emas. Selama ini
Antam mengolah pertambangan kelas menengah, seperti tambang emas Pongkor,
Jawa Barat. Risikonya, perusahaan BUMN itu tidak menjadi besar. Dengan
berpartisipasi di Freeport, perusahaan-perusahaan BUMN bisa melakukan
transfer pengetahuan dan transfer teknologi sehingga di masa depan perusahaan
milik negara dapat diandalkan mengolah tambang strategis dan mampu
mendongkrak ke penerimaan negara.
Hanya saja,
kesanggupan finansial Antam tak memungkinkan membeli saham Freeport. Antam
sudah mengeluarkan banyak dana investasi untuk pembangunan pabrik Smelter
Grade Alumina (SGA) di Mempawah dan FeNi di Halmahera Timur. Antam juga telah
menambah ekuitas senilai Rp 7 triliun sehingga tak mungkin lagi mendapat dana
pinjaman bank. Posisi liabilitas Antam pun sangat besar sehingga ruang untuk
mendapatkan dana segar melalui penerbitan saham baru mengecil.
Kebijakan Menteri BUMN Rini Soemarno yang menugaskan PT
Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bekerja sama dengan Antam mengakuisisi
10,64 persen saham Freeport perlu didukung. Sejak 1976, Inalum dioperatori perusahaan
Jepang, dan tahun 2013 sudah menjadi milik BUMN. Inalum adalah salah satu
perusahaan yang memiliki kemampuan membangun pabrik aluminium pertama di
Tanah Air. Dengan pengalaman itu, Inalum adalah salah satu perusahaan pelat
merah yang diandalkan masuk ke Freeport. PT Inalum memiliki kapasitas
finansial mumpuni. Pada sembilan bulan pertama tahun 2014, misalnya, Inalum
membukukan laba bersih 82,5 juta dollar AS dan membayar dividen interim 90
juta dollar AS kepada negara pada tahun 2014.
Meskipun demikian,
masih banyak pihak mengatakan pemerintah tak perlu mengeluarkan uang besar
untuk mendapat 10,64 persen saham Freeport mengingat kontrak karya Freeport
akan berakhir tahun 2021. Menurut aturan, lahan perusahaan asing yang
berakhir masa kontraknya harus dikembalikan kepada negara sebagai aset vital
dan dikontrol pemerintah pusat. Freeport pun tak bisa menggunakan cadangan
tembaga dan emas untuk meminta kompensasi saham karena Freeport hanya
kontraktor bagi negara dan sumber cadangan tembaga-emas adalah milik negara.
Pada saat kontrak berakhir, pemerintah mendapatkan Freeport dengan pembayaran
zero, seperti dalam nasionalisasi Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari Total
E&P (Perancis) ke PT Pertamina (Persero).
Renegosiasi kontrak
Duduk perkara kontrak
karya Freeport tak lepas dari amandemen renegosiasi kontrak, sesuai amanat UU
No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Pasal 159 (b) UU Minerba
memberi mandat kepada pemerintah melakukan renegosiasi kontrak satu tahun
setelah UU itu berlaku. Renegosiasi kontrak dilakukan agar pertambangan
strategis memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat UUD
1945.
Sejak 2012, antara
pemerintah dan Freeport mulai melakukan renegosiasi kontrak dengan enam
klausul: penerimaan negara; penciutan luas lahan; penggunaan barang-jasa
dalam negeri; pembangunan smelter; divestasi saham; dan perpanjangan kontrak.
Freeport sendiri sepakat menciutkan luas lahan dari 212,950 hektar menjadi
90,360 hektar. Wilayah prospek telah dilepaskan untuk dimanfaatkan Pemprov
Papua. Freeport juga telah sepakat menaikkan royalti tembaga dari 3,5 persen
menjadi 4 persen dan emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen. Freeport akan
membangun smelter tembaga di Gresik dengan nilai investasi 2,3 miliar dollar
AS. Hanya saja, pembangunan smelter belum berjalan karena Freeport belum
mendapat kepastian hukum soal perpanjangan kontrak. Freeport ingin mendapat
jaminan kelanjutan operasi dan kepastian fiskal sampai tahun 2041 sesuai
rencana investasi perusahaan.
Jika saja pemerintah
mengakhiri kontrak karya Freeport, bagaimana dengan upaya renegosiasi yang
hampir pasti sudah disepakati antara Freeport dan pemerintah? Apakah
renegosiasi kontrak antara perusahaan tambang dan pemerintah yang sudah
dilakukan sejak tahun 2012 tak relevan lagi untuk dibicarakan? Jika
perpanjangan kontrak menjadi isu penting bagi Freeport Indonesia, maka,
berhentilah berbicara soal renegosiasi kontrak. Freeport Indonesia harus
menunda mengeluarkan kocek senilai 7 miliar dollar AS untuk pengembangan
tambang underground, menunda
membangun pabrik smelter tembaga, dan membatalkan kesepakatan kenaikan royalti
tembaga dan emas.
Padahal, yang paling
penting dari renegosiasi kontrak dengan Freeport adalah soal manfaat
pengolahan tambang Grasberg bagi masyarakat Papua dan penerimaan negara.
Total investasi Freeport Indonesia untuk pengembangan masyarakat Papua pada
tahun 1992-2014 sebesar 1,3 miliar dollar AS terlalu kecil jika dibandingkan
dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan asal AS itu dari pengolahan
tambang Grasberg. Dana investasi untuk pengembangan masyarakat mencakup
kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur harus ditambah dua kali lipat agar
kian banyak masyarakat Papua merasakan manfaat pengembangan sumber daya alam.
Pemerintah perlu
mendesak Freeport membangun smelter di Papua agar memberi efek beragam bagi
pembangunan Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur. Pilihan lokasi pembangunan
smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan kesempatan investasi karena
produk ikutan dari tembaga sangat
banyak, seperti gypsum (untuk industri semen) dan copper slag (ton untuk semen dan beton).
Jika smelter dibangun
di Papua, perusahaan-perusahaan semen, pupuk, berbodong-bondong merelokasi
pabrik di Papua. Efek dari itu adalah harga semen yang selama ini jadi
masalah di Papua menjadi lebih murah. Pembangunan smelter di Gresik merugikan
daerah penghasil mineral dan menguntungkan daerah di pusat industri seperti
Jawa. Pembangunan smelter di Papua membuat daerah itu lebih menarik. Nilai
tambah meningkat, perekrutan tenaga kerja juga meningkat dan pendapatan asli
daerah ikut terdongkak.
Penentu akhir
pembangunan smelter ada di tangan pemerintah. Presiden Jokowi menaruh
perhatian besar untuk pembangunan Papua. Jokowi ingin mempercepat pembangunan
ekonomi di Papua. Maka, pembangunan smelter di Papua merupakan jalan untuk
mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Pemerintah harus menjelaskan bahwa
prioritas kita adalah mengurangi jurang pembangunan antara Jawa dan luar
Jawa, termasuk Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar