Selasa, 02 Februari 2016

Divestasi Saham Freeport

Divestasi Saham Freeport

Ferdy Hasiman  ;   Peneliti pada Yosefardi.com,
PT Alpha Research Database Indonesia
                                                     KOMPAS, 02 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Freeport Indonesia resmi menawarkan 10,64 persen saham tahap pertama kepada Pemerintah Indonesia. Penawaran ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77/ 2014 tentang kewajiban divestasi bagi perusahaan tambang asing.

Freeport Indonesia hanya mendivestasikan 20,64 persen saham kepada pihak nasional karena saat ini pemerintah telah mengontrol 9,36 persen saham Freeport. Freeport mematok harga 10,64 persen saham senilai 1,7 miliar dollar AS.

Ini tentu patokan harga yang tak wajar. Padahal, harga saham Freeport McMoRan (FCX), induk usaha Freeport Indonesia, tergerus jadi 4,2 dollar AS per lembar saham, merosot tajam jika dibandingkan harga saham FCX tahun 2010 sebesar 6,04 dollar AS per lembar saham. Patokan harga ini pun tak wajar mengingat harga tembaga dan emas merosot tajam. Valuasi 100 persen saham FCX hanya senilai 16,2 miliar dollar AS dan utang membengkak sebesar 20,7 miliar dollar AS per 30 September 2015.

Kebijakan pelarangan ekspor mineral turut memengaruhi kinerja finansial Freeport. Dalam sembilan bulan pertama tahun 2015, Freeport Indonesia menjual 549 juta pound tembaga (harga 2,45 dollar AS per lembar) atau 1,35 miliar dollar AS, dan emas mencapai 891.000 ons (harga 1.149 dollar per ons) atau 1,02 miliar dollar AS. Padahal, pada periode yang sama tahun 2014, penjualan tembaga Freeport mencapai 664 juta pound dan 1,2 juta ons emas. Pendapatan operasional dari Indonesia mencapai 383 juta dollar AS. Pada periode yang sama, induk usaha Freeport (FCX) mencatat penjualan 12,08 miliar dollar AS dan rugi operasional 9,28 miliar dollar AS. Total aset tambang Grasberg mencapai 8,97 miliar dollar AS. Total cadangan emas Grasberg mencapai 29,8 juta ons dan tembaga 30 miliar pound. Kontribusi tembaga Grasberg ke FCX mencapai 27 persen dan emas 95 persen. 

Jika dibandingkan dengan harga 61,4 saham tambang Martabe (Sumatera Utara) yang dijual G-Resources kepada Djarum dan Wilmar Group, harga 10,64 persen tentu sangat berbeda jauh. Djarum dan Wilmar hanya membeli saham G-Resources di tambang Martabe senilai 800 juta dollar AS. Tambang Martabe memiliki cadangan emas senilai 7,4 juta ons dan 70 juta ons perak. Nilai tambang Martabe pada harga sekarang 8,07 miliar dollar AS (emas) dan 1,05 miliar dollar AS (perak). Sementara nilai cadangan Grasberg sebesar 32,7 miliar dollar AS (emas) dan 60 miliar dollar AS (tembaga). Martabe diakuisisi 1/11 dari nilai cadangan, sementara Grasberg dinilai 1/6. Biaya produksi dan profit margin tambang Martabe memang lebih rendah dibandingkan Grasberg yang harus mengeksplorasi tambang underground, seperti Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone, Deep Mill Level Zone, dan  Deep  Ore Zone.

Untuk itu, penting bagi pemerintah membentuk tim untuk melakukan evaluasi harga divestasi saham Freeport. Tim itu bisa berasal dari lintas kementerian, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan (Ditjen Kekayaan Negara, BKF, Ditjen Pajak), BUMN, BKPM, dan BPKP. Tim ini harus bergerak cepat karena batas waktu penawaran kepada pemerintah pusat hanya 60 hari terhitung 13 Januari 2016. Apabila dalam jangka 60 hari tidak menyatakan minatnya, saham akan ditawarkan kepada BUMN/BUMD. Setelah mendapat harga wajar, pemerintah melakukan negosiasi kembali terkait harga divestasi saham dengan pihak Freeport.

Kesempatan BUMN

Berapa pun harga akhir saham Freeport, pihak yang pantas membeli saham itu adalah perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Dengan memiliki saham Freeport, perusahaan tambang BUMN bisa belajar dari Freeport Indonesia bagaimana cara mengolah tambang underground yang memiliki medan sulit dan tentu dibarengi tuntutan keamanan tinggi.

PT Aneka Tambang Tbk (Antam) adalah salah satu perusahaan milik negara yang berpeluang membeli saham Freeport. Antam memiliki pengalaman mengelola tambang emas. Selama ini Antam mengolah pertambangan kelas menengah, seperti tambang emas Pongkor, Jawa Barat. Risikonya, perusahaan BUMN itu tidak menjadi besar. Dengan berpartisipasi di Freeport, perusahaan-perusahaan BUMN bisa melakukan transfer pengetahuan dan transfer teknologi sehingga di masa depan perusahaan milik negara dapat diandalkan mengolah tambang strategis dan mampu mendongkrak ke penerimaan negara.

Hanya saja, kesanggupan finansial Antam tak memungkinkan membeli saham Freeport. Antam sudah mengeluarkan banyak dana investasi untuk pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina (SGA) di Mempawah dan FeNi di Halmahera Timur. Antam juga telah menambah ekuitas senilai Rp 7 triliun sehingga tak mungkin lagi mendapat dana pinjaman bank. Posisi liabilitas Antam pun sangat besar sehingga ruang untuk mendapatkan dana segar melalui penerbitan saham baru mengecil.

Kebijakan Menteri BUMN Rini Soemarno yang menugaskan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bekerja sama dengan Antam mengakuisisi 10,64 persen saham Freeport perlu didukung. Sejak 1976, Inalum dioperatori perusahaan Jepang, dan tahun 2013 sudah menjadi milik BUMN. Inalum adalah salah satu perusahaan yang memiliki kemampuan membangun pabrik aluminium pertama di Tanah Air. Dengan pengalaman itu, Inalum adalah salah satu perusahaan pelat merah yang diandalkan masuk ke Freeport. PT Inalum memiliki kapasitas finansial mumpuni. Pada sembilan bulan pertama tahun 2014, misalnya, Inalum membukukan laba bersih 82,5 juta dollar AS dan membayar dividen interim 90 juta dollar AS kepada negara pada tahun 2014.

Meskipun demikian, masih banyak pihak mengatakan pemerintah tak perlu mengeluarkan uang besar untuk mendapat 10,64 persen saham Freeport mengingat kontrak karya Freeport akan berakhir tahun 2021. Menurut aturan, lahan perusahaan asing yang berakhir masa kontraknya harus dikembalikan kepada negara sebagai aset vital dan dikontrol pemerintah pusat. Freeport pun tak bisa menggunakan cadangan tembaga dan emas untuk meminta kompensasi saham karena Freeport hanya kontraktor bagi negara dan sumber cadangan tembaga-emas adalah milik negara. Pada saat kontrak berakhir, pemerintah mendapatkan Freeport dengan pembayaran zero, seperti dalam nasionalisasi Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari Total E&P (Perancis) ke PT Pertamina (Persero).

Renegosiasi kontrak

Duduk perkara kontrak karya Freeport tak lepas dari amandemen renegosiasi kontrak, sesuai amanat UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Pasal 159 (b) UU Minerba memberi mandat kepada pemerintah melakukan renegosiasi kontrak satu tahun setelah UU itu berlaku. Renegosiasi kontrak dilakukan agar pertambangan strategis memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat UUD 1945.

Sejak 2012, antara pemerintah dan Freeport mulai melakukan renegosiasi kontrak dengan enam klausul: penerimaan negara; penciutan luas lahan; penggunaan barang-jasa dalam negeri; pembangunan smelter; divestasi saham; dan perpanjangan kontrak. Freeport sendiri sepakat menciutkan luas lahan dari 212,950 hektar menjadi 90,360 hektar. Wilayah prospek telah dilepaskan untuk dimanfaatkan Pemprov Papua. Freeport juga telah sepakat menaikkan royalti tembaga dari 3,5 persen menjadi 4 persen dan emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen. Freeport akan membangun smelter tembaga di Gresik dengan nilai investasi 2,3 miliar dollar AS. Hanya saja, pembangunan smelter belum berjalan karena Freeport belum mendapat kepastian hukum soal perpanjangan kontrak. Freeport ingin mendapat jaminan kelanjutan operasi dan kepastian fiskal sampai tahun 2041 sesuai rencana investasi perusahaan.

Jika saja pemerintah mengakhiri kontrak karya Freeport, bagaimana dengan upaya renegosiasi yang hampir pasti sudah disepakati antara Freeport dan pemerintah? Apakah renegosiasi kontrak antara perusahaan tambang dan pemerintah yang sudah dilakukan sejak tahun 2012 tak relevan lagi untuk dibicarakan? Jika perpanjangan kontrak menjadi isu penting bagi Freeport Indonesia, maka, berhentilah berbicara soal renegosiasi kontrak. Freeport Indonesia harus menunda mengeluarkan kocek senilai 7 miliar dollar AS untuk pengembangan tambang underground, menunda membangun pabrik smelter tembaga, dan membatalkan kesepakatan kenaikan royalti tembaga dan emas.

Padahal, yang paling penting dari renegosiasi kontrak dengan Freeport adalah soal manfaat pengolahan tambang Grasberg bagi masyarakat Papua dan penerimaan negara. Total investasi Freeport Indonesia untuk pengembangan masyarakat Papua pada tahun 1992-2014 sebesar 1,3 miliar dollar AS terlalu kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan asal AS itu dari pengolahan tambang Grasberg. Dana investasi untuk pengembangan masyarakat mencakup kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur harus ditambah dua kali lipat agar kian banyak masyarakat Papua merasakan manfaat pengembangan sumber daya alam.

Pemerintah perlu mendesak Freeport membangun smelter di Papua agar memberi efek beragam bagi pembangunan Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur. Pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan kesempatan investasi karena produk  ikutan dari tembaga sangat banyak, seperti  gypsum (untuk industri semen) dan copper slag (ton untuk semen dan beton).

Jika smelter dibangun di Papua, perusahaan-perusahaan semen, pupuk, berbodong-bondong merelokasi pabrik di Papua. Efek dari itu adalah harga semen yang selama ini jadi masalah di Papua menjadi lebih murah. Pembangunan smelter di Gresik merugikan daerah penghasil mineral dan menguntungkan daerah di pusat industri seperti Jawa. Pembangunan smelter di Papua membuat daerah itu lebih menarik. Nilai tambah meningkat, perekrutan tenaga kerja juga meningkat dan pendapatan asli daerah ikut terdongkak.

Penentu akhir pembangunan smelter ada di tangan pemerintah. Presiden Jokowi menaruh perhatian besar untuk pembangunan Papua. Jokowi ingin mempercepat pembangunan ekonomi di Papua. Maka, pembangunan smelter di Papua merupakan jalan untuk mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Pemerintah harus menjelaskan bahwa prioritas kita adalah mengurangi jurang pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar