Masa Depan Eks Gafatar Pasca-Fatwa Sesat MUI
Jamil Wahab ; Peneliti Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama;
Pernah melakukan kajian tentang
Gafatar di Aceh (2015) dan Kalbar (2016)
|
JAWA POS, 04
Februari 2016
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) akhirnya
menetapkan aliran Gafatar yang berpaham Millah Abraham sesat menyesatkan.
Keputusan MUI itu dikeluarkan sesaat setelah Komisi Fatwa MUI melakukan
sidang kemarin (3/2).
Keputusan tersebut didasarkan pada alasan
bahwa Gafatar merupakan metamorfosis aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang
sudah difatwa sesat melalui Fatwa MUI No 4 Tahun 2007. Beberapa paham Millah
Abraham yang dianggap sesat dan menyimpang, antara lain, mencampurkan ajaran
Islam, Kristen, dan Yahudi dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang tidak
berdasar kaidah tafsir.
Keputusan MUI tersebut sangat mungkin menjadi
pertimbangan penting bagi pihak berwenang untuk memproses para eks pengurus
Gafatar secara hukum dengan tuduhan penodaan agama. Pendekatan Yuridis
Berdasar pasal 1 UU No 1/PNPS Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ’’Setiap orang
dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan
kegiatan mana yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama itu.’’
Selanjutnya, dalam pasal 2 ayat (1) UU itu
disebutkan, ’’Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
suatu keputusan bersama menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam
negeri.’’
Mencermati pasal 2 ayat (1) tersebut, sanksi
hukum yang diberikan kepada eks Gafatar adalah hanya dalam bentuk perintah
dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan penyebaran paham Millah
Abraham. Yakni, melalui penerbitan suatu keputusan bersama (SKB) menteri
agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri.
Perintah dan peringatan keras untuk penyebaran
paham Millah Abraham juga mungkin hanya diberlakukan kepada para pengurus
inti Gafatar yang menyebarkan paham Millah Abraham. Sebab, para anggota eks
Gafatar mungkin diposisikan sebagai korban.
Sejauh ini para pengurus eks Gafatar masih
sulit diseret ke meja hijau. Kecuali jika setelah keluarnya SKB (saat ini
belum dikeluarkan) mereka masih meneruskan perbuatannya.
Militansi dan Tuduhan
Makar
Jika mengamati sikap para eks anggota Gafatar,
mereka terindikasi memiliki militansi yang kuat. Hal itu terlihat dari,
pertama, bagaimana mereka beramai-ramai pergi ke Kalimantan Barat (Kalbar)
secara bertahap.
Mereka umumnya pergi dengan biaya sendiri,
dengan menjual rumah dan tanah. Mereka eksodus ke Kalbar, di samping untuk
menjalankan program ketahanan dan kemandirian pangan, untuk menjalankan
perintah hijrah.
Kedua, meski saat ini sudah dievakuasi
pemerintah, seluruh eks Gafatar nyaris tidak ingin kembali ke kampung halaman
dan tetap ingin dikembalikan ke Kalbar. Ketiga, jika eks anggota Gafatar
ditanya tentang tujuan ke Kalbar maupun keyakinan keagamaan, jawaban yang
diberikan dan diksi yang dipakai nyaris sama.
Psikolog Raudlotul Munawaroh yang memberikan
konseling bagi eks Gafatar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, menyimpulkan,
dari gestur, diksi, dan spontanitas jawaban eks Gafatar, mereka telah
mengalami doktrinasi.
Pihak kepolisian, sebagaimana dilansir banyak
media, menyebut adanya dugaan perbuatan makar yang telah dilakukan eks
Gafatar. Sejumlah dokumen yang ditemukan, file dari laptop, dan handphone
pengurus eks Gafatar menunjukkan adanya struktur Negeri Karunia Tuan Alam
Semesta Nusantara (NKTN).
Eks Gafatar juga melakukan surat-menyurat
dengan kop surat bertulisan NKTN. Plus lengkap dengan jabatan pengirim dan
tujuan surat seperti menteri, gubernur, dan kepala daerah.
Juru Bicara Gafatar Wishnu Windani dan eks
Ketum Gafatar Mahful Muiz memang sudah membantah keberadaan NKTN. Selama
melakukan kajian, penulis pun tidak mendapatkan pengakuan adanya NKTN dari
para eks Gafatar.
Namun, kesaksian warga Mempawah, Kalbar,
menyebutkan, eks Gafatar tidak mengizinkan warga memasuki basecamp
(perumahan) mereka. Di samping itu, anak-anak tidak diizinkan bersekolah di
luar basecamp, meski digratiskan.
Mereka lebih memilih homeschooling yang
diadakan intern mereka. Sikap eksklusif itu memperkuat dugaan adanya ’’agenda
lain’’ di balik eksodus mereka ke Kalbar.
Mengutamakan Mediasi
Meski memiliki militansi yang kuat, secara
psikologis eks Gafatar mengalami kekhawatiran atas masa depan mereka. Saat
ini mereka tidak lagi memiliki rumah untuk tempat tinggal. Mereka juga
mengeluhkan sulitnya lapangan pekerjaan.
Karena itu, pemerintah harus bisa memberikan
solusi bagaimana memenuhi kebutuhan hidup eks Gafatar saat ini. Jika memang
memiliki keinginan kuat hidup di Kalbar, tidak ada salahnya mereka dilibatkan
dalam program transmigrasi di bawah pembinaan dan pengawasan pemerintah.
Tapi, harus dipastikan bahwa mereka telah terputus dari jaringan organisasi
eks Gafatar.
Selain pendekatan ekonomi, beberapa program
lain perlu dikembangkan pemerintah. Misalnya, paham keagamaan dan kebangsaan
(nasionalisme) eks Gafatar.
Untuk merekonstruksi pemikiran dan keyakinan
mereka, perlu dilakukan konseling dan pembinaan yang intens dengan melibatkan
ahli keagamaan dan psikologi serta pihak-pihak terkait lainnya.
Dengan pendekatan mediasi yang dialogis dan
rasa empati terhadap anggota eks Gafatar, diharapkan mereka akan lebih
terbuka sehingga upaya-upaya solutif yang efektif dapat dirumuskan dan
dilakukan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar