Mempersenjatai Petani Indonesia Menghadapi MEA
Suwandi ;
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Kementan;
Tanggapan atas tulisan Sofyan
Sjaf di Kompas, Jumat (29/1)
|
KOMPAS, 01 Februari
2016
Munculnya sinyalemen
pakar yang meragukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi "perang
pangan" di era perdagangan ASEAN bisa jadi merupakan peletakan pemikiran
yang sebenarnya belum memahami basis realitas yang ada. Apalagi ketika ada
anggapan bahwa pemerintah belum berbuat apa-apa untuk membekali petani
sehingga khawatir tidak akan mampu bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Ada anggapan bahwa
prioritas program Nawacita, dalam mewujudkan kedaulatan pangan, seolah belum
diterjemahkan secara baik di lapangan. Kementerian Pertanian bahkan dianggap
gagal paham dalam penentuan kebijakan. Pernyataan tendensius seperti itu
bahkan mengaburkan persoalan yang ada karena menjadikannya sebagai tudingan
yang bersifat pribadi. Bagaimanapun, ahli yang bertipe serupa ini bisa jadi
sejatinya tidak memahami lapangan, hanya "berimajinasi" di atas
meja dan kemungkinan memiliki agenda terselubung dengan pencitraan kurang
etis di media.
Barangkali yang perlu
diketahui bahwa sejak Kabinet Kerja menjalankan tugas pada Oktober 2014,
Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah melakukan perubahan mendasar.
Pertama, melakukan
revisi regulasi yang menghambat pembangunan, berdasarkan Perpres Nomor 172
Tahun 2014 yang hanya diproses seminggu sehingga penyediaan benih dan pupuk
tepat waktu. Telah diterbitkan juga peraturan pengendalian impor pangan,
melakukan deregulasi investasi, dan menghasilkan 35 komitmen investor
industri gula, jagung, dan sapi.
Kedua, mempersenjatai
petani dengan 65.000 alat dan mesin pertanian, jumlah yang terbanyak selama
ini, menyediakan pupuk bersubsidi 9,5 juta ton, bantuan benih padi 1 juta
hektar, jagung 1,1 juta ha, dan kedelai 831.000 ha.
Ketiga, membangun
infrastruktur irigasi besar-besaran yang mampu mengaliri 2,45 juta ha,
melakukan optimasi lahan seluas 932.000 ha, kebijakan embung, long-storage,
membuka jalan usaha tani, serta pasar tani, dan melakukan kebijakan
efektivitas dalam menangani tata niaga dan ekspor-impor yang sangat bernuansa
pro petani.
Bahkan, sejak awal
2015, Mentan Amran telah mengantisipasi dini ancaman kekeringan El Nino
dengan mendistribusikan pompa, membangun embung, dam, parit, serta pada saat
terjadi El Nino dilakukan pompanisasi waduk, hujan buatan, dan lainnya yang
hasilnya diketahui bersama bahwa ancaman kekeringan itu dapat diminimalkan.
Berpijak pada fakta
Bagi yang mengetahui
persoalan pangan di lapangan, pasti memahami pada 2015 petani betul-betul
mendapat perhatian penuh dari pemerintah dengan berbagai fasilitas dan
perlindungan melalui harga pembelian pemerintah maupun perlindungan dengan
asuransi pertanian. Pada 2015 juga sering didengungkan oleh berbagai pihak
sebagai tonggak tahun terjadinya transformasi dari pertanian konvensional
menjadi modern karena dikembangkannya proses mekanisasi secara besar-besaran
yang mampu menghemat biaya olah tanam dan tanam, penurunan kerugian, dan
peningkatan pendapatan petani.
Sudah menjadi
pemahaman bersama bahwa dunia pangan kita sebelumnya sangat dilekati oleh
sebuah sistem tata niaga yang tidak sehat dan sangat kronis. Middle man,
kartel, penyelundup, dan lainnya selama ini dibiarkan bergentayangan.
Mencermati kondisi
tersebut, Mentan Amran langsung bertindak, memotong mafia pangan. Sudah lebih
dari 30 kasus pengoplos dan pupuk ilegal ditangkap dan diproses hukum.
Sebagian kartel daging sapi dan unggas yang selama ini mengendalikan pasokan
dan harga sudah diproses di Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Middle man
impor pangan juga diredam dengan menerbitkan regulasi impor yang ketat dan
terkontrol.
Prinsip membangun
pertanian yang merujuk pada ketiga aspek fundamental, yaitu ekonomi, ekologi,
dan sosial-budaya, secara terang benderang telah diterapkan Mentan.
Pengembangan pertanian ramah lingkungan dan memberdayakan petani dilakukan
pada 2015. Kegiatan membangun 1.000 desa mandiri benih, desa organik, maupun
200.000 ha pola system of rice
intensification telah mengantarkan Indonesia mengekspor beras organik 134
ton ke Italia.
Mentan Amran melakukan
semua itu dengan didukung penuh penyuluh, TNI, Kelompok Tani Nelayan Andalan,
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, perguruan tinggi, pemda, instansi terkait,
dan Komisi IV DPR. Hal ini nyata telah menunjukkan hasil.
Data kinerja produksi
pangan sesuai Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan produksi padi 2015
sebesar 74,9 juta ton atau naik 5,85 persen, jagung naik 4,34 persen, kedelai
naik 2,93 persen dibandingkan 2014. Demikian juga produksi cabai, bawang
merah, dan tebu.
Peningkatan produksi
yang diikuti dengan penanganan aspek hilir dan tata niaga pangan diyakini
berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan petani. Tingkat kesejahteraan
petani 2015 juga meningkat lebih baik dibandingkan 2014 sesuai indikator
nilai tukar petani (NTP) maupun nilai tukar usaha pertanian (NTUP). Data BPS
2016, menyebutkan NTUP nasional 2015 sebesar 107,44 atau naik 1,40 persen
dibandingkan 2014 sebesar 106,04. Secara rinci NTUP tanaman pangan 2015 naik
2,91 persen, peternakan naik 2,03 persen, dan hortikultura naik 1,35 persen.
Memang pada NTUP
perkebunan ada penurunan 2,14 persen akibat sebagian besar produk yang
berorientasi ekspor terkena imbas harga minyak kelapa sawit mentah dan karet
yang turun serta krisis global, sementara produksi naik.
Sejalan dengan NTUP,
maka indikator NTP juga menunjukkan peningkatan. NTP tanaman pangan tahun
2015 naik 1,48 persen dan NTP peternakan naik 0,75 persen. Adapun NTP
perkebunan turun 4,12 persen akibat imbas pasar global.
Pada era demokrasi
saat ini, kritik menjadi bagian yang sangat dibutuhkan dan Kementan terbuka.
Hal itu dibuktikan pada 2015 Kementan memperoleh penghargaan atas keterbukaan
informasi publik yang diberikan Komisi Informasi Pusat.
Kementan pasti akan
menerima masukan positif dengan tangan terbuka. Namun, yang perlu diluruskan,
kritik tersebut tidak mengarah atau menuding secara personal, seperti tulisan
opini Saudara Sofyan Sjaf, yang saat ini tidak lagi bekerja sebagai staf ahli
di salah satu ditjen di Kementan. Hal ini jangan sampai mengindikasikan
adanya respons kekecewaan sehingga analisis yang diberikan tidak lagi
bersandar pada data, tetapi lebih pada emosional semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar