WAWANCARA
Kereta Cepat :
Saya Hanya Menjalankan Undang-Undang
Ignasius Jonan ;
Menteri Perhubungan RI
|
KOMPAS, 01 Februari
2016
Proyek kereta cepat
Jakarta-Bandung sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo. Namun, muncul kritik
dan masukan, antara lain soal risiko kebencanaan dalam pembangunan proyek
serta izin pembangunan dan izin konsesi.
Berikut petikan
wawancara Kompas dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan di Kabupaten Tanah
Laut, Kalimantan Selatan, pekan lalu, soal proyek yang menelan biaya Rp 70
triliun itu.
Apa peran Kementerian Perhubungan?
Menurut Peraturan
Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Kereta Cepat, kami adalah kementerian
teknis sehingga kami harus mengevaluasi, memberikan izin trase, rancang
bangun, mengawasi pembangunan. Kami sangat mendukung pembangunan kereta cepat
asal tidak menggunakan APBN. Kami senang ada infrastruktur transportasi baru
yang bisa berjalan secara komersial. Yang kedua, kereta cepat adalah
teknologi baru untuk Indonesia. Mungkin ada pangsa pasarnya, nanti dipikirkan
bagaimana intermodanya.
Jika Kemenhub mendukung kereta cepat, kenapa izin konsesinya
belum keluar? Semula, menurut rencana, Kamis (28/1).
Konsesi memang
diharapkan Kamis kemarin sudah bisa ditandatangani. Akan tetapi, negosiasinya
belum tuntas. Menurut laporan, belum ada kesepakatan. Prinsipnya memang harus
ada konsesi. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian, kereta yang dibangun bukan oleh pemerintah harus melakukan
perjanjian konsesi. Pemerintah memberikan hak pengoperasian dan pembangunan
kereta. Menteri Perhubungan mewakili negara. Konsesi diberikan maksimum 50
tahun sejak ditandatangani kontrak konsesi, bukan sejak pertama kali operasi.
Kami tidak mau mengulang kejadian di jalan tol, yakni pemegang konsesi tidak
segera membangun jalan tol dan konsesi berlaku sejak pertama kali beroperasi.
Akhirnya pemerintah tersandera. Kalau minta 50 tahun dan bisa diperpanjang,
tidak saya berikan. Alasannya, konsesi ini gratis. Mereka tidak bayar sepeser
pun. Konsesi di kereta berbeda dengan konsesi di laut dan udara. Kalau di
laut, pemegang konsesi harus bayar 2,5 persen, sedangkan di kereta tidak ada
fee konsesi.
Tidak ada jaminan
negara sama sekali. Apabila pembangunan dan pengoperasian berhenti di tengah
jalan, kita tidak akan ambil alih. Saat masa konsesi selesai, semua
infrastruktur yang dibangun harus diserahkan ke negara dalam kondisi fit and clear, artinya tidak
dijaminkan ke pihak lain dan layak operasi. Kalau proyek berhenti di jalan,
izin akan dicabut dan mereka wajib mengembalikan kondisi alam yang telah
mereka pakai ke kondisi semula. Supaya tidak seperti monorel di Jakarta.
Kalau prinsip ini sudah disepakati, konsesi bisa diberikan.
Di masyarakat berkembang opini seolah-olah ada perbedaan
pendapat antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN. Apakah
demikian?
Saya kira publik tidak
pernah memahami UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian dan peraturan menteri
yang mengikutinya. Kalau mereka tahu, mereka akan mengerti saya hanya
menjalankan undang-undang. Mereka sebagai pengusaha tentu akan minta
kemudahan sebanyak-banyaknya. Kementerian BUMN tentu minta
sebanyak-banyaknya, kita yang harus mengaturnya.
Apakah ada tekanan dari Presiden Joko Widodo agar Kemenhub
mempercepat?
Oh, sama sekali tidak
ada. Baca dong Perpres No 107/2015. Di situ tercantum Kemenhub harus
menegakkan perundangan yang berlaku. Saya dukung kereta cepat agar cepat
terbangun. Jika semua dokumennya siap, dalam waktu satu minggu, izin akan
keluar. Pokoknya Kemenhub tidak akan mempersulit, tetapi juga tidak akan
mempermudah. (M CLARA WRESTI) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar