Cermat Merevisi UU Terorisme
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD;
Guru Besar dalam Criminal Justice
System PTIK/UI
|
KOMPAS, 01 Februari
2016
Setelah aksi teror di
Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, pemerintah berkehendak kuat
merevisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal itu
disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo saat rapat konsultasi dengan
pimpinan lembaga negara di Istana Negara (Selasa, 19/1).
Presiden
mempertanyakan efektivitas UU tersebut dalam "mencegah aksi
terorisme". Desakan revisi UU juga ditegaskan pejabat Kepolisian Negara
RI/intelijen dalam banyak kesempatan. Bahwa sebenarnya mereka telah
mendeteksi adanya aksi terorisme, tetapi karena keterbatasan UU, mereka tidak
dapat menindak dan baru bisa melakukan penindakan setelah aksi terjadi.
Seolah ingin
mengatakan, jika ada yang harus disalahkan atas terjadinya teror kemarin,
adalah lemahnya UU. Bahkan, secara eksplisit Badan Intelijen Negara (BIN),
sebagaimana ditegaskan Kepala BIN Sutiyoso, menginginkan adanya kewenangan
menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga terorisme, dan tak sekadar
menjadi komponen pendukung.
Pro dan kontra
Rencana revisi ini
mendapat penyikapan beragam dari berbagai kalangan. Sebagian pihak mendukung
dengan argumentasi yang kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan
pemerintah. Tentu ada nuansa kegeraman/kemarahan yang dipicu peristiwa
"teror Thamrin" yang begitu tragis dan dramatis disiarkan berbagai
media. Namun, tidak sedikit yang menentang atau sekadar mengkritisi rencana
tersebut, khususnya datang dari kalangan masyarakat sipil. Mereka menilai,
rencana ini sebenarnya sudah sejak lama diwacanakan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Teroris (BNPT) maupun Densus 88 Polri dan seolah menemukan momentum
pasca "teror Thamrin".
Hal yang paling
dikhawatirkan kalangan masyarakat sipil, revisi UU akan membatasi kebebasan
sipil dan hak asasi manusia atas nama pemberantasan terorisme. Bahkan, lebih
dikhawatirkan berpotensi menjadi alat bagi rezim berkuasa untuk memberangus
pendapat kelompok masyarakat yang berbeda dengan rezim. Selain itu, aspirasi
perluasan kewenangan BIN dinilai justru berlawanan dengan esensi tugas
lembaga intelijen sendiri yang tidak memiliki kewenangan penindakan, kecuali
memberikan deteksi dan peringatan dini atas potensi ancaman terhadap
kedaulatan negara.
Meski demikian, semua
kalangan menilai, upaya pemberantasan terorisme yang efektif tetap merupakan
kebutuhan mendesak dihadapkan pada kerentanan keamanan nasional. Hal ini
menjadi tantangan bagi aparat keamanan negara untuk meningkatkan kemampuannya
dalam melakukan pencegahan, khususnya oleh lembaga dan satuan-satuan
intelijen sebagai lini terdepan dan pihak yang bertanggung jawab memberikan
peringatan dini terjadinya terorisme.
Harus cermat dan tepat
Penulis berpendapat,
dimungkinkan revisi terbatas terhadap UU Terorisme. Meski demikian, revisi
harus dilakukan dengan cermat dan tepat pada aspek-aspek yang memang
dibutuhkan. Hemat penulis, kebutuhan tersebut pada jaminan kecepatan dan
efektivitas dalam penindakan terorisme oleh aparat keamanan, yang membutuhkan
keterpaduan sistem deteksi dan antisipasi dini di antara aparat
keamanan/intelijen. Sebaliknya, revisi tidak tepat jika dimaksudkan untuk
memperluas kewenangan aktif (penindakan) lembaga intelijen negara.
Sebagaimana kita
pahami, dalam konteks pemberantasan terorisme ada dua kegiatan penting yang
dilakukan oleh aparat keamanan/intelijen. Pertama, deteksi merupakan domain
aparat/satuan intelijen. Kedua, penindakan merupakan kewenangan aparat
keamanan, dalam hal ini Polri dan TNI jika diperlukan. Dalam dua kegiatan
tersebut, permasalahannya ada pada keterbatasan Polri dalam menindaklanjuti
hasil deteksi informasi intelijen karena penindakan oleh Polri harus memenuhi
persyaratan yuridis yang ketat.
Revisi UU dimungkinkan
dalam aspek penindakan oleh aparat keamanan agar lebih longgar syarat-syarat
penetapan tersangka untuk proses penyelidikan berdasarkan data dan informasi
intelijen yang valid dan obyektif. Demikian halnya dengan masa penahanan,
perlu mempertimbangkan efektivitas pengungkapan jaringan yang tidak
sederhana. Tentu saja perpanjangan masa penahanan dalam rangka penyelidikan dilakukan dengan
tetap menghormati dan/atau tidak melanggar HAM, dan apabila Polri tidak
menemukan keterlibatan yang bersangkutan dengan jejaring teror, harus
dibebaskan.
Argumentasi penting
dari usulan ini adalah kenyataan bahwa tindak pidana terorisme merupakan
"kasus luar biasa" yang penanganannya, khususnya dalam konteks
penindakan, rehabilitasi, dan pasca rehabilitasi, tidak mencukupi jika
dilakukan dengan prosedur dan cara yang "luar biasa". Penulis tak
melihat kelemahan dalam hal deteksi intelijen jika merujuk pernyataan pejabat
pemerintahan dan keamanan sebagaimana diutarakan di atas. Justru semua
mengatakan bahwa sebenarnya sudah dapat mendeteksi perilaku yang dicurigai
mengarah pada terorisme, tetapi tidak dapat melakukan penindakan karena
keterbatasan UU. Artinya, fungsi intelijen telah berjalan dengan baik. Oleh
karena itu, menjadi tidak tepat usulan untuk memperluas kewenangan BIN dengan
upaya aktif penindakan.
Sekiranya perlu
diingatkan kembali semangat UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara,
sebagaimana pandangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang disampaikan sebagai
masukan dalam pembahasan RUU Intelijen Negara. Dalam hal ini, desain
reformasi lembaga intelijen ditata kembali agar tetap berfungsi secara
profesional dan proporsional dalam konteks keamanan nasional dan konsolidasi
demokrasi yang memungkinkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam
keseluruhan sistem intelijen negara.
Dalam kerangka inilah,
fungsi intelijen secara tegas terpisah dengan fungsi penegakan hukum.
Intelijen merupakan bagian dari sistem peringatan dini yang tidak memiliki
kewenangan penindakan (Vide: Pasal 31 dan Pasal 34 UU No 17/2011). Fungsi
penegakan hukum tetap dipegang oleh aparat yustisia (Polri dan Kejaksaan
Agung), dan fungsi ini tidak dapat dialihkan ke anggota intelijen. Kebutuhan
operasional anggota intelijen untuk melakukan penindakan dini dioptimalkan
dengan pembentukan mekanisme koordinasi kerja yang lebih efektif (proses
estafet yang ringkas), bukan dengan memberikan kewenangan ekstra di bidang
penegakan hukum bagi anggota intelijen.
Kalaupun ada kelemahan
yang perlu diperbaiki, adalah menyangkut keterpaduan sistem deteksi,
penindakan, rehabilitasi, dan pasca rehabilitasi. Hal ini tidak terlepas dari
lemahnya kerja sama, komunikasi, dan koordinasi antarlembaga, juga karena ego
sektoral masing-masing aparat keamanan/intelijen yang cenderung menganggap
keberhasilan instansi dalam penindakan hanya dipandang sebagai keberhasilan
sektoral.
Simpulan
Berdasarkan perspektif
di atas, penulis menyarankan agar semua aparat keamanan/intelijen dan
pakar/pengamat terkait me-review sistem yang berjalan berdasarkan UU yang
ada. Hemat penulis, revisi perlu dilakukan untuk mendukung efektivitas
penindakan oleh Polri, selain dalam konteks rehabilitasi dan pasca
rehabilitasi terpidana teroris.
Selain itu, diperlukan
peningkatan kapabilitas dan profesionalitas aparat keamanan/intelijen.
Peningkatan tersebut meliputi kapabilitas dan profesionalitas personel,
infrastruktur termasuk peralatan kerja, sistem pencegahan teror yang
terintegrasi, hingga sistem rehabilitasi dan pasca rehabilitasi bagi narapidana
teroris. Dan, tak kalah penting, perlu penataan kembali pola kerja sama,
komunikasi, dan koordinasi antarlembaga yang lebih efektif, sembari
menanggalkan ego sektoral dalam pemberantasan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar