Selasa, 02 Februari 2016

Postur Anggaran Pendidikan Berbasis Sekolah

Postur Anggaran Pendidikan Berbasis Sekolah

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                          MEDIA INDONESIA, 01 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BISA dikatakan bahwa setelah 15 tahun dunia pendidikan Indonesia menikmati 20% anggaran pendidikan melalui APBN, posisi mutu dan ketimpangan dalam pendidikan masih belum bisa bergerak ke arah yang lebih baik. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi, dengan salah satunya adanya ketidakberanian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah postur anggaran pendidikan kita dengan melihat sekolah sebagai unit cost analysis -nya. Di beberapa negara maju, kepedulian tentang hal itu sangat besar karena dengan melihat sekolah sebagai unit cost analysis, negara akan melihat berapa besar peran masyarakat dalam ikut mengelola pendidikan secara baik.
Matthew Martin (2007) dalam A Literature Review on the effectiveness of Financial Education misalnya menyebutkan hampir 40% anggaran pendidikan di Amerika berasal dari partisipasi masyarakat. Hampir semua perencanaan anggaran pendidikan disusun sekolah masing-masing, de ngan supervisi yang ketat oleh seluruh pemangku kepentingan sekolah, terutama orangtua dan masyarakat.
Melalui komite sekolah yang kuat, sebuah sekolah berhak menyusun kebutuhan mereka sendiri berdasarkan asumsi kemampuan masyarakat setempat serta komponen apa saja yang bisa dibiayai masyarakat sendiri. Mereka bahkan bisa memutuskan berapa standar gaji guru yang harus dibayar sekolah, bagaimana professional development teacher harus dikembangkan, serta jenis-jenis pembiayaan lainnya yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar dan infrastruktur sekolah.
Alternatif model
Irina Bokova, dalam Education Counts: Towards the Millennium Development Goals (2011), membuat ilustrasi menarik tentang posisi pendidikan sebagai sebuah elemen penyeimbang gerak pembangunan di setiap negara. Dalam pandangannya, ‘the equation is simple: education is the most basic insurance against poverty. Education represents opportunity. At all ages, it empowers people with the knowledge, skills and confi dence they need to shape a better future‘. Tak ada yang menyangkal peran pendidikan sebagai pencipta keseimbangan gerak pembangunan. Namun, masalahnya ialah seberapa besar anggaran pendidikan disediakan negara dan bagaimana model distribusinya? Bagaimana pola dukungan masyarakat yang secara konkret dapat membantu pendidikan keluar dari masalah keterbelakangan?
Meskipun sejak 2009 Indonesia telah memiliki anggaran pendidikan 20% dari total APBN, distribusi dan prioritas pembangunan pendidikan belum dilakukan secara efektif. Krisis global yang terjadi saat ini juga ikut membawa dampak serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan pendidikan.
Sementara itu, secara politis anggaran 20% rawan untuk dikorupsi mengingat postur anggaran pendidikan kita belum memiliki pola distribusi yang sehat karena masih menghitung berdasarkan jumlah individual guru dan siswa seperti terdeteksi dengan kebijakan BOS.
Salah satu cara yang pernah dilakukan pemerintah ialah memberi kepercayaan kepada komunitas sekolah untuk menyusun sendiri rencana kebutuhan anggaran mereka setiap tahun.
Prinsip zero based budgeting (ZZB) yang diperkenalkan Peter Phyrr (1970) mungkin ada baiknya diujicobakan. Sebagai sebuah proses perencanaan penganggaran berbasis kebutuhan individual institusi dan atau masyarakat, ZBB memiliki lima langkah dasar dalam operasionalnya (Bliss, 1978).
Yang pertama dari kelima langkah tersebut ialah melakukan identifikasi terhadap unit pengambil keputusan dalam setiap sekolah. Unit itu merupakan penentu dalam setiap proses kebijakan yang akan diambil sekolah. Itu terutama menyangkut perencanaan belanja anggaran beserta penjelasan, tujuan, sumber daya yang dibutuhkan, serta besaran biayanya. Kepala sekolah bersama-sama komunitas sekolah harus duduk bersama dalam membuat desain prioritas anggaran sekolah untuk minimum satu tahun ke depan.
Jika semua perencanaan telah dibuat, langkah kedua ialah bagaimana manajemen sekolah menganalisis setiap rencana belanja sekolah. Pada tahap ini seluruh manajemen sekolah diwajibkan untuk melakukan analisis secara cermat, terutama dalam menjustifikasi setiap rencana program yang akan dijalankan sekolah. Selanjutnya, langkah ketiga membuat daftar urut prioritas rencana anggaran belanja sekolah yang sesuai dengan kesepakatan komunitas sekolah. ZBB tidak secara spesifik menyebutkan bagaimana urutan harus dibuat, melainkan keputusan harus didasarkan pada visi dan misi sebuah sekolah. Dalam kasus di Indonesia, hampir semua sekolah taken for granted dalam hal pembiayaan sekolah. Mereka hampir tak punya nyali kecuali menunggu akan ada program apa lagi dari pemerintah tahun ini.
Langkah keempat, setelah urutan prioritas ditetapkan manajemen sekolah, ditetapkan besaran biaya yang dibutuhkan berdasarkan skala prioritas tersebut. Manajemen sekolah harus bertanggung jawab terhadap setiap usul, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip kebersamaan, demokratis, transparan, dan akuntabel. Barulah kemudian langkah kelima manajemen sekolah bersama-sama komunitas sekolah menyiapkan seluruh dokumen perencanaan budget tersebut ke dinas pendidikan setempat untuk mendapat pengesahan dan pembahasan sehingga pada akhirnya kebutuhan dana tersebut disediakan secara bersama-sama, baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Kekuatan ZBB terlihat justru pada akurasi data yang valid, tinimbang bentuk distribusi anggaran kita saat ini yang hanya mengandalkan basis data berdasarkan tradisi line-item budgeting . Selain itu proses perencanaan penganggaran ala ZBB juga akan menjadikan masyarakat sekolah cerdas dalam menentukan kebutuhan anak didik mereka secara bertahap dan tepat guna.
Satu-satunya kelemahan distribusi anggaran dengan menggunakan ZBB ialah bagaimana kita melakukan exercise dan penataan masyarakat sekolah agar lebih peduli pada kualitas sekolah mereka masing-masing.
Karena itu, ada baiknya jika anggaran 20% yang telah disediakan pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran serta masyarakat di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih komunitas sekolah mendesain perencanaan pembiayaan sekolah mereka masing-masing. Distribusi anggaran pendidikan kita jangan sampai terjerumus ke dalam persoalan yang tak pernah habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang rawan korupsi dan manipulasi. Hal itu tentu saja tidak mendidik masyarakat untuk menjadi lebih mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar