Postur Anggaran Pendidikan Berbasis Sekolah
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
01 Februari 2016
BISA dikatakan bahwa setelah 15 tahun dunia
pendidikan Indonesia menikmati 20% anggaran pendidikan melalui APBN, posisi
mutu dan ketimpangan dalam pendidikan masih belum bisa bergerak ke arah yang
lebih baik. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi, dengan salah satunya
adanya ketidakberanian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah postur
anggaran pendidikan kita dengan melihat sekolah sebagai unit cost analysis
-nya. Di beberapa negara maju, kepedulian tentang hal itu sangat besar karena
dengan melihat sekolah sebagai unit
cost analysis, negara akan melihat berapa besar peran masyarakat dalam
ikut mengelola pendidikan secara baik.
Matthew Martin (2007) dalam A Literature Review on the effectiveness
of Financial Education misalnya menyebutkan hampir 40% anggaran
pendidikan di Amerika berasal dari partisipasi masyarakat. Hampir semua
perencanaan anggaran pendidikan disusun sekolah masing-masing, de ngan
supervisi yang ketat oleh seluruh pemangku kepentingan sekolah, terutama
orangtua dan masyarakat.
Melalui komite sekolah yang kuat, sebuah
sekolah berhak menyusun kebutuhan mereka sendiri berdasarkan asumsi kemampuan
masyarakat setempat serta komponen apa saja yang bisa dibiayai masyarakat
sendiri. Mereka bahkan bisa memutuskan berapa standar gaji guru yang harus
dibayar sekolah, bagaimana professional
development teacher harus dikembangkan, serta jenis-jenis pembiayaan
lainnya yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar dan infrastruktur
sekolah.
Alternatif model
Irina Bokova, dalam Education Counts: Towards the Millennium Development Goals
(2011), membuat ilustrasi menarik tentang posisi pendidikan sebagai sebuah
elemen penyeimbang gerak pembangunan di setiap negara. Dalam pandangannya, ‘the equation is simple: education is the
most basic insurance against poverty. Education represents opportunity. At
all ages, it empowers people with the knowledge, skills and confi dence they
need to shape a better future‘. Tak ada yang menyangkal peran pendidikan
sebagai pencipta keseimbangan gerak pembangunan. Namun, masalahnya ialah
seberapa besar anggaran pendidikan disediakan negara dan bagaimana model
distribusinya? Bagaimana pola dukungan masyarakat yang secara konkret dapat
membantu pendidikan keluar dari masalah keterbelakangan?
Meskipun sejak 2009 Indonesia telah memiliki
anggaran pendidikan 20% dari total APBN, distribusi dan prioritas pembangunan
pendidikan belum dilakukan secara efektif. Krisis global yang terjadi saat
ini juga ikut membawa dampak serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat
terhadap jasa dan layanan pendidikan.
Sementara itu, secara politis anggaran 20%
rawan untuk dikorupsi mengingat postur anggaran pendidikan kita belum
memiliki pola distribusi yang sehat karena masih menghitung berdasarkan
jumlah individual guru dan siswa seperti terdeteksi dengan kebijakan BOS.
Salah satu cara yang pernah dilakukan
pemerintah ialah memberi kepercayaan kepada komunitas sekolah untuk menyusun
sendiri rencana kebutuhan anggaran mereka setiap tahun.
Prinsip zero
based budgeting (ZZB) yang diperkenalkan Peter Phyrr (1970) mungkin ada
baiknya diujicobakan. Sebagai sebuah proses perencanaan penganggaran berbasis
kebutuhan individual institusi dan atau masyarakat, ZBB memiliki lima langkah
dasar dalam operasionalnya (Bliss, 1978).
Yang pertama dari kelima langkah tersebut
ialah melakukan identifikasi terhadap unit pengambil keputusan dalam setiap
sekolah. Unit itu merupakan penentu dalam setiap proses kebijakan yang akan
diambil sekolah. Itu terutama menyangkut perencanaan belanja anggaran beserta
penjelasan, tujuan, sumber daya yang dibutuhkan, serta besaran biayanya.
Kepala sekolah bersama-sama komunitas sekolah harus duduk bersama dalam
membuat desain prioritas anggaran sekolah untuk minimum satu tahun ke depan.
Jika semua perencanaan telah dibuat, langkah
kedua ialah bagaimana manajemen sekolah menganalisis setiap rencana belanja
sekolah. Pada tahap ini seluruh manajemen sekolah diwajibkan untuk melakukan
analisis secara cermat, terutama dalam menjustifikasi setiap rencana program
yang akan dijalankan sekolah. Selanjutnya, langkah ketiga membuat daftar urut
prioritas rencana anggaran belanja sekolah yang sesuai dengan kesepakatan
komunitas sekolah. ZBB tidak secara spesifik menyebutkan bagaimana urutan
harus dibuat, melainkan keputusan harus didasarkan pada visi dan misi sebuah
sekolah. Dalam kasus di Indonesia, hampir semua sekolah taken for granted
dalam hal pembiayaan sekolah. Mereka hampir tak punya nyali kecuali menunggu
akan ada program apa lagi dari pemerintah tahun ini.
Langkah keempat, setelah urutan prioritas
ditetapkan manajemen sekolah, ditetapkan besaran biaya yang dibutuhkan
berdasarkan skala prioritas tersebut. Manajemen sekolah harus bertanggung
jawab terhadap setiap usul, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip
kebersamaan, demokratis, transparan, dan akuntabel. Barulah kemudian langkah
kelima manajemen sekolah bersama-sama komunitas sekolah menyiapkan seluruh
dokumen perencanaan budget tersebut ke dinas pendidikan setempat untuk
mendapat pengesahan dan pembahasan sehingga pada akhirnya kebutuhan dana
tersebut disediakan secara bersama-sama, baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Kekuatan ZBB terlihat justru pada akurasi data
yang valid, tinimbang bentuk distribusi anggaran kita saat ini yang hanya
mengandalkan basis data berdasarkan tradisi line-item budgeting . Selain itu
proses perencanaan penganggaran ala ZBB juga akan menjadikan masyarakat
sekolah cerdas dalam menentukan kebutuhan anak didik mereka secara bertahap
dan tepat guna.
Satu-satunya kelemahan distribusi anggaran
dengan menggunakan ZBB ialah bagaimana kita melakukan exercise dan penataan masyarakat sekolah agar lebih peduli pada
kualitas sekolah mereka masing-masing.
Karena itu, ada baiknya jika anggaran 20% yang
telah disediakan pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran
serta masyarakat di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih
komunitas sekolah mendesain perencanaan pembiayaan sekolah mereka
masing-masing. Distribusi anggaran pendidikan kita jangan sampai terjerumus
ke dalam persoalan yang tak pernah habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang
rawan korupsi dan manipulasi. Hal itu tentu saja tidak mendidik masyarakat
untuk menjadi lebih mandiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar