Senin, 08 Februari 2016

Ketika Konstitusi Diabaikan Negara

Ketika Konstitusi Diabaikan Negara

Feri Amsari  ;   Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
                                               KORAN SINDO, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekuasaan negara kerap membuat penyelenggaranya lupa diri. Ujungnya, tindakan penyimpangan kewenangan terus dilakukan penyelenggara negara dan/atau lembaga negara.

Sekalipun kewenangan itu telah dibatasi oleh konstitusi, penyelenggara negara dan/atau lembaga negara sulit menghindar dari melakukan dosa besar ketatanegaraan yaitu mengabaikan kehendak konstitusi. Pengabaian terhadap kehendak konstitusi itu setidaknya tergambar dalam peluncuran Barometer Mala-Konstitusi (BMK) 2015 oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) yang mengukur seberapa banyak pengabaian terhadap UUD 1945 telah dilakukan lembaga negara dan/atau penyelenggara negara sepanjang satu tahun yang telah berlalu.

Hasilnya mengejutkan, dari 387 kasus, ternyata pengabaian terhadap amanah konstitusi terbesar dilakukan pemerintah dan pemerintahan daerah. Pemerintah (presiden, menteri, dan lembaga setingkat menteri) telah melakukan 214 tindakan yang mengabaikan amanah UUD 1945. Sedangkan pemerintah daerah mengabaikan UUD 1945 sebanyak 116 perbuatan.

Berturut-turut setelah itu pelanggaran dilakukan oleh legislatif (30 kasus), lembaga independen (13 kasus), dan lembaga yudikatif (8 kasus), serta enam kasus pengabaian konstitusi terjadi disebabkan sengketa antarlembaga negara. Pengabaian terhadap konstitusi itu meliputi pasal hak asas manusia, hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.

Eksekutif (pemerintah) merupakan pelaku utama yang melakukan pengabaian terhadap pasal-pasal UUD 1945. Hal itu disebabkan pemerintah memang memiliki tugas untuk melaksanakan kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dalam pelanggaran hak asasi manusia, pemerintah kerap mengabaikan hak-hak konstitusional yang termaktub dalam UUD 1945 seperti hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang layak, air bersih, permukiman yang patut, pekerjaan, dan pendidikan.

Kasus bencana asap yang menimpa sebagian Indonesia pada 2015 merupakan pelanggaran konstitusi paling terbuka karena kelalaian pemerintah yang menghasilkan banyak korban. Tidak berbeda jauh dengan pengabaian konstitusi yang dilakukan pemerintah pusat, pengabaian konstitusi oleh pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD) meliputi hak-hak konstitusional warga yang berkaitan dengan buruknya fasilitas kesehatan, lingkungan yang tidak tertata sehingga menyebabkan banjir, hingga keterlambatan pencairan gaji pegawai.

Pengabaian hak warga semacam itu terjadi dari daerah yang tertinggal di Papua hingga kota besar seperti Jakarta. Pengabaian hak-hak konstitusional warga itu tentu merupakan tindakan yang mencoreng kesakralan pasal-pasal UUD 1945. Pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya bahumembahu menjalankan amanat konstitusi tanpa terkecuali.

Jika warga kota besar dapat menikmati ketersediaan air bersih, kenapa warga yang tinggal di daerah-daerah terpencil atau miskin kesulitan menikmati ketersediaan air bersih? Pengabaian pasal-pasal UUD 1945 itu, sayangnya, tidak pernah serius untuk dibenahi. Padahal, sebagai the supreme law of the land, konstitusi harus ditaati.

Angka Kecil, Masalah Besar

Meski tidak sebanyak pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengabaian terhadap konstitusi, lembaga legislatif (DPR dan DPD), lembaga independen (KPK, KPU, Bawaslu, BPK, LSI, dan lain-lain), lembaga yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) memiliki ”cacat serius” dalam melakukan pengabaian pasal-pasalUUD1945.

Pengabaian konstitusi yang dilakukan setiap lembaga tersebut dapat berdampak luas bagi rakyat Indonesia. Misalnya, ketika DPR dan DPD gagal membuat undang- undang yang mampu melindungi hak warga dan lebih mengutamakan UU untuk kepentingan partai atau kepentingan bisnis, UU dari lembaga legislatif itu akan dirasakan oleh 200-an juta penduduk Indonesia.

Hal yang sama juga berlaku bagi lembaga yudikatif. Meski terkesan tidak banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945, apabila hakim salah melakukan ”ketukan palu keadilannya”, dampak ketidakadilan tersebut akan dirasakan oleh banyak pencari keadilan, bahkan dalam kasus tertentu akan berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia.

Contoh kasus paling menarik pelanggaran konstitusi lembaga yudikatif adalah perbedaan putusan Mahkamah Agung (MA) dengan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal peninjauan kembali (PK) perkara. Menurut MK, PK bagi masyarakat yang mencari keadilan dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA, PK hanya boleh dilakukan sekali. Akibat perbedaan itu, masyarakat pencari keadilan akan bingung melihat ketidakpastian hukum.

Di satu sisi putusan MK adalah final dan mengikat (binding ) bagi siapa pun, namun jika hendak beperkara mengajukan PK, persidangannya akan dilaksanakan di MA. Bencana konstitusional perlindungan kepastian hukum (Pasal 28D UUD 1945) itu disebabkan MK tidak memahami substansi kewenangan MA.

Sebaliknya, MA juga tidak memahami sifat putusan MK. Padahal, pada dua puncak kekuasaan kehakiman itu telah bernaung ”para resi ilmu hukum” Tanah Air. Kondisi pengabaian konstitusi yang sama juga terjadi pada lembaga independen. Kerap antara lembaga independen tidak mampu bekerja sama dan terkesan hanya mengutamakan ”ego” kelembagaan.

Contoh kasus yang menarik adalah laporan hasil pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diberikan pada lembaga penegak hukum (termasuk KPK dan Polri) ternyata tidak maksimal dimanfaatkan agar praktik-praktik pencucian uang dipidanakan. Akibat itu, ”keringat” PPATK menjadi sia-sia.

Lembaga independen lain yang juga kerap bermasalah menjalankan fungsi konstitusionalnya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penyelenggara pemilu, KPU kadangkala terjebak ketidakprofesionalan anggotanya. Dalam kasus KPU Kabupaten Sarmi, Papua, yang tidak kunjung melantik anggota DPRD ketika batas waktu pelantikan kedaluwarsa pada dasarnya telah mengabaikan kehendak demokrasi yang diinginkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Meski tindakan itu tak banyak terjadi, dampaknya adalah kerusakan demokrasi yang luas. Tindakan lembagalembaga negara dan/atau penyelenggara negara mungkin saja berjumlah kecil, namun berdampak besar bagi negara karena kealpaan dalam menaati UUD 1945. Itu sebabnya, lembaga legislatif, lembaga independen, dan lembaga yudikatif harus lebih berhati-hati dan melandasi seluruh tindakannya berdasarkan konstitusi.

Melindungi UUD 1945

Melihat pengabaian konstitusi oleh lembaga negara dan/ atau penyelenggara negara sepanjang 2015 yang cukup tinggi itu, perlu kiranya dilakukan refleksi menyeluruh agar pengabaian terhadap UUD 1945 tidak kembali terulang. Misalnya, dengan memberikan peran nonyustisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengingatkan pada lembaga-lembaga negara lain agar menghormati UUD 1945.

Hal itu sejalan dengan fungsi kelembagaan MK sebagai the guardian of the constitution melalui kewenangan pengujian undang-undang. Peran baru MK itu tidak harus melalui perubahan UUD 1945. Cukup dengan menerapkan kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan sebagai reminder bagi setiap pengabaian atau potensi pengabaian UUD 1945 yang mungkin dilakukan lembaga negara dan/atau penyelenggara negara lainnya.

Peran menjaga konstitusi itu dapat pula diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang saat ini berharap diberikan kewenangan baru. MPR yang membentuk UUD 1945 dapat mengingatkan setiap tindakan lembaga negara dan/atau penyelenggara negara yang tindakannya tidak sesuai niat asli pembentukan (original intent) UUD 1945.

Teguran MPR tersebut akan lebih sahih jika disertai penjelasan pasal-pasal mana saja yang telah dilanggar dan apa tujuan asli dari pembentukan pasal-pasal UUD 1945 tersebut sesungguhnya. Dua tawaran itu menjadi hal yang penting bagi Indonesia untuk melindungi UUD 1945 pada masa depan.

Perlindungan UUD 1945 adalah penting karena– meminjam adagium Lord Acton–para pemegang kekuasaan cenderung akan menyimpangkan kewenangannya dan perbuatan menyucikan penyimpangan tersebut adalah bidah (berkonstitusi–pen) yang paling buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar