Ketika Konstitusi Diabaikan Negara
Feri Amsari ; Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KORAN SINDO, 06
Februari 2016
Kekuasaan negara kerap
membuat penyelenggaranya lupa diri. Ujungnya, tindakan penyimpangan
kewenangan terus dilakukan penyelenggara negara dan/atau lembaga negara.
Sekalipun kewenangan
itu telah dibatasi oleh konstitusi, penyelenggara negara dan/atau lembaga
negara sulit menghindar dari melakukan dosa besar ketatanegaraan yaitu
mengabaikan kehendak konstitusi. Pengabaian terhadap kehendak konstitusi itu
setidaknya tergambar dalam peluncuran Barometer Mala-Konstitusi (BMK) 2015
oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) yang mengukur seberapa banyak pengabaian
terhadap UUD 1945 telah dilakukan lembaga negara dan/atau penyelenggara
negara sepanjang satu tahun yang telah berlalu.
Hasilnya mengejutkan,
dari 387 kasus, ternyata pengabaian terhadap amanah konstitusi terbesar
dilakukan pemerintah dan pemerintahan daerah. Pemerintah (presiden, menteri,
dan lembaga setingkat menteri) telah melakukan 214 tindakan yang mengabaikan
amanah UUD 1945. Sedangkan pemerintah daerah mengabaikan UUD 1945 sebanyak
116 perbuatan.
Berturut-turut setelah
itu pelanggaran dilakukan oleh legislatif (30 kasus), lembaga independen (13
kasus), dan lembaga yudikatif (8 kasus), serta enam kasus pengabaian
konstitusi terjadi disebabkan sengketa antarlembaga negara. Pengabaian
terhadap konstitusi itu meliputi pasal hak asas manusia, hukum, sosial,
ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.
Eksekutif (pemerintah)
merupakan pelaku utama yang melakukan pengabaian terhadap pasal-pasal UUD
1945. Hal itu disebabkan pemerintah memang memiliki tugas untuk melaksanakan
kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dalam pelanggaran hak
asasi manusia, pemerintah kerap mengabaikan hak-hak konstitusional yang
termaktub dalam UUD 1945 seperti hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
layak, air bersih, permukiman yang patut, pekerjaan, dan pendidikan.
Kasus bencana asap
yang menimpa sebagian Indonesia pada 2015 merupakan pelanggaran konstitusi
paling terbuka karena kelalaian pemerintah yang menghasilkan banyak korban.
Tidak berbeda jauh dengan pengabaian konstitusi yang dilakukan pemerintah
pusat, pengabaian konstitusi oleh pemerintahan daerah (kepala daerah dan
DPRD) meliputi hak-hak konstitusional warga yang berkaitan dengan buruknya
fasilitas kesehatan, lingkungan yang tidak tertata sehingga menyebabkan
banjir, hingga keterlambatan pencairan gaji pegawai.
Pengabaian hak warga
semacam itu terjadi dari daerah yang tertinggal di Papua hingga kota besar
seperti Jakarta. Pengabaian hak-hak konstitusional warga itu tentu merupakan
tindakan yang mencoreng kesakralan pasal-pasal UUD 1945. Pemerintah dan
pemerintah daerah seharusnya bahumembahu menjalankan amanat konstitusi tanpa
terkecuali.
Jika warga kota besar
dapat menikmati ketersediaan air bersih, kenapa warga yang tinggal di
daerah-daerah terpencil atau miskin kesulitan menikmati ketersediaan air
bersih? Pengabaian pasal-pasal UUD 1945 itu, sayangnya, tidak pernah serius
untuk dibenahi. Padahal, sebagai the
supreme law of the land, konstitusi harus ditaati.
Angka Kecil, Masalah Besar
Meski tidak sebanyak
pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengabaian terhadap
konstitusi, lembaga legislatif (DPR dan DPD), lembaga independen (KPK, KPU,
Bawaslu, BPK, LSI, dan lain-lain), lembaga yudikatif (Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi) memiliki ”cacat serius” dalam melakukan pengabaian
pasal-pasalUUD1945.
Pengabaian konstitusi
yang dilakukan setiap lembaga tersebut dapat berdampak luas bagi rakyat
Indonesia. Misalnya, ketika DPR dan DPD gagal membuat undang- undang yang
mampu melindungi hak warga dan lebih mengutamakan UU untuk kepentingan partai
atau kepentingan bisnis, UU dari lembaga legislatif itu akan dirasakan oleh
200-an juta penduduk Indonesia.
Hal yang sama juga
berlaku bagi lembaga yudikatif. Meski terkesan tidak banyak melakukan
tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945, apabila hakim salah melakukan
”ketukan palu keadilannya”, dampak ketidakadilan tersebut akan dirasakan oleh
banyak pencari keadilan, bahkan dalam kasus tertentu akan berdampak bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Contoh kasus paling
menarik pelanggaran konstitusi lembaga yudikatif adalah perbedaan putusan
Mahkamah Agung (MA) dengan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal peninjauan
kembali (PK) perkara. Menurut MK, PK bagi masyarakat yang mencari keadilan
dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA, PK hanya boleh dilakukan
sekali. Akibat perbedaan itu, masyarakat pencari keadilan akan bingung
melihat ketidakpastian hukum.
Di satu sisi putusan
MK adalah final dan mengikat (binding ) bagi siapa pun, namun jika hendak
beperkara mengajukan PK, persidangannya akan dilaksanakan di MA. Bencana
konstitusional perlindungan kepastian hukum (Pasal 28D UUD 1945) itu
disebabkan MK tidak memahami substansi kewenangan MA.
Sebaliknya, MA juga
tidak memahami sifat putusan MK. Padahal, pada dua puncak kekuasaan kehakiman
itu telah bernaung ”para resi ilmu hukum” Tanah Air. Kondisi pengabaian
konstitusi yang sama juga terjadi pada lembaga independen. Kerap antara
lembaga independen tidak mampu bekerja sama dan terkesan hanya mengutamakan
”ego” kelembagaan.
Contoh kasus yang
menarik adalah laporan hasil pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) yang diberikan pada lembaga penegak hukum
(termasuk KPK dan Polri) ternyata tidak maksimal dimanfaatkan agar praktik-praktik
pencucian uang dipidanakan. Akibat itu, ”keringat” PPATK menjadi sia-sia.
Lembaga independen
lain yang juga kerap bermasalah menjalankan fungsi konstitusionalnya adalah
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penyelenggara pemilu, KPU kadangkala
terjebak ketidakprofesionalan anggotanya. Dalam kasus KPU Kabupaten Sarmi,
Papua, yang tidak kunjung melantik anggota DPRD ketika batas waktu pelantikan
kedaluwarsa pada dasarnya telah mengabaikan kehendak demokrasi yang
diinginkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Meski tindakan itu tak
banyak terjadi, dampaknya adalah kerusakan demokrasi yang luas. Tindakan
lembagalembaga negara dan/atau penyelenggara negara mungkin saja berjumlah
kecil, namun berdampak besar bagi negara karena kealpaan dalam menaati UUD
1945. Itu sebabnya, lembaga legislatif, lembaga independen, dan lembaga
yudikatif harus lebih berhati-hati dan melandasi seluruh tindakannya
berdasarkan konstitusi.
Melindungi UUD 1945
Melihat pengabaian
konstitusi oleh lembaga negara dan/ atau penyelenggara negara sepanjang 2015
yang cukup tinggi itu, perlu kiranya dilakukan refleksi menyeluruh agar
pengabaian terhadap UUD 1945 tidak kembali terulang. Misalnya, dengan
memberikan peran nonyustisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengingatkan
pada lembaga-lembaga negara lain agar menghormati UUD 1945.
Hal itu sejalan dengan
fungsi kelembagaan MK sebagai the
guardian of the constitution melalui kewenangan pengujian undang-undang.
Peran baru MK itu tidak harus melalui perubahan UUD 1945. Cukup dengan
menerapkan kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan sebagai reminder bagi setiap
pengabaian atau potensi pengabaian UUD 1945 yang mungkin dilakukan lembaga
negara dan/atau penyelenggara negara lainnya.
Peran menjaga
konstitusi itu dapat pula diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang saat ini berharap diberikan kewenangan baru. MPR yang membentuk
UUD 1945 dapat mengingatkan setiap tindakan lembaga negara dan/atau
penyelenggara negara yang tindakannya tidak sesuai niat asli pembentukan (original intent) UUD 1945.
Teguran MPR tersebut
akan lebih sahih jika disertai penjelasan pasal-pasal mana saja yang telah
dilanggar dan apa tujuan asli dari pembentukan pasal-pasal UUD 1945 tersebut
sesungguhnya. Dua tawaran itu menjadi hal yang penting bagi Indonesia untuk
melindungi UUD 1945 pada masa depan.
Perlindungan UUD 1945
adalah penting karena– meminjam adagium Lord Acton–para pemegang kekuasaan
cenderung akan menyimpangkan kewenangannya dan perbuatan menyucikan
penyimpangan tersebut adalah bidah (berkonstitusi–pen) yang paling buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar