Fatamorgana Penguatan KPK
Aradila Caesar Ifmaini Idris ; Peneliti Hukum ICW
|
KORAN SINDO, 06
Februari 2016
Usulan revisi Undang-
Undang KPK (UU KPK) kembali bergulir ke permukaan, setelah pada 2015 rencana
merevisi UU KPK berkalikali mendapat tentangan dari publik. Kini tampaknya
pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk merevisi UU KPK.
Eksekutif dan legislatif
mendalilkan bahwa revisi UU KPK merupakan upaya penguatan kelembagaan KPK.
Namun, benarkah demikian? Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan
menguliti dua aspek penting guna melihat arah revisi UU KPK secara
komprehensif.
Dalam hal ini adalah
aspek substantif serta aspek politik dan kebijakan. Secara umum substansi
perubahan UU KPK difokuskan ke dalam tiga isu utama yaitu pembentukan dewan
pengawas, penyelidik dan penyidik KPK, serta kewenangan penyadapan.
Pembentukan dewan pengawas berangkat dari pandangan bahwa kepemimpinan KPK
Jilid IV menyimpan banyak persoalan.
Dengan begitu,
pembentukan dewan ini dianggap sebagai solusi untuk meminimalisasi persoalan
yang akan timbul ke depan. Secara sederhana dewan pengawas dimaksudkan untuk
menjaga KPK tetap on the track dan KPK tidak disalahgunakan. Sayangnya,
konstruksi pembentukan dewan pengawas dalam RUU KPK menimbulkan persoalan
mendasar.
RUU memberikan
keleluasaan bagi Presiden untuk memilih dan mengangkat anggota dewan
pengawas. Meski dalam pengangkatan dan pemilihannya harus memenuhi kriteria
syarat yang ditentukan, prosesnya sepenuhnya hak Presiden. Keleluasaan itu
dibarengi dengan kewenangan atau fungsi dewan pengawas yang sangat besar.
Misalnya
kewenangandewan pengawas mengevaluasi kinerja komisioner KPK. Evaluasi
dilakukan bukan terhadap kelembagaan, melainkan personal pimpinan KPK.
Konstruksi logika yang demikian membangun pemahaman bahwa dewan pengawas
lebih superior dibandingkan pimpinan KPK. Kontrol terhadap kerja KPK rasanya
cukup dilakukan melalui tiga mekanisme.
Pertama , internal
personal, artinya kontrol terhadap KPK sudah dilakukan sejak proses seleksi.
Memperketat pemilihan di parlemen menjadi kunci KPK tidak dipimpin figur yang
bermasalah. Kedua , internal kelembagaan, artinya pengawasan internal KPK
diperkuat. Ketiga , pengawasan eksternal melalui lembaga pengawasan seperti
BPK atau parlemen.
Pemerintah juga dapat
mengawasi kewenangan penyadapan KPK melalui Kementerian Komunikasi dan
Informasi dengan mengaudit penyadapan KPK sehingga keberadaan dewan pengawas
belum diperlukan saat ini. Selain itu, kewenangan yang besar juga diberikan
dalam konteks penyadapan.
Selain harus meminta
izin dewan pengawas sebelum melakukan penyadapan, penyidik KPK juga harus
mempertanggungjawabkan operasi penyadapan tidak hanya kepada komisioner KPK,
tetapi juga kepada dewan pengawas. Dengan konstruksi tersebut, bisa
dipastikanbahwakeberadaandewan pengawas adalah bentuk intervensi eksekutif
terhadap komisi independen tersebut.
Dalam konteks keberadaan
penyelidik dan penyidik, RUU KPK secara langsung menampakkan wujud pelemahan
KPK. RUU KPK mencoba menciptakan ketergantungan bagi KPK kepada kepolisian
dengan membatasi keberadaan penyelidik dan penyidik. Penyelidik dan penyidik
KPK merupakan anggota kepolisian yang diperbantukan di KPK.
Ketentuan ini menutup
peluang KPK merekrut penyelidik dan penyidik secara mandiri. Menurut John ST
Quah, salah satu elemen kesuksesan lembaga antikorupsi adalah independen dari
pengaruh kepolisian. Penyidik dan penyelidik harus berasal dari kepolisian
akan menjadi salah satu ganjalan kesuksesan KPK dalam memberantas korupsi.
Aspek Politik dan Kebijakan
Perlu diingat, revisi
UU KPK juga tidak boleh mengabaikan latar belakang politis yang berkembang.
Amat naif rasanya jika melihat persoalan ini dengan kacamata kuda. Jika
menggunakan perspektif historis, tampak bahwa upaya revisi UU KPK sejak
dahulu memang diarahkan untuk perlahan mengamputasi kewenangan KPK.
Jika berkaca pada
2015, usulan revisi UU KPK dimaksudkan untuk membatasi usia KPK menjadi 12
tahun. Pada 2012 parlemen bahkan berupaya merevisi dengan menghilangkan
kewenangan penuntutan, membatasi penyadapan, dan menaikkan nominal kerugian
negara yang ditangani KPK menjadi Rp 5 miliar.
Bila dilihat dalam
perspektif motif, patut diduga upaya pelemahan KPK tidak terlepas dari rapor
KPK dalam menjerat kader partai politik, anggota parlemen, bahkan presiden
partai sekalipun. Maka itu, sah saja jika publik menilai revisi UU KPK tidak
bisa dilepaskan dari konteks kepentingan politis.
Kondisi tersebut
diperkuat dengan kenyataan bahwa RUU KPK tidak disertai dengan naskah
akademik. Padahal, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan ada naskah akademik.
Tanpa ada kajian yang sistematik dan kompleks terhadap kelembagaan KPK, patut
dicurigai revisi UU KPK hanya siasat memperlemah KPK.
Selain itu, dalih
revisi UU KPK untuk memperkuat pemberantasan korupsi juga dapat dengan mudah
dipatahkan. Jika pemerintah dan DPR memang ingin memperkuat rezim
pemberantasan korupsi, rasanya yang paling tepat adalah memperkuat pengawasan
kepolisian dan kejaksaan.
Mengapa? Pertama, KPK
lahir sebagai trigger mechanism , yang memacu kejaksaan dan kepolisian untuk
optimal melakukan kerja pemberantasan korupsi. Kedua, kepolisian dan
kejaksaan merupakan aktor utama dalam penegakan hukum korupsi. Baik dari segi
jumlah perkara yang ditangani atau resources yang di-miliki lembaga.
Maka itu, sesungguhnya
episentrum penegakan hukum tindak pidana korupsi ada di pundak kepolisian dan
kejaksaan. Karena itu, segala kebijakan termasuk pembaharuan regulasi
haruslah memprioritaskan upaya perbaikan kinerja kepolisian dan kejaksaan
dalam pemberantasan korupsi serta memperkuat lembaga pengawas dua institusi
tersebut. Akhirnya apa yang pemerintah dan DPR akui sebagai penguatan KPK
nyatanya hanya fatamorgana bagi pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar