Senin, 08 Februari 2016

Fatamorgana Penguatan KPK

Fatamorgana Penguatan KPK

Aradila Caesar Ifmaini Idris  ;   Peneliti Hukum ICW
                                               KORAN SINDO, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Usulan revisi Undang- Undang KPK (UU KPK) kembali bergulir ke permukaan, setelah pada 2015 rencana merevisi UU KPK berkalikali mendapat tentangan dari publik. Kini tampaknya pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk merevisi UU KPK.

Eksekutif dan legislatif mendalilkan bahwa revisi UU KPK merupakan upaya penguatan kelembagaan KPK. Namun, benarkah demikian? Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan menguliti dua aspek penting guna melihat arah revisi UU KPK secara komprehensif.

Dalam hal ini adalah aspek substantif serta aspek politik dan kebijakan. Secara umum substansi perubahan UU KPK difokuskan ke dalam tiga isu utama yaitu pembentukan dewan pengawas, penyelidik dan penyidik KPK, serta kewenangan penyadapan. Pembentukan dewan pengawas berangkat dari pandangan bahwa kepemimpinan KPK Jilid IV menyimpan banyak persoalan.

Dengan begitu, pembentukan dewan ini dianggap sebagai solusi untuk meminimalisasi persoalan yang akan timbul ke depan. Secara sederhana dewan pengawas dimaksudkan untuk menjaga KPK tetap on the track dan KPK tidak disalahgunakan. Sayangnya, konstruksi pembentukan dewan pengawas dalam RUU KPK menimbulkan persoalan mendasar.

RUU memberikan keleluasaan bagi Presiden untuk memilih dan mengangkat anggota dewan pengawas. Meski dalam pengangkatan dan pemilihannya harus memenuhi kriteria syarat yang ditentukan, prosesnya sepenuhnya hak Presiden. Keleluasaan itu dibarengi dengan kewenangan atau fungsi dewan pengawas yang sangat besar.

Misalnya kewenangandewan pengawas mengevaluasi kinerja komisioner KPK. Evaluasi dilakukan bukan terhadap kelembagaan, melainkan personal pimpinan KPK. Konstruksi logika yang demikian membangun pemahaman bahwa dewan pengawas lebih superior dibandingkan pimpinan KPK. Kontrol terhadap kerja KPK rasanya cukup dilakukan melalui tiga mekanisme.

Pertama , internal personal, artinya kontrol terhadap KPK sudah dilakukan sejak proses seleksi. Memperketat pemilihan di parlemen menjadi kunci KPK tidak dipimpin figur yang bermasalah. Kedua , internal kelembagaan, artinya pengawasan internal KPK diperkuat. Ketiga , pengawasan eksternal melalui lembaga pengawasan seperti BPK atau parlemen.

Pemerintah juga dapat mengawasi kewenangan penyadapan KPK melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi dengan mengaudit penyadapan KPK sehingga keberadaan dewan pengawas belum diperlukan saat ini. Selain itu, kewenangan yang besar juga diberikan dalam konteks penyadapan.

Selain harus meminta izin dewan pengawas sebelum melakukan penyadapan, penyidik KPK juga harus mempertanggungjawabkan operasi penyadapan tidak hanya kepada komisioner KPK, tetapi juga kepada dewan pengawas. Dengan konstruksi tersebut, bisa dipastikanbahwakeberadaandewan pengawas adalah bentuk intervensi eksekutif terhadap komisi independen tersebut.

Dalam konteks keberadaan penyelidik dan penyidik, RUU KPK secara langsung menampakkan wujud pelemahan KPK. RUU KPK mencoba menciptakan ketergantungan bagi KPK kepada kepolisian dengan membatasi keberadaan penyelidik dan penyidik. Penyelidik dan penyidik KPK merupakan anggota kepolisian yang diperbantukan di KPK.

Ketentuan ini menutup peluang KPK merekrut penyelidik dan penyidik secara mandiri. Menurut John ST Quah, salah satu elemen kesuksesan lembaga antikorupsi adalah independen dari pengaruh kepolisian. Penyidik dan penyelidik harus berasal dari kepolisian akan menjadi salah satu ganjalan kesuksesan KPK dalam memberantas korupsi.

Aspek Politik dan Kebijakan

Perlu diingat, revisi UU KPK juga tidak boleh mengabaikan latar belakang politis yang berkembang. Amat naif rasanya jika melihat persoalan ini dengan kacamata kuda. Jika menggunakan perspektif historis, tampak bahwa upaya revisi UU KPK sejak dahulu memang diarahkan untuk perlahan mengamputasi kewenangan KPK.

Jika berkaca pada 2015, usulan revisi UU KPK dimaksudkan untuk membatasi usia KPK menjadi 12 tahun. Pada 2012 parlemen bahkan berupaya merevisi dengan menghilangkan kewenangan penuntutan, membatasi penyadapan, dan menaikkan nominal kerugian negara yang ditangani KPK menjadi Rp 5 miliar.

Bila dilihat dalam perspektif motif, patut diduga upaya pelemahan KPK tidak terlepas dari rapor KPK dalam menjerat kader partai politik, anggota parlemen, bahkan presiden partai sekalipun. Maka itu, sah saja jika publik menilai revisi UU KPK tidak bisa dilepaskan dari konteks kepentingan politis.

Kondisi tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa RUU KPK tidak disertai dengan naskah akademik. Padahal, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan ada naskah akademik. Tanpa ada kajian yang sistematik dan kompleks terhadap kelembagaan KPK, patut dicurigai revisi UU KPK hanya siasat memperlemah KPK.

Selain itu, dalih revisi UU KPK untuk memperkuat pemberantasan korupsi juga dapat dengan mudah dipatahkan. Jika pemerintah dan DPR memang ingin memperkuat rezim pemberantasan korupsi, rasanya yang paling tepat adalah memperkuat pengawasan kepolisian dan kejaksaan.

Mengapa? Pertama, KPK lahir sebagai trigger mechanism , yang memacu kejaksaan dan kepolisian untuk optimal melakukan kerja pemberantasan korupsi. Kedua, kepolisian dan kejaksaan merupakan aktor utama dalam penegakan hukum korupsi. Baik dari segi jumlah perkara yang ditangani atau resources yang di-miliki lembaga.

Maka itu, sesungguhnya episentrum penegakan hukum tindak pidana korupsi ada di pundak kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, segala kebijakan termasuk pembaharuan regulasi haruslah memprioritaskan upaya perbaikan kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi serta memperkuat lembaga pengawas dua institusi tersebut. Akhirnya apa yang pemerintah dan DPR akui sebagai penguatan KPK nyatanya hanya fatamorgana bagi pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar