Mengurai Kartel Pangan
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 01
Februari 2016
Harga pangan pokok
yang melambung selama 2015 tentu berimplikasi langsung terhadap anjloknya
daya beli masyarakat. Oleh karena itu, kendati inflasi umum sangat rendah,
hanya 3,35 persen, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh kurang dari 5 persen.
Inflasi bahan makanan dan makanan jadi masing-masing 4,93 persen dan 6,42
persen.
Perkembangan
terakhir yang cukup mencengangkan, kenaikan harga pangan dapat dikatakan
sudah tidak normal lagi. Kenaikan harga tidak lagi semata-mata dipicu faktor
pasokan dan permintaan atau faktor musiman, seperti hari raya atau tahun
baru. Buktinya, harga tetap melonjak, bahkan ketika terjadi musim panen.
Harga juga tetap naik meskipun hari raya sudah usai dan perayaan tahun baru
pun sudah lewat.
Penyebab gejolak
pangan sangat kompleks, baik kontribusi di sisi hulu maupun hilir. Namun,
penyebab paling krusial adalah peningkatan sisi produksi yang lemah dan tata
niaga yang karut-marut. Tata niaga pangan di Indonesia hampir semuanya
diserahkan pada mekanisme pasar. Namun, ironisnya, disparitas harga
internasional dengan harga domestik sangat tinggi.
Selama 2015,
berbagai harga komoditas di pasar global jatuh, tak terkecuali harga pangan.
Akan tetapi, harga pangan di Indonesia justru melambung tinggi. Harga beras
di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain,
seperti Filipina, Tiongkok, Kamboja, India, Thailand, dan Vietnam. Harga beras medium
naik 13 persen pada Januari 2015-Januari 2016.
Kenaikan harga pangan
yang terus terjadi setiap tahun tentu tidak terlepas dari kebijakan penetapan
harga dasar yang selalu naik setiap tahun. Kebijakan ini sedianya untuk melindungi
harga di tingkat petani. Persoalannya, petani tidak mendapatkan keuntungan
meskipun harga dasar gabah selalu dinaikkan.
Kendati Bulog masih
diberi amanah untuk melakukan fungsi public service obligation (PSO) untuk
menyerap gabah dari petani dengan harga dasar, hampir dipastikan Bulog hanya
akan mendapatkan gabah kering giling dari pedagang pengepul. Dengan luas
panen yang kecil dan kesulitan mendapatkan tenaga kerja saat panen, petani
tidak mempunyai alternatif lain selain menjual padi di sawah kepada pedagang
pengepul atau pedagang penebas.
Posisi tawar petani
yang rendah membuat disparitas harga di level petani dan konsumen sangat
tinggi. Artinya, berapa pun kenaikan harga dasar, yang menikmati adalah
pedagang, terutama pedagang besar. Petani ikut terpukul karena petani juga
sebagai konsumen.
Dengan kondisi ini, meskipun Menteri
Pertanian mengklaim Indonesia surplus produksi beras benar adanya, tetap saja
tidak mampu menjamin stabilitas harga beras. Pasalnya, penguasaan pasokan ada
di tangan pedagang besar, bahkan pengadaan Bulog tidak mampu merealisasikan
pemenuhan kebutuhan cadangan minimal. Bulog pun tak mampu menjalankan peran
sebagai badan penyangga stok yang dapat digunakan sebagai instrumen
stabilisasi harga.
Di tengah kemelut
seperti ini, politisasi impor beras terus berlangsung. Ketiadaan akurasi data
produksi dan konsumsi menyebabkan keputusan impor beras simpang siur.
Ditambah lagi, meskipun Bulog melakukan operasi pasar, hal itu tetap tidak
mampu menstabilkan harga. Operasi pasar Bulog hanya dilakukan di level
pedagang besar, tidak langsung ke pedagang pengecer. Dengan demikian, sering
kali operasi pasar Bulog bias sehingga justru menambah penguasaan pasokan
pedagang besar.
Dalam kasus yang lain,
jika ditelusuri lebih detail, salah satu faktor pemicu fluktuasi harga pangan
adalah kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan pemerintah yang bersifat parsial
dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan justru memicu praktik-praktik
pemburu rente ekonomi dan kartel pangan tumbuh subur.
Hal ini dapat
dikonfirmasi dari kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Berawal dari kebijakan pemberian kuota
impor daging sapi, kedelai, dan bawang putih, akhirnya memicu penguasaan
pasokan dominan yang memberi peluang praktik kartel. Persekongkolan tersebut
akhirnya memicu terjadinya gejolak harga.
Demikian juga gejolak
harga daging ayam. Kebijakan pembebasan investasi asing membuat integrasi
vertikal yang dipicu ketergantungan pakan impor. Banyak peternakan rakyat gulung
tikar. Harga daging ayam pun melambung tiap tahun, dari Rp 29.000 per
kilogram pada 2013 menjadi Rp 30.000 per kilogram pada 2014, dan Rp 34.200
pada Januari 2016. Yang lebih parah, di tengah kondisi tersebut, pemerintah
justru menutup pintu impor jagung.
Dari berbagai kasus
kebijakan yang diterapkan pada komoditas pangan itu, sekilas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah hanya seolah-olah ditujukan untuk
melindungi produk pangan dalam negeri. Namun, kenyataannya, berbagai
kebijakan tersebut justru menumbuhsuburkan praktik-praktik persaingan tidak
sehat.
Akibatnya, kenaikan
harga komoditas pertanian tidak pernah memberikan insentif ekonomi bagi
petani, bahkan pada akhirnya justru melanggengkan ketergantungan terhadap
impor pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar