Bermacam Pisau untuk Indonesia
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan; Sastrawan
|
KOMPAS, 02
Februari 2016
Di negeri ini
peradaban rentan robek setiap saat. Para perobek peradaban bisa pengutil duit
negara, pemburu rente politik/kekuasaan, penjual regulasi, pemasok narkoba,
pedagang kedangkalan di televisi,
pengecer pasal-pasal hukum, para komprador,
hingga mereka yang suka mereproduksi kekerasan demi memaksakan egoisme
kebenarannya secara radikal.
Peradaban dapat dimaknai
sebagai proses pembentukan dan pencapaian kebudayaan suatu bangsa baik secara
tangible maupun intangible. Pelbagai
penyimpangan etik, moral, norma, dan hukum
berpotensi besar melukai kebudayaan, merobek, dan mencabik-cabik
peradaban. "Kultur" barbar pun menguat. Siapa pun bisa korupsi atau
meledakkan bom setiap waktu.
Kurang kuatnya
penyelenggaraan negara menjadikan Indonesia terlalu seksi untuk dijarah,
disakiti, dibodohi, ditipu,
dikhianati, dilecehkan,
diperas, dieksploitasi, dan
dikomodifikasi baik dengan cara
kasar, brutal, maupun elegan alias kejam, tetapi santun. Indonesia
juga terlalu indah dan merangsang untuk dilucuti, dijebol, dibongkar, dan
dibentuk sesuai dengan impian, selera, citraan, dan ideologi para ideolog,
demagog, juragan politik, dan pedagang.
Setiap hari
berlangsung tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi, agama, budaya, hingga
Indonesia benar-benar babak belur. Para pemburu kepentingan sibuk mengolah
ide, cerita, narasi-narasi ideologis, dan impian- impian besar untuk menjadikan
Indonesia persis seperti yang dicita-citakan.
"Kepala"
sang Indonesia diberi aksesoris-aksesoris penanda primordialitas tertentu.
"Tubuh" sang Indonesia pun diberi rumbai-rumbai yang kainnya
dipintal dari pelbagai klaim ideologis dan kepentingan. Pihak-pihak lainnya
melakukan make-over hingga sang Indonesia tampak menor, seksi, dan layak dipajang di etalase hedonisme.
Indonesia meronta.
Menjerit. Rasa sakitnya telah menembus ke jantung dan ulu hati. Celakanya,
tidak banyak orang peduli. Satu dua memberikan empati melalui pelbagai
imbauan moral. Yang lain lebih memilih asyik dengan urusannya sendiri.
Padahal, sang Indonesia mestinya sudah dirawat di ruang emergensi. Yang
datang paling hanya orang yang mengulurkan balsem, vitamin, atau parasetamol ditambah
sebotol (kecil) air mineral.
Atau, datang para
pengolok-olok penderitaan alias para pakar pengolah tragedi jadi komedi
dan juru khotbah yang mengimbau sang
Indonesia harus sabar, bijak, dan cerdas mengambil hikmah dalam setiap
penderitaan. "Hikmah, hikmah, gundulmu!" ujar sang Indonesia dengan
melipat wajah.
Analogi tiga pisau
Luka Indonesia adalah
luka peradaban. Yakni, peradaban yang dirobek-robek anak-anaknya sendiri yang
sangat terlatih mengasah dan memainkan pisau.
Ada jenis pisau yang
tajam mengilat, panjang, dan runcing, gunanya untuk merobek dan mengambil
jantung. Pisau ini lazim dimiliki para koruptor uang dan koruptor
politik/kekuasaan.
Ada jenis pisau lain:
besar dan lebar mirip gobang, gunanya untuk memotong dan membelah daging. Pisau
ini biasanya dipakai para pedagang.
Ada juga pisau besar,
tajam, dan bergigi. Gunanya untuk membelah dan menggergaji kepala. Pisau ini
umum dipakai mereka yang suka memproduksi kekerasan untuk memaksakan ideologi
radikal dan mendesakkan pelbagai agenda demi homogenitas budaya.
Tentu masih banyak
pisau lainnya yang kecil-kecil-juga silet-yang biasa digunakan para petualang
dan makelar politik. Mereka rajin menyayat-nyayat tubuh Indonesia demi
mendapatkan sekucur dua kucur darah.
Di seberang sana para cendekiawan
yang masih betah berumah di angin, gigih berjuang menyelamatkan sang
Indonesia dari "kematian". Mereka mengirimkan makanan, obat-obatan,
vitamin, selimut, termometer, puisi, lagu, dan pelbagai penghiburan. Meskipun
bermakna, perjuangan itu tetap tidak menimbulkan resonansi panjang dan
melahirkan gerakan besar kebudayaan. Mereka lebih memilih suara sunyi, puisi
sepi daripada musik mengentak, atau prosa panjang yang gagah.
Era WS Rendra, Umar
Kayam, Mochtar Lubis, Hariman Siregar, Ashadi Siregar, atau Soe Hok Gie
memang sudah berlalu.
Muncullah generasi
gadget alias pengguna gawai yang lebih soliter daripada solider dan lebih
memilih dunia maya daripada dunia tatap muka. Komunikasi verbal dan visual
serba maya dianggap lebih pas dan menjawab kebutuhan daripada interaksi
langsung di mana orang-orang bisa saling mengenal dan memahami melalui
ekspresi, keringat yang keluar dari
pori-pori, tatapan mata, gerak tangan, intonasi nada, diksi, dan penanda
kehadiran lainnya.
Pertemuan online lebih
cepat menciptakan komunikasi, akan tetapi bersifat permukaan dan kadang
"rapuh". Adapun pertemuan offline jauh lebih total, kukuh, dan
intens. Karena itu, selalu dibutuhkan "kopi darat" untuk mewujudkan
gerakan.
Sebagai pihak yang
terlatih selalu bersyukur, sang Indonesia tetap merasa bahagia karena masih
ada yang membela. Setidaknya tikaman bermacam
pisau pada tubuhnya tidak keterlaluan meskipun tubuhnya sudah telanjur
robek.
Sang Indonesia itu
yakin bahwa dengan caranya sendiri untuk tumbuh dan berkembang, para anak
muda itu akan sampai pada horizon kesadaran yang luas, di mana salah satu
ukuran menemukan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah dengan
menjadi cendekiawan yang terlibat dengan kompleksitas persoalan bangsanya.
Ini sangat berarti
untuk mempertahankan peradaban bangsa yang selalu terancam dikubur oleh para
pemburu keuntungan entah melalui negara, politik, entah pasar, serta pemaksa
keyakinan melalui teror. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar