Senin, 08 Februari 2016

Dinamika Ujian Masuk PTN

Dinamika Ujian Masuk PTN

Tulus Santoso  ;   Tenaga Ahli Anggota Komisi X DPR RI
                                               SUARA KARYA, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mulai Januari lalu sampai beberapa bulan ke depan, pihak sekolah dan kampus disibukkan dengan seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2016/2017. Secara umum, metode seleksi penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan seleksi mandiri.

Meski jalur penerimaan masih sama, namun SNMPTN tahun ini memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa yang berasal dari sekolah-sekolah unggulan. Panitia SNMPTN 2016 menetapkan sekolah dengan akreditasi A dapat mendaftarkan 75 persen siswa terbaik di sekolahnya. Kemudian, sekolah terakreditasi B boleh mendaftarkan 50 persen siswa terbaiknya dan bagi sekolah dengan akreditasi C hanya boleh mendaftarkan 20 persen siswanya. Selanjutnya, sekolah yang akreditasinya di bawah C tetap diberikan kesempatan dan mendapatkan jatah 10 persen siswa terbaik.

Selain persoalan kuota berdasarkan akreditasi sekolah, kuota penerimaan untuk masing-masing jalur juga berbeda. SNMPTN yang pada tahun sebelumnya memiliki porsi 50 persen, SBMPTN 30 persen, dan ujian mandiri 20 persen, kini komposisinya menjadi 40 persen SNMPTN, 30 persen SBMPTN, dan 30 persen ujian mandiri. Padahal, pada tahun 2013, SNMPTN mendapatkan porsi 50-60 persen, SBMPTN 30 persen, dan ujian mandiri hanya 10 persen
(maksimal 20 persen).

Pertanyaannya kemudian, kenapa terjadi pergeseran kuota dari SNMPTN ke ujian mandiri?

Jalur undangan masuk perguruan tinggi ini sejatinya merupakan jalur yang digadang-gadang petinggi PTN sebagai input yang berkualitas bagi kampus dan diharapkan menghasilkan output (lulusan) yang tetap terjaga kualitasnya. Dasar pertimbangan inilah yang kemudian dijadikan rujukan untuk membuka keran penerimaan SNMPTN hingga 60 persen.

Namun, melihat kebijakan baru yang justru mengalihkan kuota dari SNMPTN ke ujian mandiri ketimbang SBMPTN, penulis menduga selain alasan integritas sekolah, ada juga motif ekonomi di balik itu semua. Karena, semakin besar porsi ujian mandiri, maka uang yang didapatkan perguruan tinggi akan lebih besar. Apalagi, dengan melaksanakan ujian mandiri, kampus bisa membuka seluas-luasnya program non-reguler.

Sebagai ilustrasi, biaya pendaftaran SBMPTN tahun ini direncanakan sebesar Rp 200.000. Di Universitas Indonesia (UI), biaya pendaftaran ujian mandiri (SIMAK UI) 2015/2016 sebesar Rp 300.000 dengan tambahan Rp 50.000 bila ingin menambah pilihan program studi. Ujian mandiri inilah yang kemudian membuka ruang untuk menampung program S1 pararel. Di UI, biaya operasional pendidikan (BOP) kelas pararel lebih mahal dibandingkan reguler.

BOP kelas pararel di UI untuk tahun ajaran 2015/2016 paling rendah sebesar Rp 6.500.000 dan tertinggi Rp 10.500.000, sedangkan kelas reguler biayanya mulai dari Rp 5.000.000 sampai Rp 7.500.000. Beruntung bagi mahasiswa kelas reguler karena BOP didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa atau orangtuanya, sedangkan untuk kelas pararel tak ada tawar-menawar.

Bila demikian adanya, lantas apa yang didapat oleh calon mahasiswa baru? Akses terhadap perguruan tinggi tetap belum terbuka lebar. Karena, hanya ada dua golongan yang diuntungkan dari kebijakan ini, yaitu: sekolah unggulan yang menyandang akreditasi A dan golongan ekonomi atas. Sekolah akreditasi A jelas memiliki kemampuan dan kultur akademik yang lebih baik dibandingkan akreditasi di bawahnya, sedangkan golongan ekonomi atas bisa mengakses kelas non-reguler melalui ujian mandiri.

SNMPTN memang harus diperketat agar yang terseleksi benar-benar memiliki rekam akademik yang berkualitas. Adanya pengurangan porsi untuk SNMPTN dan peningkatan kuota bagi sekolah terakreditasi A diharapkan semakin meningkatkan kualitas mahasiswa yang terjaring dari jalur undangan. Namun, demi memberikan akses yang berkeadilan bagi calon mahasiswa, sebaiknya pemotongan porsi jalur SNMPTN dialihkan ke SBMPTN. Sehingga, siapa pun, tanpamemandang status sekolah dan kelas sosialnya dapat memiliki kesempatan yang lebih besar memperebutkan kursi yang tersedia di PTN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar