Dinamika Ujian Masuk PTN
Tulus Santoso ; Tenaga Ahli Anggota Komisi X DPR RI
|
SUARA KARYA, 06
Februari 2016
Mulai Januari lalu
sampai beberapa bulan ke depan, pihak sekolah dan kampus disibukkan dengan
seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2016/2017. Secara umum, metode
seleksi penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih sama
dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN), dan seleksi mandiri.
Meski jalur penerimaan
masih sama, namun SNMPTN tahun ini memberikan kesempatan yang lebih luas
kepada siswa yang berasal dari sekolah-sekolah unggulan. Panitia SNMPTN 2016
menetapkan sekolah dengan akreditasi A dapat mendaftarkan 75 persen siswa
terbaik di sekolahnya. Kemudian, sekolah terakreditasi B boleh mendaftarkan
50 persen siswa terbaiknya dan bagi sekolah dengan akreditasi C hanya boleh
mendaftarkan 20 persen siswanya. Selanjutnya, sekolah yang akreditasinya di
bawah C tetap diberikan kesempatan dan mendapatkan jatah 10 persen siswa
terbaik.
Selain persoalan kuota
berdasarkan akreditasi sekolah, kuota penerimaan untuk masing-masing jalur
juga berbeda. SNMPTN yang pada tahun sebelumnya memiliki porsi 50 persen,
SBMPTN 30 persen, dan ujian mandiri 20 persen, kini komposisinya menjadi 40
persen SNMPTN, 30 persen SBMPTN, dan 30 persen ujian mandiri. Padahal, pada
tahun 2013, SNMPTN mendapatkan porsi 50-60 persen, SBMPTN 30 persen, dan
ujian mandiri hanya 10 persen
(maksimal 20 persen).
Pertanyaannya
kemudian, kenapa terjadi pergeseran kuota dari SNMPTN ke ujian mandiri?
Jalur undangan masuk
perguruan tinggi ini sejatinya merupakan jalur yang digadang-gadang petinggi
PTN sebagai input yang berkualitas bagi kampus dan diharapkan menghasilkan
output (lulusan) yang tetap terjaga kualitasnya. Dasar pertimbangan inilah
yang kemudian dijadikan rujukan untuk membuka keran penerimaan SNMPTN hingga
60 persen.
Namun, melihat
kebijakan baru yang justru mengalihkan kuota dari SNMPTN ke ujian mandiri
ketimbang SBMPTN, penulis menduga selain alasan integritas sekolah, ada juga
motif ekonomi di balik itu semua. Karena, semakin besar porsi ujian mandiri,
maka uang yang didapatkan perguruan tinggi akan lebih besar. Apalagi, dengan
melaksanakan ujian mandiri, kampus bisa membuka seluas-luasnya program
non-reguler.
Sebagai ilustrasi,
biaya pendaftaran SBMPTN tahun ini direncanakan sebesar Rp 200.000. Di
Universitas Indonesia (UI), biaya pendaftaran ujian mandiri (SIMAK UI)
2015/2016 sebesar Rp 300.000 dengan tambahan Rp 50.000 bila ingin menambah
pilihan program studi. Ujian mandiri inilah yang kemudian membuka ruang untuk
menampung program S1 pararel. Di UI, biaya operasional pendidikan (BOP) kelas
pararel lebih mahal dibandingkan reguler.
BOP kelas pararel di
UI untuk tahun ajaran 2015/2016 paling rendah sebesar Rp 6.500.000 dan
tertinggi Rp 10.500.000, sedangkan kelas reguler biayanya mulai dari Rp 5.000.000
sampai Rp 7.500.000. Beruntung bagi mahasiswa kelas reguler karena BOP didasarkan
pada kemampuan ekonomi mahasiswa atau orangtuanya, sedangkan untuk kelas
pararel tak ada tawar-menawar.
Bila demikian adanya,
lantas apa yang didapat oleh calon mahasiswa baru? Akses terhadap perguruan
tinggi tetap belum terbuka lebar. Karena, hanya ada dua golongan yang
diuntungkan dari kebijakan ini, yaitu: sekolah unggulan yang menyandang
akreditasi A dan golongan ekonomi atas. Sekolah akreditasi A jelas memiliki
kemampuan dan kultur akademik yang lebih baik dibandingkan akreditasi di
bawahnya, sedangkan golongan ekonomi atas bisa mengakses kelas non-reguler
melalui ujian mandiri.
SNMPTN memang harus
diperketat agar yang terseleksi benar-benar memiliki rekam akademik yang
berkualitas. Adanya pengurangan porsi untuk SNMPTN dan peningkatan kuota bagi
sekolah terakreditasi A diharapkan semakin meningkatkan kualitas mahasiswa
yang terjaring dari jalur undangan. Namun, demi memberikan akses yang
berkeadilan bagi calon mahasiswa, sebaiknya pemotongan porsi jalur SNMPTN
dialihkan ke SBMPTN. Sehingga, siapa pun, tanpamemandang status sekolah dan
kelas sosialnya dapat memiliki kesempatan yang lebih besar memperebutkan
kursi yang tersedia di PTN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar