Seleksi Anggota Kompolnas
Bambang Widodo Umar; Anggota Staf Pengajar
Departemen Kriminologi FISIP UI
|
KOMPAS, 04
Februari 2016
Pendaftaran calon anggota Komisi Kepolisian
Nasional periode 2016-2020, yang dibuka 13 Januari 2016 dan ditutup pada 12
Februari 2016, cukup riskan dalam proses seleksi.
Hal ini mengingat masa akhir jabatan anggota
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berdekatan dengan masa akhir jabatan
Kepala Polri. Masa jabatan anggota Kompolnas akan berakhir Mei 2016, sementara
masa pensiun Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti pada Juli 2016.
Menurut ketentuan Pasal 31 Ayat (2) Peraturan Presiden No 17/2011 tentang
Kompolnas, nama-nama calon anggota Kompolnas hasil seleksi sudah disampaikan
kepada Presiden paling lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
anggota Kompolnas. Berarti, panitia seleksi (pansel) harus menyampaikan
nama-nama calon anggota Kompolnas kepada Presiden pada Maret 2016.
Keberadaan Kompolnas
Waktu seleksi yang singkat dihadapkan pada
susunan anggota pansel dari wakil pemerintah, pemerhati hukum, dan tokoh
masyarakat tanpa kriteria yang jelas (Pasal 29 Ayat 3 Perpres No 17/2011) dan
tidak diatur pelaksanaannya secara terbuka, sangat mungkin proses seleksi
berjalan tidakfair. Padahal, menurut Pasal 4 b Perpres No 17/2011, anggota
Kompolnas memiliki wewenang untuk menyampaikan pertimbangan dalam
pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri kepada Presiden. Hal ini menuntut
anggota Kompolnas memiliki wawasan luas tentang seluk-beluk kepolisian di Indonesia,
juga hal-hal di luar itu yang terkait dengan organisasi, kelompok, atau
orang-orang tertentu yang mungkin akan memengaruhi proses pemilihan calon
Kepala Polri untuk kepentingannya.
Oleh karena itu, meskipun waktu seleksi
tinggal satu bulan, akan lebih baik jika proses seleksi anggota Kompolnas
dilaksanakan secara terbuka agar publik dapat ikut mengontrol dan
mengevaluasi figur-figur yang mencalonkan diri. Apakah mereka benar-benar
merupakan representasi dari masyarakat ataukah ada dukungan politis dan
mewakili suatu golongan. Hal ini perlu diwaspadai agar dalam pencalonan
Kepala Polri yang akan datang tidak timbul gonjang-ganjing seperti tahun
lalu.
Secara ideal, Kompolnas sebagai "lembaga
independen" beranggotakan sejumlah warga masyarakat yang memiliki
perhatian untuk membenahi organisasi kepolisian. Keanggotaannya merupakan
perwakilan dari sejumlah golongan yang kehadirannya diterima oleh masyarakat
luas dan menguasai hal ihwal tentang kepolisian. Lembaga ini dibentuk untuk
menjamin pelaksanaan tugas kepolisian yang memiliki kewenangan besar berjalan
sesuai aturan yang telah ditetapkan. Ada beberapa negara yang menempatkan
Kompolnas sebagai lembaga pembantu Presiden/Perdana Menteri dalam merumuskan
kebijakan bidang kepolisian, merancang sistem organisasi, manajemen,
rekrutmen, pendidikan, latihan, dan peralatan. Selain itu, juga diberi
wewenang melakukan investigasi terhadap aparat kepolisian yang melakukan
penyimpangan dalam pelaksanaan tugas.
Sri Yunanto (2005) mengatakan, ada tiga
pertimbangan dibentuknya Kompolnas. Pertama, untuk menciptakan mekanisme check and balance antara pemerintah
dan masyarakat dalam hal pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Aspek
penting yang hendak dicapai adalah setiap lembaga negara harus bertanggung
jawab atas kekuasaan yang diberikan dan selalu dikontrol oleh rakyat yang
telah memberi mandat kepada polisi. Kedua, karena tugas polisi dapat
dilaksanakan tanpa menunggu keputusan politik, perlu lembaga non-struktural
untuk mengarahkan kebijakan Presiden. Ketiga, kepolisian bukan institusi yang
memiliki akuntabilitas politik, melainkan institusi yang memiliki tanggung
jawab operasional.
Prinsip-prinsip itu belum seluruhnya tertuang
dalam Perpres No 17/2011. Kompolnas tidak lebih hanyalah sebagai pembantu,
lembaga konsultatif, atau sejenis lembaga pemikir. Lembaga ini tampaknya
sengaja tidak didesain menjadi watchdog.
Hal ini dapat dilihat dari: (1) Pasal 2 Ayat
(2) yang mengatur posisi Kompolnas di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden menunjukkan bahwa Kompolnas sebagai lembaga penasihat Presiden
tugasnya menetapkan arah kebijakan kepolisian, serta memberikan pertimbangan
dalam mengangkat dan memberhentikan Kepala Polri; (2) Kompolnas belum memiliki
mekanisme akuntabilitas publik; (3) kewenangan Kompolnas terbatas menerima
saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja polisi, belum bisa memanggil
pimpinan kesatuan polisi untuk minta pertanggungjawaban operasional.
Oleh karena itu, masyarakat harus
terus-menerus melakukan pengawasan, kemudian hal-hal yang penting disalurkan
kepada Kompolnas. Selanjutnya, apakah masukan berupa saran ataupun keluhan
masyarakat akan ditindaklanjuti oleh yang berwenang, konon harus ditanyakan
kepada "rumput yang bergoyang". Maksudnya, masyarakat jangan patah
semangat mengkritisi Polri.
Di Indonesia, pengawasan oleh Kompolnas
terhadap tugas-tugas polisi diperlukan, mengingat: (1) wewenang memaksa
(diskresi) melekat pada sifat pekerjaan polisi, (2) mencegah kembalinya sifat
militeristik pada polisi, (3) mencegah agar polisi tidak dipolitisasi atau
mengawasi polisi agar lebih independen, dan (4) menyelaraskan kinerja polisi
dengan harapan masyarakat.
Harapan masyarakat
Kondisi kepolisian di Indonesia belum
sepenuhnya baik, masih ada kekurangan atau kelemahan dalam organisasi,
personal, ataupun sarana. Dihapusnya kepolisian wilayah (polwil) punya
implikasi terhadap rentang kendali kepolisian daerah (polda) bertambah lebar.
Ini tentu mengurangi efektivitas dalam mengawasi kesatuan di bawahnya,
terutama pada polda-polda di luar Jawa. Secara khusus juga tampak belum
terdapat kesesuaian penempatan perwira menengah dan perwira tinggi polisi
dalam struktur organisasi yang diberi label jabatan sebagai Analis Kebijakan
(Anjak). Selain itu, ada kecenderungan diskriminasi antara pejabat polisi
lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) dan lulusan sarjana umum dalam kompetisi
menduduki jabatan operasional. Demikian pula masih terbatasnya sarana
kantor-kantor kepolisian sektor (polsek) di wilayah Indonesia timur.
Permasalahan itu bisa menghambat kemampuan polisi dalam pengabdiannya sebagai
pengayom, pelindung, dan pembimbing masyarakat.
Menghadapi masalah ini, selayaknya masyarakat
diberi ruang untuk ikut berperan menentukan praktik kepolisian dan kebijakan
administrasi kepolisian, termasuk dalam hal pengawasan, meski kita tahu sudah
ada pengawasan internal, di mana Polri telah memiliki mekanisme yang
dilakukan oleh inspektorat. Namun, selama ini hasil pengawasan internal tidak
disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sehingga masyarakat kurang yakin
akan hasil pengawasan yang dilakukan, apakah telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dan bagaimana tindak lanjutnya.
Dengan adanya anggota Kompolnas yang
berkualitas, diharapkan terwujud transparansi dan akuntabilitas kepolisian.
Transparansi dalam arti kemampuan publik dapat memantau kebijakan negara di
bidang kepolisian dan memberikan pertimbangan bagi pengembangan lembaga
kepolisian di Indonesia; serta akuntabilitas dalam arti kemampuan publik
dapat minta pertanggungjawaban pembiayaan yang diberikan kepada kepolisian
untuk melaksanakan tugas atapun mengawasi aparat kepolisian dalam tugasnya
sehari-hari. Dengan terwujudnya transparansi dan akuntabilitas, dimungkinkan
perkembangan Polri dapat terarah sesuai harapan masyarakat.
Untuk itu, perlu dibangun lembaga Kompolnas
yang kuat dengan anggota yang mampu menjalankan peran sebagai konseptor yang
cerdas untuk berperan membenahi Polri. Seiring itu, keanggotaan Kompolnas
jangan sampai diisi oleh orang-orang yang sekadar mencari jabatan,
orang-orang yang tidak punya nyali untuk mengoreksi polisi, atau orang-orang
yang lihai memanfaatkan polisi untuk kepentingan pribadi, bukan untuk
membangun wibawa Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar