Smelter
Freeport dan Papua
Firman Noor ; Alumnus
FISIP Universitas Katolik Parahyangan,
Pernah bekerja di BUMN pertambangan
|
JAWA
POS, 03 Maret 2015
SEJAK pemerintah resmi memberlakukan Undang-Undang Mineral
dan Batu Bara 2014, wacana pembangunan smelter (pabrik pengelolaan) mineral
di berbagai wilayah produsen hasil tambang menguat. UU Minerba mewajibkan
setiap perusahaan tambang membangun smelter. Komoditas tambang tidak boleh
lagi dijual begitu saja. Semua harus diolah melalui smelter sehingga
memperoleh nilai tambah ekonomi.
Dengan berdirinya smelter, diyakini pengelolaan sumber
daya alam memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat, terutama masyarakat
di sekitar wilayah tambang. Smelter juga diyakini bisa membuka lapangan
kerja, menekan angka kemiskinan, serta memperkecil kesenjangan ekonomi antara
masyarakat yang tinggal di pusat-pusat ekonomi dan masyarakat yang tinggal di
daerah. Dengan kata lain, eksistensi smelter bagi masyarakat produsen hasil
tambang menjadi harapan baru untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik.
Strategis
Menyadari peran strategis smelter sebagai eskalator
ekonomi bagi daerah-daerah produsen mineral, pemerintah pusat dan daerah
gencar mendorong perusahaan-perusahaan tambang segera merealisasikan rencana
pembangunan smelter. Salah satu perusahaan tambang yang paling disorot untuk
segera merealisasikan pembangunan smelter adalah produsen emas terbesar di
dunia, PT Freeport Indonesia.
Setelah melalui negosiasi yang sangat alot, Freeport
akhirnya sepakat untuk membangun smelter. Dalam rencana pendirian smelternya,
Freeport memilih wilayah Gresik, Jawa Timur, sebagai lokasi pembangunan.
Alasan utama Freeport memilih Gresik adalah konon kota itu memiliki pasokan
listrik yang cukup untuk kebutuhan operasi smelter. Dari sudut pandang
ekonomi, membangun smelter di Gresik lebih feasible daripada membangun smelter di Papua atau wilayah lain.
Namun, rencana Freeport membangun smelter di luar Papua
langsung direspons keras sejumlah tokoh. Antara lain, Gubernur Papua Lukas
Enembe. Dia mengancam akan mengusir dan menghentikan operasi PT Freeport di
Papua bila smelter tetap dibangun di luar tanah Papua. Senada dengan Enembe,
Wakil Presiden Jusuf Kalla menolak rencana Freeport mendirikan smelter di
Gresik.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Freeport adalah
perusahaan yang selama puluhan tahun telah mengeksploitasi emas dan tembaga
dari Bumi Cenderawasih. Meski Freeport menjadi kontributor ekonomi terbesar
(penting) di Papua dan ribuan warga Papua telah direkrut menjadi pekerja,
hingga kini mayoritas masyarakat Papua masih hidup dalam keterbatasan
ekonomi. Apa yang salah?
Sebagai entitas korporasi, keinginan Freeport membangun
smelter di Gresik patut dihormati. Namun, pemerintah dan para petinggi
Freeport kiranya dapat mempertimbangkan opsi lain di luar pertimbangan
bisnis.
Lensa Politik
Pembangunan smelter Freeport, selain membutuhkan
pertimbangan bisnis, perlu menggunakan lensa politik sebagai bahan
pertimbangan. Mengapa? Pertama, Papua merupakan teritori konflik separatisme
yang perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus dalam segala bidang.
Pemberlakuan kebijakan otonomi khusus (otsus) plus telah menjadi opsi politik
yang ditempuh pemerintah guna menuntaskan konflik separatis di Papua. Otsus
plus pada dasarnya memuat kebijakan yang mendorong keadilan dengan
mengintensifkan pembangunan di segala bidang, tidak terkecuali bidang
ekonomi.
Pada konteks ini, Freeport sebagai harapan dan potensi
ekonomi bagi orang Papua harus dioptimalkan. Bila Freeport tetap bersikeras merealisasikan
pembangunan smelter di luar tanah Papua, bisa dipastikan manfaat pengelolaan
sumber daya alam milik orang Papua tidak optimal. Lebih lanjut, yang pasti,
rencana pembangunan smelter Freeport di Gresik tidak sejalan dengan semangat
otsus plus yang diberikan pemerintah kepada masyarakat Papua.
Sejak era Presiden Soekarno, isu Papua selalu menjadi
warisan politik yang terus diestafetkan. Kini permasalahan Papua tiba di
tangan Presiden Jokowi. Akankah isu Papua dapat selesai seperti konflik
separatis di Aceh? Atau, Jokowi malah juga akan mewariskan konflik Papua
kepada presiden Indonesia selanjutnya?
Wacana pembangunan smelter Freeport di Papua, dalam lensa
politik, bisa dipandang sebagai wujud keseriusan upaya pemerintah untuk
menuntaskan konflik separatis di Papua secara damai. Dengan kata lain, upaya
pemerintah mendorong pendirian smelter Freeport di tanah Papua menjadi
pijakan strategis untuk menuntaskan konflik separatis di Bumi Papua.
Akhirnya, rencana Freeport mendirikan smelter di Gresik mengingatkan
kita semua pada film laris Hollywood sepanjang masa, Avatar. Dalam Avatar
diceritakan, kekayaan sumber daya alam (unobtainium)
justru menjadi kutukan yang tidak membawa manfaat berarti bagi masyarakat
Na’vi. Kekayaan alam dieksploitasi dan hanya dinikmati segelintir orang.
Untungnya, dalam film Avatar ada Jake Sully yang berperan
sebagai sosok pembebas warga dari eksploitasi sumber daya alam. Semoga
Presiden Jokowi yang dielu-elukan masyarakat Papua bisa menjadi harapan bagi
mereka dan dapat tampil sebagai ’’Avatar’’ yang membebaskan dan
menyejahterakan masyarakat Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar