Antara
Tradisi, Ketokohan, dan Ambisi
Firman Noor ; Peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar pada Program Ilmu Politik Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 03 Maret 2015
Ada beberapa hal yang mencorong dari proses pemilihan
ketua umum pada pelaksanaan Kongres ke-4 PAN yang berlangsung di Bali belum
lama ini. Beberapa hal itu patut diamati karena menunjukkan secara umum
sebuah gejala yang menarik dari partai ini.
Tradisi Satu Periode
Satu persoalan penting yang menjadi isu utama dalam
kongres kali ini adalah masalah periode kepemimpinan partai. Dalam PAN coba
untuk ditradisikan bahwa seorang ketua umum sepatutnya tidak mengajukan diri
lagi pada pemilihan selanjutnya. Ini sudah dimulai oleh Amien Rais
(2000-2005) sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh Sutrisno Bachir
(2005-2010).
PAN tampak lebih percaya pada sebuah pertukaran kekuasaan
internal yang dinamis, ketimbang pada formula mempertahankan tim yang tengah
berjaya. Artinya, regenerasi kepemimpinan lebih didahulukan ketimbang
capaian-capaian hasil sebuah kepemimpinan. Bisa jadi ini untuk mentradisikan
agar partai dapat selalu dinamis dan menghindari adanya oligarki akibat
terlalu lamanya seseorang berkuasa. Namun demikian, tradisi ini tidak menjadi
bagian dari AD/ ART. Bagi sebagian kalangan, inilah celah untuk mengakhiri
tradisi ini.
Sehubungan dengan ini, dalam kacamata pelembagaan partai
ada sebuah pendekatan yang berorientasi pada nilai-nilai, sebagaimana yang dikembangkan
oleh Steven Levitsky (1998). Menurutnya, sebuah partai yang terlembagai
adalah partai yang mampu memosisikan tradisi atau nilai-nilai yang dianut
menjadi patokan perilaku (behavioral) dari para kadernya. Di sini, meski
tidak tertuliskan secara legal formal, pentradisian nilai-nilai yang dianut
bersama itu (shared values) adalah
juga bagian dari pelembagaan partai, di mana hulunya adalah pembangunan
karakter partai.
Namun demikian, dengan melihat perbedaan suara antara
Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan yang demikian tipis, hanya enam suara (286
versus 292), dengan empat suara tidak sah, sepertinya tradisi itu bukanlah
sebuah hal yang benar-benar diperhatikan oleh sebagian atau setengah kurang
sedikit dari elite dan kader PAN. Artinya dalam kongres kali ini tampak jelas
ada semacam erosi keyakinan bahwa adagium satu periode itu memang harus
dipertahankan.
Di satu sisi, bisa jadi pada kongres inilah momen kritis
terakhir dari tradisi satu periode PAN itu, yang setelahnya akan makin
menguat dan legitimate. Namun di sisi lain, bisa jadi kongres ini adalah
preseden bahwa menentang tradisi satu periode itu diperbolehkan. Buktinya
Amien Rais tetap membiarkan Hatta untuk maju dan mencoba peruntungannya.
Untuk menghindari perdebatan yang berlarut-larut, ke depan
PAN perlu mematangkan lagi makna filosofis dari tradisi ini,
menyosialisasikannya secara total kepada setiap kader dan yang terpenting
menjadikannya sebagai bagian dari AD/ART agar lebih bersifat mengikat.
Ketokohan
Ada dua makna ketokohan di sini. Yang pertama, ketokohan
kekinian sebagai sumber inspirasi dalam berperilaku kader-kader PAN.
Ketokohan ini dapat dialamatkan kepada Amien Rais yang adalah king maker.
Dapat dikatakan bahwa praktis selama tujuh belas tahun
eksistensi PAN, partai ini selalu dalam bayang-bayangnya. Salahsatu exercise
dari kekuatan seorang Amien adalah dalam momen-momen penting seperti kongres
partai. Dapat dikatakan setelah kepemimpinannya sebagai ketua umum, urusan
pucuk pimpinan partai tetap amat bergantung pada fatwanya.
Lihat misalnya bagaimana Hatta Rajasa diminta mengalah
untuk kemudian memberi jalan bagi Sutrisno Bachir, yang digadang-gadangkan
Amien sendiri menduduki jabatan ketua umum PAN. Begitu juga saat Amien
meminta Drajad Wibowo dan para pendukungnya untuk menerima kesepakatan
politik yang diaturnya, sehingga Hatta Rajasa giliran dapat dengan mulus
menjadi ketua.
Namun demikian, kemenangan tipis Zulkifli Hasan, yang
telah cukup mati-matian didukung oleh Amien, mengindikasikan bahwa kekuatan
Amien Rais sejatinya telah mulai meredup. Saat ini dan ke depannya tampak
mulai semakin kencang desakan rasional untuk menempatkan diri seorang Amien
pada proporsi yang lebih memungkinkan PAN menjadi makin lebih independen dan
”alamiah”.
Meski pada umumnya kader- kader partai masih menaruh
hormat yang tinggi kepadanya sebagai orang yang telah berbuat amat banyak
bagi PAN, di sebagian mereka telah menyadari dan berupaya agar tingkat
kebergantungan PAN pada figur Amien harus dikoreksi. Jika tidak, bukan tidak
mungkin figur pemersatu yang dikagumi itu akan berubah menjadi figur pemecah
belah. Jika boleh mengambil contoh, dalam kasus PKB, kebergantungan yang
tinggi pada Gus Dur, justru telah membawa partai itu pada konflik
berkepanjangan.
Ketokohan yang lain adalah kesediaan untuk menerima hasil
pemilihan dengan elegan. Baik Zulkifli sebagai pihak yang menang ataupun
Hatta sebagai kandidat yang kalah, sama-sama menunjukkan peran sebagai good
winner dan good looser. Secara umum, dapat dikatakan tidak ada pernyataan
dari keduanya yang membahayakan soliditas partai sejak awal mereka
digadang-gadangkan hingga hari H pemilihan.
Bahkan, pernyataan pedas Amien kepada Hatta pada hari
pertama kongres tidak bergayung sambut dengan keluarnya pernyataan yang dapat
memanaskan situasi. Kalau toh ada hal-hal yang memanaskan situasi, itu adalah
cerminan dari semangat berlebihan para pendukung untuk membenarkan pilihan
mereka. Tangis Zulkifli di pelukan Hatta sesaat setelah dinyatakan sebagai
pemenang dihadapan peserta kongres, tentu saja dapat ditafsirkan banyak.
Namun, setidaknya political gesture itulah yang memang dibutuhkan agar
setidaknya kader kembali sadar bahwa semua pada akhirnya adalah untuk
kepentingan bersama.
Ambisi
Terlepas dari itu, kongres partai dan semacamnya adalah
ajang dipertaruhkannya ambisi. Tidak saja sebagai sarana pertanggungjawaban
kekuasaan dan pembenahan internal melalui perubahan kepengurusan, di dalam
kongres tentu saja terdapat intrik dan manuver politik untuk menguasai
hasil-hasil kongres.
Kerap upaya itu berlangsung dengan elegan, namun tidak
sedikit yang bercampur dengan tindakan-tindakan negatif. Kongres PAN, yang
didahului oleh ”pemanasan” mesinmesin dari kelompok yang mengincar posisi
ketua umum, jelas tidak seluruhnya sepi dari perilaku yang tidak patut.
Mulai pengiriman ”tanda mata” yang amat tidak pantas
kepada salah satu kandidat ketua umum, sorak- sorai yang tidak pada tempatnya
kepada tokoh-tokoh yang telah membesarkan partai yang jauh dari etika seorang
politikus santun dan bernalar, hingga kasus pelemparan kursi yang menimbulkan
korban.
Sangat disayangkan berbagai kenyataan itu terjadi di
sebuah partai yang banyak diisi oleh kalangan berpendidikan. Fenomena
sedemikian dan semacamnya harus diakui tidak saja terjadi di PAN, namun juga
di partai-partai lain, dengan situasi yang bahkan lebih buruk dan brutal.
Kondisi ini sayangnya tidak juga berubah bahkan ketika reformasi telah
berjalan selama tujuh belas tahun.
Apa yang terjadi di PAN, dan partaipartai lain,
mencerminkan bahwa ambisi politik memang kerap beriringan dengan sebuah sikap
atau perilaku yang jauh dari kata pantas. Pertanyaannya apakah elite dan
kader-kader partai akan terus menganggap hal ini sebagai sesuatu yang biasa.
Jika iya, jangan heran kalau kemudian masyarakat akan
semakin antipati terhadap partai yang bagi mereka memang tidak banyak
memberikan apa-apa, bahkan sekadar mengajari cara bersikap santun manakala
ada perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar