Nihilisme
ISIS Berkedok Agama
Amanda Adiwijaya ; Lulusan
International Biblical College
Yerusalem
|
KORAN
JAKARTA, 19 Maret 2015
Sejak
tragedi 11 September 2001 yang menewaskan
3.000 jiwa, Amerika Serikat (AS) melancarkan perang global melawan terorisme
dan sekutunya. Al Qaeda yang dipimpin
Osama bin Laden menjadi sasaran utama. Meski pada Mei 2011,
Osama berhasil ditewaskan, terorisme tidak
terkubur. Justru kini dunia menghadapi Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) yang disebut-disebut lebih besar dan berbahaya dari Al Qaeda.
ISIS sudah dirintis sejak 1999 oleh Abu Musab al-Zarqawi dengan membangun kamp
pelatihan militer di Kandahar Afghanistan dan
mendirikan ”Jund al –Sham (pasukan Syam). Pada 2006, Zarqawi sebagai
pimpinan Al Qaeda Irak (AQI) dibunuh
AS. Di bawah penerusnya, Abu Ayyub al-Masri, AQI merger dengan lima kelompok
lain dan membentuk Majlis Shura al-Mujahideen. Mereka inilah yang melahirkan
ISIS.
Pada
April 2013, ISIS di bawah kendali Abu Bakr al-Baghdadi yang pada 10 Juni
2014 memproklamasikan
"kekhilafahan Islam" di wilayah yang mereka kuasai di Irak dan Suriah. Proklamasi
ISIS disampaikan dalam lima bahasa
guna mengundang para jihadis seluruh dunia. ISIS memang merindukan kejayaan
kekhalifahan Islam.
Bila
menengok sejarah, setelah empat khalifah pertama yang menggantikan Nabi
Muhammad, kekhalifahan mencapai masa keemasan pada masa dinasti Umayah tahun
661-750, dan dinasti Abbasiyah,
750-1517. Kekhalifahan dihapuskan tahun 1924 setelah kekaisaran Ottoman runtuh.
Berbeda
dengan kekhalifahan era kejayaan Islam yang berspirit
Islam ”rahmatan lil alamin,” ISIS
menjadikan brutalitas dan
kekejaman sebagai karakter.
Pemenggalan kepala, yang di-upload di
Youtube menjadi modus teror terbaru.
Contoh video pemenggalan wartawan Global Post James Foley yang digorok sampai
enam kali pada bulan Agustus 2014. Demikian juga wartawan Jepang, Kenjo Goto pada awal Februari 2015. Yang terbaru
adalah pekerja kemanusiaan Jerman Kayla Jean Mueller.
Kekhalifahan
di era kejayaan Islam juga menghargai kaum minoritas, sehingga keberadaan
nonmuslim dilindungi dan dihargai. Kafilah Al Makmun (830), misalnya, pernah
minta Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen, mengoordinasi proyek penerjemahan
risalah-risalah dari bahasa Aram, Pahlavi, dan Yunani ke dalam bahasa Arab.
Sayang
kekalifahan baru ISIS, sangat antikeberagaman, sehingga kaum
minoritas kian tertindas. Akhir Februari lalu, misalnya, kaum militan ISIS telah menyerang 11 desa etnis
Asiria yang beragama Kristen di provinsi al-Hasakah dan menculik 220 orang.
Mereka dibawa dan disandera di pegunungan Abd al-Asiz.
Madawi
Al-Rasheed, profesor isu Timur Tengah di Universitas London School of
Economics, mengatakan, warga Kristen di Suriah dan Irak amat ditindas ISIS. Sekitar setengah juta warga Kristen
Irak dan Suriah mengungsi ke Lebanon, Yordania, atau negara lain.
Pertengahan
Januari lalu, 21 pekerja asal Mesir di Libia yang kebetulan beragama Kristen
Koptik, juga dipenggal ISIS di kota Darna, Libia Timur. Pemerintah
Mesir langsung merespons lewat
serangan udara.
Minoritas
lain juga menderita seperti kaum Syiah
atau Yazidi di daerah-daerah yang dikuasai ISIS juga sangat menderita.
Demikian pula penduduk Kurdi, yang
tesebar di perbatasan Irak, Suriah dan Turki juga amat menderita. Namun
warga Kurdi berani melawan ISIS.
Kesatuan
Pembebasan Rakyat atau Peshmerga
(Kurdi dari Irak) dan Partiya Kerkeren
Kurdistan (Kurdi Turki, didirikan 1974 oleh Abdoelah Ocalan)
dan Partai Buruh Kurdi juga memerangi
ISIS. Total yang ambil bagian
mencapai 9.000 pejuang Kurdi.
Sikap
Gereja Katolik, diwakili Uskup Agung
Tomasi. Katanya, yang dibutuhkan koalisi terkoordinasi dan terencana dengan baik untuk melakukan
segala yang mungkin demi mencapai
solusi politis, tanpa kekerasan.
Kebiadaban ISIS
memang sudah melampaui batas. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj saja
menyebut ISIS lebih sadis dari Al Qaeda. Memang kita diliputi pertanyaan
mengapa ISIS bergitu biadab. Orang memang bisa mengaji ini dari berbagai sudut pandang. Mungkin
benar pendapat Thomas Hobbes bahwa
manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Malah Robert Ardrey dalam bukunya African Genesis menyatakan, manusia adalah binatang buas yang naluri
alamiahnya membunuh dengan senjata.
Pendapat Hobbes atau Ardrey seolah
cocok dengan aksi-aksi ISIS.
Berbagai Penjuru
Yang
mencengangkan, ISIS mengaitkan perjuanganya dengan agama. Banyak kalangan
menyebut terorisme yang dibawa ISIS adalah sebentuk nihilisme yang memperalat
agama. Nihilisme merupakan pemikiran yang banyak dikaitkan dengan Friedrich Nietzsche atau Martin Heidegger.
Singkatnya, nihilisme menegaskan, hidup ini tanpa tujuan.
ISIS
melihat keagamaan sebagai pemahaman
agama yang buta. Dalam jargon Ludwig
Wittgenstein, kebutaan keagamaan
merupakan kebutaan yang tak beragama.
Tak
heran aksi biadab ISIS justru
dikecam hampir oleh semua ormas
Islam dan masyoritas umat Islam dunia
yang cinta damai. MUI saja menganggap
ISIS sudah menodai citra Islam
sebagai agama yang antikekerasan.
Menurut
Abu Qatada, mantan tokoh Al Qaeda Yordania yang kini menetap di Eropa, ISIS
itu mirip Khawarij, sebuah gerakan kegamaan Islam yang sangat ekstrem, tidak patuh pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib pada abad
ketujuh. Khawarij dikenal suka menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara
kekerasan (The Economist, 1/11/2014).
Anehnya,
banyak pemuda berbagai negara,
termasuk Indonesia, justru mau menjadi
relawan ISIS. Kita baru dikejutkan
berita 17 WNI asal Surabaya
yang memisahkan diri dari rombongan wisata
ke Turki. Mereka mencoba
menyeberang ke Suriah, lalu ditahan pemerintah Turki. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada November 2014 pernah menyebutkan
terdapat 500 WNI bergabung
ISIS. BNPT mengingatkan masih
ada WNI lain yang ingin
bergabung ISIS.
Memang
ketika memproklamasikan pendirian kekhalifahan ISIS pada 10 Juni 2014, Abu
Bakr al-Baghdadi, pimpinan ISIS, menyerukan kepada setiap muslim di mana pun
bergabung dan berjihad melawan pemerintahan kafir yang tengah dimusuhi ISIS
baik Suriah ataupun Irak.
Maka,
sejak itu, berbondong-bondonglah kaum muda
Eropa, Amerika, Australia, dan Indonesia merespons seruan Baghdadi. ISIS pun berani menanggung segala kebutuhan para
jihadis karena banyak sumber dananya seperti penjualan minyak di pasar gelap.
Sebagaimana
kelompok radikal dalam banyak
agama, para jihadis ISIS sangat
yakin sekarang berlangsung perang akhir zaman.
ISIS yakin pasti ”selamat”
berhadapan dengan musuh kafir dan sesat.
Sebenarnya
tidak masalah para WNI berpindah menjadi warga negara kekhalifahan ISIS.
Persoalan akan runyam andai mereka
kembali ke Indonesia yang amat majemuk. Mereka bisa mengimplementasikan ajaran sangat antikemanusiaan, antikeberagaman dan
anti-Pancasila.
Perlu
mempertimbangkan atau merespons seruan
Raja Yordania Abdullah II. Dia
mengajak umat Islam dan Kristen
moderat berani melawan ISIS dan terus mempromosikan budaya serta hidup
damai yang menghargai
keberagaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar