Nenek
Asyani dan Hukum yang Ringkih
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan
Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Maret 2015
PANGGUNG hukum kembali
riuh seiring mencuatnya parodi kasus remeh-temeh di pengadilan. Lakon nya
seorang nenek ringkih berusia senja bernama Asyani. Ia saat ini sedang duduk
di kursi pesakitan karena didakwa mencuri kayu jati dari kawasan hutan
produksi pada 7 Juli 2014. Nenek Asyani dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat
(1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman
5 tahun penjara. Asyani berdalih kayu itu miliknya yang diperoleh dari
lahannya sendiri di Dusun Secangan, Situbondo.
Kasus Nenek Asyani telah
menyita perhatian publik tak terkecuali para elite negeri ini. Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahkan secara khusus meminta
penahanan Nenek Asyani yang hampir tiga bulan dibui dapat ditangguhkan.
Bahkan, kasus tersebut mulai dijadikan komoditas politik menjelang suksesi
pemilihan kepala daerah Situbondo 2015. Sebelum majelis hakim mengabulkan
permohonan penangguhan penahanan melalui putusan sela yang dibacakan Senin
(16/3) di Pengadilan Negeri Situbondo, para politikus mengumbar simpati dan
menyatakan bersedia sebagai penjamin Nenek Asyani. Memang rakyat kecil acap dijadikan
alat legitimasi dan permainan politik. Elite kurang peduli pada substansi dan
advokasi persoalan hukum yang dihadapi masyarakat bawah. Mereka lebih
tertarik pada kemasan dan menjadikannya sebagai isu politik yang seksi untuk
mendulang dukungan.
Hukum
ringkih
Kasus yang membelit Nenek
Asyani menjadi potret supremasi hukum yang ringkih. Hukum tampil tak berdaya
menangani kasus korupsi yang melibatkan kelompok elite, tapi pada saat
bersamaan justru garang kepada orang lemah. Buktinya, untuk menyeret Nenek
Asyani ke meja hijau penegak hukum tak perlu waktu lama. Berbeda dengan
penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun yang
hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini tak
terjamah karena memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan `jalur sutet'
yang berbahaya apabila dibongkar.
Karena itu wajar jika
penegakan hukum kerap meninggalkan jejak ironi. Wajar pula jika penanganan
kasus korupsi selalu berakhir antiklimaks. Supremasi hukum yang berselingkuh
erat dengan pragmatisme poli tik akan sulit membongkar akar kejahatan korupsi
karena aib para penguasa bersembunyi di dalamnya. Seandainya hukum
menunjukkan martabatnya dan berani menjaga independensi, betapa banyak
pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dibui lantaran menyalahgunakan
wewenang.
Nenek Asyani memang tidak
memiliki pengaruh penting bagi jagat politik. Ia baru akan mendapatkan
perhatian dari penguasa ketika bergulir menjadi isu nasional dan menjadi
sorotan media. Berbeda dengan para koruptor yang mayoritas berasal dari
politisi. Meski tindakannya telah merugikan negara, tetap mendapatkan
perhatian penuh dan hak-haknya diperjuangkan. Sebagai contoh, Menteri Hukum
dan HAM bakal merevisi peraturan pengetatan pemberian remisi kepada koruptor.
Menurutnya, pengetatan remisi koruptor diskriminatif sehingga perlu ditinjau
ulang. Langkah tersebut jelas mencerminkan hukum yang ringkih. Hukum tumpul
ke atas, tapi menggilas rakyat kecil.
Mesin
pembunuh
Ada persoalan serius dalam
penerapan hukum pidana kita, saat hukum menjelma sebagai `mesin pembunuh'
bagi kelompok proletar. Padahal, langkah pemidanaan memiliki fungsi subsider
dan menjadi ultimum remidian ketika fungsi hukum lainnya telah ditempuh dan tidak
berhasil.
Semestinya aparat hukum
menjunjung tinggi asas kepantasan dan restorative justice, yakni mengalihkan
dari proses pidana untuk diselesaikan secara musyawarah. Artinya, dalam kasus
Nenek Asyani seharusnya cukup diselesaikan melalui jalur mediasi, bukan
dibesar-besarkan layaknya perkara korupsi. Polisi memiliki diskresi untuk
menyidik atau tidak menyidik sepanjang dapat dibenarkan oleh hukum.
Jerat hukum atas Nenek
Asyani menyinggung nurani rakyat karena aparat hukum telah kebablasan
memaknai peradilan pidana sebab mengalpakan proses mediasi sehingga segala
tindak pidana harus diajukan ke meja hijau. Karena itu, bukan sekadar aspek
substansi hukum yang mendesak diperbaiki.Betapapun paripurna sebuah aturan,
jika dipegang oleh aparat hukum yang bermental menindas, tujuan hukum
sebagaimana dicita-citakan tidak akan tercapai. Dibutuhkan reformasi
paradigma, peningkatan sumber daya, dan moral aparatur hukum sehingga melihat
kasus Nenek Asyani tidak dengan kacamata kuda.
Hakim tentu tak bisa
berbuat banyak ketika kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. Hakim mengadili
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Ketika perbuatan yang
didakwakan telah memenuhi unsur, hakim secara sah dan meyakinkan harus
menyatakan bersalah. Yang dilihat hakim bukan semata-mata nilai ekonomis kayu
tersebut, melainkan juga jiwa jahatnya yang apabila tetap dibenarkan oleh
pengadilan membawa dampak negatif dan mengesankan bahwa perbuatan mencuri
dibenarkan oleh hukum.
Dahulu pernah mencuat
kasus serupa berupa pencurian sandal jepit oleh anak di bawah umur dan sempat
diproses secara pidana. Demi memenuhi unsur kepastian hukum, hakim ketika itu
menyatakan terdakwa bersalah.
Namun, untuk memenuhi rasa
keadilan, hakim mengembalikan terdakwa ke orangtuanya untuk dilakukan pembinaan.
Nilai ekonomi barang curian menurut hakim tidak prinsip. Akan tetapi, barang
orang lain yang diambil tanpa sepengetahuan sudah memenuhi unsur pencurian.
Ke depan, kasus
remeh-temeh selayaknya tidak sampai ke pengadilan karena selain memboroskan
energi dan biaya, ada kanal penyelesaian yang lebih elegan. Penyelesaian
mediasi dengan tujuan mendapatkan keseimbangan dan pemulihan keadaan justru
dibutuhkan sebagai puncak tertinggi tujuan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar