Rabu, 11 Maret 2015

Negeri yang Melampaui Bangsa

Negeri yang Melampaui Bangsa

Asep Salahudin  ;  Dekan Fakultas Syariahdi IAILM Pesantren Suryalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
KOMPAS, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tentu harus dibedakan antara negeri (country), bangsa (nation), negara (state), rakyat (people) dan masyarakat (society). Keempat entitas itu memiliki makna yang tidak sama satu dengan lainnya.

Kekerasan dan kriminalisasi, baik fisik maupun simbolik, salah satunya sering kali dipicu oleh kekeliruan dalam memaknai keempat konsep itu. Yang semestinya dimaknai sebagai ”bangsa”, kita campur baurkan menjadi ”negeri”, yang semestinya diartikan rakyat malah secaraserampangan disamakan dengan masyarakat.

Dalam diksi negeri melekat di dalamnya imaji tentang sebuah ruang (tanah air) yang didiami oleh realitas yang beragam, baik etnik, bahasa, maupun keyakinan, sementara bangsa menjelaskan tentang komunitas orang dengan bahasa, agama, budaya, sejarah, dan tumpah-darah yang sama. Dalam arti ini, seperti ditulis F Budi Hardiman (2011), negeri merupakan arena politis (political space) tempat interaksi sosial ditata, peluang-peluang hidup dan sumber-sumber produktif dibagi-bagikan, sedangkan bangsa adalah kekuatan politis dalam arena ini.

Maka, menjadi sangat relevan pembacaan manusia pergerakan ketika mereka mengikrarkan Sumpah Pemuda diacukan bukan pada politik mengunggulkan satu etnik (atau sebuah keyakinan) atas lainnya, tetapi justru ditarik dalam kesatuan bahasa, tanah air, dan kebangsaan. Sebuah bacaan yang sangat tajam dan visioner. Kaum muda itu tahun 1928 dengancermat tidak hanya melihat fakta keindonesiaan yang beragam, tetapi lebih mengagumkan lagi, mereka masuk dalam palung pengalaman kemajemukan secara utuh.

Tanpa harus berwacana tentang ”pendidikan multikulturalisme”dan atau belajar mengenai multicultural citizenship, leluhur kita sudah sangat insaf bahwa harmoni sosial hanyabisa dibangun melalui kesadaran ”kegotongroyongan”.

Seperti dalam penggambaran antropolog Geertz bahwa bangsa ini bukan hanya multietnik (Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Flores, dan seterusnya), melainkan juga medan persimpangan multimental (Islam, Kristen, Tionghoa, Hindu, Buddha, Belanda, Portugis, Konfusius, kapitalis, dan seterusnya). Tulis Geertz, ”Indonesia adalah sejumlah ’bangsa’ dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasiagung yang bersifat historis, ideologis, religius, atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.” (F Budi Hardiman, 2011)

Kekeliruan

Kekeliruan ini dengan telanjang pernah terjadi pada zaman gelap negara despotik jahiliah Orde Baru. Bagaimana ”negara” tampil sebagai polisi untuk menyeragamkan hal ihwal, termasuk menafsirkan mana yang sahih dan mana yang tidak, mana yang ”bidah” dan mana yang bukan, menyeleksi mana kelompok ”kanan” dan mana yang termasuk golongan ”kiri”. ”Negeri” dikelola oleh segelintir elite, sementara masyarakat dibiarkan ”mengambang”. Politik dibikin, istilah Nietzsche, dalam suasana pasif dan mencekam seraya para kerumunan politisinya tidak lebih dingin dari monster yang paling menakutkan sekalipun. Semua dipaksa seolah dalam kondisi serba darurat dan dikesankan hanya ”negara” yang bisa menyelesaikan negeri yang baru saja keluar dari jerat kegaduhan politik Orde Lama.

Di zaman darurat, agama hadir hanya sekadar sekumpulan fatwa untuk melegitimasi semua kebijakan penguasa. Ekonomi diformulasikan dalam deret angka (kuantitatif) sambil tidak henti melipatgandakan dongengan tentang fantasi ”tinggal landas”, berbusa-busa merapalkan frasa Repelita dan Pelita, sementara kebudayaan yang semestinya tampil menjadi roh peradaban, yang kita saksikan tidak lebih hanya khotbah tentang tempat wisata yang dibayangkan akan banyak mendatangkan devisa dan selebihnya adalah tontonan safari para pejabat ke sejumlah daerah memidatokan banyak hal yang sesungguhnya kalau kita telusuri hanya merujuk pada satu referensi yang dikutip secara berulang-ulang: kitab omong kosong, ayat-ayat bertaburan dusta.

Di zaman darurat, hubungan sosial sangat tertib, bahkan nyaris tidak kita temukan letupan konflik horizontal yang dipicu karena persoalan berbeda agama dan etnik. Namun, ketertiban itu bukan berangkat dari kesadaran, melainkan lebih sebagai ekspresi politik suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang dipaksakan dan ”kesigapan” aparatus untuk menindak semua potensi yang dianggap dapat merusak stabilitas nasional.

Hal mana berbanding terbalik degan kondisi pasca Orde Baru, pendulum menjadi jatuh juga dalam kutub ekstrem. Negara nyaris tidak memberikan kepastian kehadirannya dalam berbagai hal ditambah dengan semangat otonomi daerah yang sering kali ditafsirkan secara salah kaprah.Kondisi ini yang sering kali dimanfaatkan masyarakat yang beragam untuk melakukan kontestasi menawarkan agenda politiknya yang berbeda dengan kesepakatan NKRI.

Hanya zaman Reformasi kita bisa menyaksikan sebuah ormas keagamaan dengan leluasa menutup tempat ibadah liyan sambil melakukan arak-arakan di tengah jalan membawa simbol-simbol keagamaan, bernafsu menurunkan kepala daerah di tengah jalan, memorakporandakan tempat yang dianggap sarang kemaksiatan, menggerus ormas lain yang dianggap tak sehaluan dengan pendiriannya. Hanya di zaman ini kita dapat melihat sebuah ormas bisa difasilitasi negara, bahkan menggunakan televisi negara, padahal pidato yang ditampilkan isinya justru tak lebih dari olok-olok terhadap negeri, ideologi Pancasila, mengharamkan demokrasi sambil diam-diam mengambil faedah dari alam kebebasan yang ditawarkan demokrasi.

Penataan

Tentu saja ke depan, dan ini menjadi tantangan besar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, negeri yang sangat kaya itu tidak bisa dikelola secara asal-asalan, apalagi sampai tersandera kepentingan politik jangka pendek, tersekap sistem primitif oligarki yang hanya menguntungkan segelintir elite dan kaumborjuis-kapitalis. Realitas pluralisme yang jadi halaman muka bangsa inisudah saatnya dijadikan modal sosial dan digerakkan dayanya dalam rangka membangun kohesivitas untuk mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan, menciptakan negara utama, membangun politik kewargaan-multikultural solid.

Negara harus tampil tegas menindak segala bentuk penyimpangan dan anomali. Negara tak boleh terkapar dikalahkan ego sektoral, dikalahkan LSM, dipermalukan lembaga negara lagi atau ormas keagamaan yang nyata-nyata punya agenda lain yang berbanding terbalik dengan format NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Jokowi-Kalla harus memiliki kemauan keras untuk tampil bukan sekadar penguasa, melainkan juga ”menjadi” penguasa. Supaya dicatat oleh khalayak bahwa mereka berdua sangat kapabel. Bahwa khalayak diberikan kepastian tidak salah pilih mencoblos keduanya dalam pilpres lalu. Tidak hanya pernah memangku jabatan presiden, tetapi juga harus ”menjadi” presiden. Dalam diksi ”menjadi” inheren di dalamnya adalah tampil sebagai pribadi yang berani dan tak bisa didikte siapa pun, oleh kekuatan mana pun. Seorang yang ”menjadi” pemimpin hanya mau didikte oleh rakyat. Menjadi ”penyambung lidah rakyat”!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar