Bukan
Negara Polisi
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum
Tata Negara;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas
Andalas
|
KOMPAS,
11 Maret 2015
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi dan majalah Tempo,
kini giliran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dikriminalkan. Begitu
informasi yang diturunkan sejumlah media massa pada akhir pekan lalu.
Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri melaporkan semua
anggota Komnas HAM atas tuduhan telah melakukan pelecehan dan fitnah terhadap
para penyidik melalui media massa karena memublikasikan hasil
penyelidikannya.
Betapapun membungkus langkah tersebut sebagai suatu upaya
hukum, tetap saja muncul pertanyaan: ada apa dengan kepolisian? Apakah
tersebab masalah calon pemimpin tertingginya dibatalkan Presiden, lantas
semua pihak yang dianggap tak sejalan justru diadukan atau dilekati tuduhan
melanggar hukum? Terlebih pihak yang melaporkan adalah penyidik Polri. Fakta
itu semakin meyakinkan publik betapa Polri tidak sedang dalam keadaan normal.
Lebih jauh dari itu, manuver dimaksud juga sulit
melepaskannya dari kepentingan institusi Polri yang saat ini dipimpin para
jenderal yang sebelumnya berseteru dengan KPK.
Pada saat yang sama, kecil pula kemungkinan hal itu tak
terhubung dengan adanya ”kesumat” terhadap institusi atau perorangan yang
dinilai mengkritik, menyudutkan, atau bahkan menyalahkan berbagai langkah
Polri ketika berhadapan dengan KPK. Oleh karena itu, menjadi wajar jika ada
penilaian bahwa upaya ini jauh dari idealitas yang semestinya dilakukan
institusi sekelas Polri.
Komnas HAM penentu
Menjauhnya Polri dari idealitas sikap yang semestinya itu
semakin terang dengan menyerang lembaga negara, seperti Komnas HAM. Sikap ini
memperlihatkan betapa rasionalitas semakin menjauh dari sikap dan kebijakan
Polri. Bahkan, langkah yang ditempuh semakin berjarak dengan arahan Presiden
Joko Widodo terhadap Polri terkait kisruh Polri-KPK. Tidakkah Polri masih
berada di bawah ketaatan terhadap sang Presiden? Pertanyaan yang mungkin
hanya Presiden dan Wakil Kepala Polri yang dapat menjawabnya.
Terkait laporan tindak pidana yang dialamatkan kepada
semua komisioner Komnas HAM, mesti diingat bahwa Komnas HAM adalah lembaga
negara. Bahkan UU No 39/1999 tegas memberi pengakuan bahwa Komnas HAM
merupakan lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya. Sebagai lembaga negara, sepanjang yang dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki, siapa pun tidak dapat mempersoalkannya. Apalagi
jika sekadar masalah informasi hasil penyelidikan yang mereka sampaikan
melalui media massa.
Soal Komnas HAM memublikasikan hasil penyelidikannya,
setidaknya mesti diingat tiga hal berikut. Pertama, sepanjang yang
dipublikasikan adalah hasil temuan lembaga, diputuskan melalui mekanisme
pengambilan keputusan lembaga, dan sesuai dengan kewenangannya, maka
komisioner Komnas HAM tidak dapat dituntut secara pidana. Selain itu, ini
bukanlah kali pertama Komnas HAM memublikasikan dugaan pelanggaran HAM yang
dilakukan aparat kepolisian.
Kedua, Komnas HAM merupakan lembaga yang diberi kewenangan
penuh oleh UU untuk menentukan informasi mana yang mesti dirahasiakan dan
mana pula yang dapat dibuka kepada publik. Hal itu tegas diatur dalam Pasal
92 UU No 39/1999. Ketentuan tersebut menyatakan, Komnas HAM dapat menetapkan
untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti
lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau
pemantauan.
Norma dimaksud eksplisit memberi ruang bagi Komnas HAM
untuk merahasiakan atau tidak merahasiakan penyebaran suatu keterangan yang
diperoleh melalui penyelidikan. Lantas, atas dasar apa kemudian Polri akan
menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan terhadap penyidik karena Komnas HAM
menyampaikan informasi dari hasil penyelidikannya?
Ketiga, salah satu tujuan pembentukan Komnas HAM adalah
untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya. Dengan tujuan itu,
kehadiran Komnas HAM sesungguhnya juga untuk mengawasi pelaksanaan kekuasaan
aparatur negara yang rentan melanggar HAM, terutama aparat yang
dipersenjatai: TNI dan Polri.
Untuk tujuan meningkatkan perlindungan HAM, publikasi
hasil penyelidikan kepada publik haruslah dibaca sebagai kontrol terhadap
Polri. Apa yang dilakukan Komnas HAM tidak dapat dibaca dari sisi sebaliknya.
Sebab, posisi Polri adalah pihak yang diawasi. Menganggap langkah Komnas HAM
sebagai sebuah tindak pidana sama artinya Polri hendak melepaskan diri dari
segala bentuk pengawasan terhadapnya.
Sebagai lembaga yang diawasi, langkah ideal yang mesti
dilakukan Polri bukan memidanakan komisioner Komnas HAM, melainkan
memperbaiki diri dan membuktikan bahwa polisi bekerja secara profesional.
Jika memang profesional, Polri tentunya tak perlu merasa risi.
Menahan diri
Dengan perkembangan dalam dua pekan terakhir, saatnya
pucuk pimpinan Polri mengontrol setiap tindak tanduk bawahannya. Sebab,
berbagai manuver, termasuk langkah yang ditempuh penyidik Polri, berimplikasi
luas terhadap kehidupan bernegara.
Pertama, upaya tersebut akan memperkeruh hubungan
kelembagaan Komnas HAM-Polri. Pada gilirannya, agenda penegakan hukum dan hak
asasi manusia yang semestinya melibatkan peran aktif keduanya tidak akan
berjalan secara maksimal. Kedua, serangan Polri terhadap Komnas HAM akan
semakin mendegradasi kepercayaan publik kepada Polri. Langkah tersebut akan
dinilai sebagai bentuk kepongahan Polri yang tidak dapat dibiarkan.
Bagaimanapun, Polri jangan pernah melupakan sejarahnya
ketika melepaskan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kekuatan
yang paling kuat mendukung pemisahan Polri dari TNI adalah organisasi
masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Dalam konteks
ini, menyerang Komnas HAM secara tidak langsung juga mengarahkan senjata
kepada orang yang dulunya mendukung perjuangan Polri.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan paling bijak yang mesti
ditempuh Polri selain menahan diri. Jika tetap bersikukuh karena merasa
sedang di atas angin, tidakkah Polri sedang mengumandangkan maklumat: ini
adalah negara polisi! Siapa pun yang tak bersahabat dengan polisi, ia akan
”dihabisi”.
Kalau demikian, bukankah Polri sedang menghadang cita-cita
republik sebagai negara hukum yang demokratis? Polisi bukan penguasa,
melainkan hanya alat negara yang bertanggung jawab memastikan hukum dan
keamanan terjaga dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar