Ketika
Sepak Bola Tak Ada Lagi…
Zen RS ; Esais dan Editor, Tinggal
di Bandung
|
JAWA
POS, 01 Maret 2015
ALIH-ALIH digunakan untuk menjelaskan kebencian Borges pada
sepak bola, cerpen Esse est Percipi
sebenarnya lebih menarik jika digunakan untuk (1) memahami sepak bola
kontemporer sebagai sebuah simulasi canggih dan (2) guna memasuki estetika
Borgesian itu sendiri.
Esai Ilham Q. Moehidin di halaman ini dua pekan lalu (15/2), Sepak Bola dan Motif Politik Paling
Mengerikan, yang menguraikan posisi Borges dalam memandang sepak bola
dengan menyinggung cerpen Esse est
Percipi, sebenarnya tidak terlalu penting untuk ditanggapi. Esai itu,
bagi saya, hanyalah saduran (sebagian bahkan diterjemahkan begitu saja) dari
esai Why Did Borges Hates Soccer
yang ditulis Shaj Mathew di situs www.newrepublic.com (Ilham tak sekali pun
menyebut dan mengakui esai Shaj).
Esai Shaj menyebut Esse est Percipi sebagai (mungkin) bukti
kebencian Borges terhadap sepak bola. Bahwa Borges tidak menyukai sepak bola,
itu bukan rahasia. Dalam sejumlah kesempatan, Borges sering mengungkapkan
ketidakmengertiannya kenapa banyak orang menganggap sepak bola sebagai hal
indah.
”Sepak bola adalah
estetika yang buruk. Sebelas orang melawan sebelas orang lainnya saling
mengejar bola bukanlah keindahan,” kata Borges.
Di buku Seven
Conversations with Jorge Luis Borges, Fernando Sorrentino sempat bertanya
soal sepak bola kepada Borges. Borges dengan telengas menyatakan sepak bola,
sebagaimana kriket dan golf, sebagai dosa bangsa Inggris yang sukar
dimaafkan. Sepak bola, bagi Borges, membuat orang tidak tertarik dengan
permainannya itu sendiri. Orang datang ke stadion bukan untuk menikmati sepak
bola, melainkan untuk melihat kesebelasan yang didukungnya menang. Ini sulit
dipahami karena bahkan sebelum laga dimulai, kata Borges, orang sudah tidak
peduli siapa yang akan bermain lebih baik, mana yang lebih terampil, dan mana
yang lebih kuat (Sorrentino, 2010 :
27-28).
Tapi, cerpen Esse est
Percipi, menurut saya, tak sedang mengobarkan kebencian Borges terhadap
sepak bola. Cerpen itu, dalam cita rasa kontemporer, bisa dibaca sebagai
sebuah kritik yang tajam terhadap industri sepak bola.
Melalui tokoh Tulio Savastano, presiden sebuah kesebelasan di
Argentina, tokoh utama bernama Domecq diberi tahu bahwa sepak bola sebenarnya
sudah lama tidak dimainkan lagi. Salvastano mengatakan bahwa laga terakhir
sepak bola terjadi pada 24 Juni 1937 di Buenos Aires. Setelah itu sepak bola
hanya ”dimainkan” di studio (radio/TV) dengan para penyiar dan komentator
yang berpura-pura melaporkan pertandingan secara langsung.
Dengan gaya khasnya mengacak fakta dan fiksi, lengkap dengan
tanggal serta hari kejadian agar tampak ilmiah, historis, dan faktual, Borges
mendesakkan imajinasinya kepada pembaca untuk percaya bahwa sepak bola yang
disaksikan melalui layar kaca bukanlah sepak bola sebagai permainan,
melainkan sepak bola sebagai simulasi yang dilebih-lebihkan.
Pada 1963, ketika Borges menulis cerpen itu, tentu saja teknologi
belum secanggih seperti sekarang. Tapi, cerpen itu sudah bisa bernubuat
tentang sepak bola yang disimulasikan media seperti yang kita saksikan
sekarang: yang terperinci, detail, dan bisa disaksikan dari berbagai sudut.
Dengan kamera berjumlah puluhan, tak ada sudut yang tak bisa ditampilkan di
layar kaca.
Melalui media yang dari hari ke hari kian canggih menyodorkan
”tayangan sepak bola” (frasa ini harus diberi tanda petik), batas geografis
tak pernah lagi bisa menghalangi emosi dan tensi. Frasa ”tayangan sepak bola”
menegaskan watak yang berbeda dengan sepak bola yang disaksikan langsung di
stadion. Di stadion, sepak bola hadir sebagai realitas tak tepermanai: Anda
bisa menonton penonton yang lain, Anda bisa menyimak pemain yang sedang
menggiring bola, dan Anda juga masih bisa mengamati gerak-gerik kiper atau
bek tengah saat rekan-rekan penyerangnya sedang bertarung di kotak penalti
lawan yang jauhnya bisa 50 sampai 80 meter.
Sementara ”tayangan sepak bola” hadir sepotong-sepotong karena
”pemirsa” (ini untuk membedakan dengan ”penonton” yang merujuk mereka yang
hadir di stadion) tak pernah bisa menikmati sepak bola sebagai pengalaman tak
tepermanai. Yang bisa dinikmati pemirsa adalah sepak bola yang disodorkan
kamera dan umumnya kamera selalu menyorot mereka-mereka yang ada di dekat
bola.
Tapi, tayangan sepak bola bisa menyiasati kekurangan itu.
Tayangan sepak bola mengalihkan kelemahannya menjadi kelebihan dengan cara
membelejeti detail. Maka, jangan heran jika kini tv getol menayangkan
bagaimana kiper berteriak-teriak dalam gerak lambat sampai-sampai urat-urat
lehernya terlihat jelas.
Jangan heran jika para suporter yang menonton di kafe, misalnya,
juga bisa bereaksi sebagaimana para suporter di stadion. Sangat biasa mereka
bernyanyi-nyanyi, membawa spanduk, dan bahkan menyalakan flare yang berasap
(tak peduli mereka ada di kafe atau di gedung indoor). Bahkan, ada suporter
kesebelasan X yang berkunjung ke kafe yang menjadi markas suporter rival
dengan gaya, ekspresi, dan tensi seakan mereka sedang berkunjung ke stadion
lawan. Sangat serius, sangat penuh penghayatannya.
Inilah situasi ketika tayangan sepak bola di layar kaca bisa
sama menggugahnya dengan, dan bahkan menggantikan, sepak bola yang sebenarnya
yang dimainkan di stadion. Baudrillard menyebutnya sebagai hiperealitas:
ketika orang tak bisa lagi membedakan asli dan palsu, fakta dan rekayasa,
masa lalu dan masa kini, tanda dan realitas.
Ketika tayangan sepak bola menggantikan sepak bola per se yang
dimainkan di stadion, ini sama seperti (dengan mengutip Baudrillard kembali)
ketika pornografi menjadi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri. Itu semua
terjadi, bagi Baudrillard, karena berlangsungnya praktik simulasi: proses
yang membuat representasi (gambaran) atas tanda-tanda realitas justru
menggantikan realitas itu sendiri.
Saya belum pernah mendengar ada pertandingan sepak bola yang
disimulasikan di studio dan kemudian dipancarkan melalui TV/radio sebagaimana
dalam cerpen Borges. Tapi, jika menyaksikan bagaimana game sepak bola (seperti
yang dimainkan lewat PlayStation atau Football Manager, misalnya) dari tahun
ke tahun semakin mendekati aslinya. Suara penonton di tribun hingga gerak dan
gestur pemain dihadirkan dengan efek yang sedemikian rupa sehingga terasa
seperti pertandingan sebenarnya.
Dari sinilah pengertian Esse
est Percipi yang dijadikan judul cerpen oleh Borges bisa mulai ditelisik.
Esse est percipi atau being is
being perceived adalah postulat yang disodorkan George Berkeley. Melalui
postulat itu, Berkeley ingin mengatakan bahwa keberadaan sebuah objek
tersebut ada karena dapat dipersepsi (oleh pikiran). Arti lebih jauh adalah
dunia materiil sebenarnya sama saja dengan ide-ide kita sendiri. Tidak ada
dunia materiil yang berada di luar kesadaran kita –yang ada adalah ide atau
penangkapan persepsi kita (Franky
Hardiman, 2004 : 84).
Dengan itulah, cerpen Esse
est Percipi bisa dipahami sebagai upaya Borges menjelaskan kenapa ada
banyak sekali orang yang bisa sangat serius menyaksikan tayangan sepak bola
yang berasal dari tempat yang ribuan mil jauhnya. Laga yang ditayangkan
merupakan sesuatu yang riil, nyata, faktual karena bisa dipersepsi orang yang
mendengar/menyaksikannya lewat radio/TV.
Tentu saja ini cara baca yang menarik karena bisa membantu
memahami cara kerja industri sepak bola yang menjelma menjadi raksasa yang
memutar/menghasilkan uang miliaran juta dolar. Tapi, saya juga harus membuka
kemungkinan untuk berasyik masyuk menikmati ”kebenaran cerita” Borges perihal
tidak ada lagi sepak bola yang dimainkan –yang ada hanyalah laga yang
disimulasikan di studio. Sebab, inilah justru yang menjadi kekhasan Borges.
Dia masyhur karena kemampuannya menyusun cerita yang mempermainkan realitas,
mengacak-acak sejarah, serta bermain-main dengan biografi, kutipan dari
sebuah buku, ensiklopedi, hingga kitab suci.
Saya merasa tak ada nada kebencian terhadap sepak bola dalam
cerpen Borges ini sebagaimana diutarakan Shaj Mathew. Cerpen itu mencerminkan
kecenderungan literer Borges dalam bercerita. Sepak bola, di situ, tak
ubahnya buku/ensiklopedia yang sering menjadi ”korban” Borges yang mahir
bermain-main dengan realitas.
Borges memang sering berhasil membuat pembacanya ”terkecoh”
dengan permainan itu. Dengan cerdik dia sering berhasil memaksa pembacanya
percaya kisah yang disampaikannya sebagai hal yang faktual, historis, sebagai
”ada” (being). Esse est percipi, being is being perceived, ada karena bisa dipersepsi.
Dengan memahami esse est percipi, estetika Borgesian menjadi
bisa lebih dipahami. Dan Borges memang beberapa kali menulis tentang kuatnya
pengaruh postulat Berkeley bagi dirinya –cerpen ini salah satu di antaranya.
Dalam buku Navigations:
Collected Irish Essays (2006 : 342) yang disusun Richard Kearney, Borges
mengatakan bahwa pengaruh itu dipicu ayahnya yang memperkenalkan konsep
Berkeley di meja makan dengan menggunakan jeruk sebagai tamsilnya. Pelajaran
itu diterima Borges saat dirinya berusia sepuluh tahun.
Bagi saya, cerpen Esse est
Percipi tak ubahnya sebuah dentang bel yang terus-menerus mengingatkan
untuk jangan melupakan sepak bola lokal. Sebab, sepak bola lokal inilah yang
masih mungkin diakses sehari-hari oleh kita yang jauh dari Manchester, Roma,
Madrid, atau Liverpool. Sepak bola lokal menyodorkan sepak bola sebagai
permainan per se dan bukan simulasi yang dilebih-lebihkan oleh teknologi.
Persoalannya: siapa yang bisa menjamin sepak bola yang saya
saksikan di Stadion Si Jalak Harupat atau Gelora Bung Karno bukanlah produk
simulasi para mafia? Bukankah sepak bola gajah, seperti yang dipertontonkan
PSS dan PSIS beberapa waktu lalu, adalah seburuk-buruknya simulasi sepak
bola?
Mari tutup mata saja kalau begitu. Percaya sajalah bahwa sepak
bola bukanlah produk simulasi. Selama saya percaya, maka jadilah. Esse est percipi. Being is being
perceived.
Mungkin dari situlah, akhirnya, saya bisa lebih menikmati
semesta kisah dalam cerpen Esse est
Percipi: tidak ada lagi sepak bola.
Sebab, sepak bola yang sesungguhnya dimainkan kali terakhir pada 24 Juni 1937
di Buones Aires. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar