Selasa, 03 Maret 2015

Ketika Sepak Bola Tak Ada Lagi…

Ketika Sepak Bola Tak Ada Lagi…

Zen RS  ;  Esais dan Editor, Tinggal di Bandung
JAWA POS, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

ALIH-ALIH digunakan untuk menjelaskan kebencian Borges pada sepak bola, cerpen Esse est Percipi sebenarnya lebih menarik jika digunakan untuk (1) memahami sepak bola kontemporer sebagai sebuah simulasi canggih dan (2) guna memasuki estetika Borgesian itu sendiri.

Esai Ilham Q. Moehidin di halaman ini dua pekan lalu (15/2), Sepak Bola dan Motif Politik Paling Mengerikan, yang menguraikan posisi Borges dalam memandang sepak bola dengan menyinggung cerpen Esse est Percipi, sebenarnya tidak terlalu penting untuk ditanggapi. Esai itu, bagi saya, hanyalah saduran (sebagian bahkan diterjemahkan begitu saja) dari esai Why Did Borges Hates Soccer yang ditulis Shaj Mathew di situs www.newrepublic.com (Ilham tak sekali pun menyebut dan mengakui esai Shaj).

Esai Shaj menyebut Esse est Percipi sebagai (mungkin) bukti kebencian Borges terhadap sepak bola. Bahwa Borges tidak menyukai sepak bola, itu bukan rahasia. Dalam sejumlah kesempatan, Borges sering mengungkapkan ketidakmengertiannya kenapa banyak orang menganggap sepak bola sebagai hal indah.

”Sepak bola adalah estetika yang buruk. Sebelas orang melawan sebelas orang lainnya saling mengejar bola bukanlah keindahan,” kata Borges.

Di buku Seven Conversations with Jorge Luis Borges, Fernando Sorrentino sempat bertanya soal sepak bola kepada Borges. Borges dengan telengas menyatakan sepak bola, sebagaimana kriket dan golf, sebagai dosa bangsa Inggris yang sukar dimaafkan. Sepak bola, bagi Borges, membuat orang tidak tertarik dengan permainannya itu sendiri. Orang datang ke stadion bukan untuk menikmati sepak bola, melainkan untuk melihat kesebelasan yang didukungnya menang. Ini sulit dipahami karena bahkan sebelum laga dimulai, kata Borges, orang sudah tidak peduli siapa yang akan bermain lebih baik, mana yang lebih terampil, dan mana yang lebih kuat (Sorrentino, 2010 : 27-28).

Tapi, cerpen Esse est Percipi, menurut saya, tak sedang mengobarkan kebencian Borges terhadap sepak bola. Cerpen itu, dalam cita rasa kontemporer, bisa dibaca sebagai sebuah kritik yang tajam terhadap industri sepak bola.

Melalui tokoh Tulio Savastano, presiden sebuah kesebelasan di Argentina, tokoh utama bernama Domecq diberi tahu bahwa sepak bola sebenarnya sudah lama tidak dimainkan lagi. Salvastano mengatakan bahwa laga terakhir sepak bola terjadi pada 24 Juni 1937 di Buenos Aires. Setelah itu sepak bola hanya ”dimainkan” di studio (radio/TV) dengan para penyiar dan komentator yang berpura-pura melaporkan pertandingan secara langsung.

Dengan gaya khasnya mengacak fakta dan fiksi, lengkap dengan tanggal serta hari kejadian agar tampak ilmiah, historis, dan faktual, Borges mendesakkan imajinasinya kepada pembaca untuk percaya bahwa sepak bola yang disaksikan melalui layar kaca bukanlah sepak bola sebagai permainan, melainkan sepak bola sebagai simulasi yang dilebih-lebihkan.

Pada 1963, ketika Borges menulis cerpen itu, tentu saja teknologi belum secanggih seperti sekarang. Tapi, cerpen itu sudah bisa bernubuat tentang sepak bola yang disimulasikan media seperti yang kita saksikan sekarang: yang terperinci, detail, dan bisa disaksikan dari berbagai sudut. Dengan kamera berjumlah puluhan, tak ada sudut yang tak bisa ditampilkan di layar kaca.

Melalui media yang dari hari ke hari kian canggih menyodorkan ”tayangan sepak bola” (frasa ini harus diberi tanda petik), batas geografis tak pernah lagi bisa menghalangi emosi dan tensi. Frasa ”tayangan sepak bola” menegaskan watak yang berbeda dengan sepak bola yang disaksikan langsung di stadion. Di stadion, sepak bola hadir sebagai realitas tak tepermanai: Anda bisa menonton penonton yang lain, Anda bisa menyimak pemain yang sedang menggiring bola, dan Anda juga masih bisa mengamati gerak-gerik kiper atau bek tengah saat rekan-rekan penyerangnya sedang bertarung di kotak penalti lawan yang jauhnya bisa 50 sampai 80 meter.

Sementara ”tayangan sepak bola” hadir sepotong-sepotong karena ”pemirsa” (ini untuk membedakan dengan ”penonton” yang merujuk mereka yang hadir di stadion) tak pernah bisa menikmati sepak bola sebagai pengalaman tak tepermanai. Yang bisa dinikmati pemirsa adalah sepak bola yang disodorkan kamera dan umumnya kamera selalu menyorot mereka-mereka yang ada di dekat bola.

Tapi, tayangan sepak bola bisa menyiasati kekurangan itu. Tayangan sepak bola mengalihkan kelemahannya menjadi kelebihan dengan cara membelejeti detail. Maka, jangan heran jika kini tv getol menayangkan bagaimana kiper berteriak-teriak dalam gerak lambat sampai-sampai urat-urat lehernya terlihat jelas.

Jangan heran jika para suporter yang menonton di kafe, misalnya, juga bisa bereaksi sebagaimana para suporter di stadion. Sangat biasa mereka bernyanyi-nyanyi, membawa spanduk, dan bahkan menyalakan flare yang berasap (tak peduli mereka ada di kafe atau di gedung indoor). Bahkan, ada suporter kesebelasan X yang berkunjung ke kafe yang menjadi markas suporter rival dengan gaya, ekspresi, dan tensi seakan mereka sedang berkunjung ke stadion lawan. Sangat serius, sangat penuh penghayatannya.

Inilah situasi ketika tayangan sepak bola di layar kaca bisa sama menggugahnya dengan, dan bahkan menggantikan, sepak bola yang sebenarnya yang dimainkan di stadion. Baudrillard menyebutnya sebagai hiperealitas: ketika orang tak bisa lagi membedakan asli dan palsu, fakta dan rekayasa, masa lalu dan masa kini, tanda dan realitas.

Ketika tayangan sepak bola menggantikan sepak bola per se yang dimainkan di stadion, ini sama seperti (dengan mengutip Baudrillard kembali) ketika pornografi menjadi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri. Itu semua terjadi, bagi Baudrillard, karena berlangsungnya praktik simulasi: proses yang membuat representasi (gambaran) atas tanda-tanda realitas justru menggantikan realitas itu sendiri.

Saya belum pernah mendengar ada pertandingan sepak bola yang disimulasikan di studio dan kemudian dipancarkan melalui TV/radio sebagaimana dalam cerpen Borges. Tapi, jika menyaksikan bagaimana game sepak bola (seperti yang dimainkan lewat PlayStation atau Football Manager, misalnya) dari tahun ke tahun semakin mendekati aslinya. Suara penonton di tribun hingga gerak dan gestur pemain dihadirkan dengan efek yang sedemikian rupa sehingga terasa seperti pertandingan sebenarnya.

Dari sinilah pengertian Esse est Percipi yang dijadikan judul cerpen oleh Borges bisa mulai ditelisik. Esse est percipi atau being is being perceived adalah postulat yang disodorkan George Berkeley. Melalui postulat itu, Berkeley ingin mengatakan bahwa keberadaan sebuah objek tersebut ada karena dapat dipersepsi (oleh pikiran). Arti lebih jauh adalah dunia materiil sebenarnya sama saja dengan ide-ide kita sendiri. Tidak ada dunia materiil yang berada di luar kesadaran kita –yang ada adalah ide atau penangkapan persepsi kita (Franky Hardiman, 2004 : 84).

Dengan itulah, cerpen Esse est Percipi bisa dipahami sebagai upaya Borges menjelaskan kenapa ada banyak sekali orang yang bisa sangat serius menyaksikan tayangan sepak bola yang berasal dari tempat yang ribuan mil jauhnya. Laga yang ditayangkan merupakan sesuatu yang riil, nyata, faktual karena bisa dipersepsi orang yang mendengar/menyaksikannya lewat radio/TV.

Tentu saja ini cara baca yang menarik karena bisa membantu memahami cara kerja industri sepak bola yang menjelma menjadi raksasa yang memutar/menghasilkan uang miliaran juta dolar. Tapi, saya juga harus membuka kemungkinan untuk berasyik masyuk menikmati ”kebenaran cerita” Borges perihal tidak ada lagi sepak bola yang dimainkan –yang ada hanyalah laga yang disimulasikan di studio. Sebab, inilah justru yang menjadi kekhasan Borges. Dia masyhur karena kemampuannya menyusun cerita yang mempermainkan realitas, mengacak-acak sejarah, serta bermain-main dengan biografi, kutipan dari sebuah buku, ensiklopedi, hingga kitab suci.

Saya merasa tak ada nada kebencian terhadap sepak bola dalam cerpen Borges ini sebagaimana diutarakan Shaj Mathew. Cerpen itu mencerminkan kecenderungan literer Borges dalam bercerita. Sepak bola, di situ, tak ubahnya buku/ensiklopedia yang sering menjadi ”korban” Borges yang mahir bermain-main dengan realitas.

Borges memang sering berhasil membuat pembacanya ”terkecoh” dengan permainan itu. Dengan cerdik dia sering berhasil memaksa pembacanya percaya kisah yang disampaikannya sebagai hal yang faktual, historis, sebagai ”ada” (being). Esse est percipi, being is being perceived, ada karena bisa dipersepsi.

Dengan memahami esse est percipi, estetika Borgesian menjadi bisa lebih dipahami. Dan Borges memang beberapa kali menulis tentang kuatnya pengaruh postulat Berkeley bagi dirinya –cerpen ini salah satu di antaranya.

Dalam buku Navigations: Collected Irish Essays (2006 : 342) yang disusun Richard Kearney, Borges mengatakan bahwa pengaruh itu dipicu ayahnya yang memperkenalkan konsep Berkeley di meja makan dengan menggunakan jeruk sebagai tamsilnya. Pelajaran itu diterima Borges saat dirinya berusia sepuluh tahun.

Bagi saya, cerpen Esse est Percipi tak ubahnya sebuah dentang bel yang terus-menerus mengingatkan untuk jangan melupakan sepak bola lokal. Sebab, sepak bola lokal inilah yang masih mungkin diakses sehari-hari oleh kita yang jauh dari Manchester, Roma, Madrid, atau Liverpool. Sepak bola lokal menyodorkan sepak bola sebagai permainan per se dan bukan simulasi yang dilebih-lebihkan oleh teknologi.

Persoalannya: siapa yang bisa menjamin sepak bola yang saya saksikan di Stadion Si Jalak Harupat atau Gelora Bung Karno bukanlah produk simulasi para mafia? Bukankah sepak bola gajah, seperti yang dipertontonkan PSS dan PSIS beberapa waktu lalu, adalah seburuk-buruknya simulasi sepak bola?

Mari tutup mata saja kalau begitu. Percaya sajalah bahwa sepak bola bukanlah produk simulasi. Selama saya percaya, maka jadilah. Esse est percipi. Being is being perceived.

Mungkin dari situlah, akhirnya, saya bisa lebih menikmati semesta kisah dalam cerpen Esse est Percipi: tidak ada lagi sepak bola. Sebab, sepak bola yang sesungguhnya dimainkan kali terakhir pada 24 Juni 1937 di Buones Aires.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar