Selasa, 03 Maret 2015

Cara Mengakses Para Maestro yang Sudah Mati

Cara Mengakses Para Maestro yang Sudah Mati

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

SALAH satu topik yang selalu menarik perhatian saya adalah bagaimana pikiran bekerja dan bagaimana seseorang mewujudkan kehidupan yang dia jalani. Ada orang-orang yang selalu beruntung, ada orang-orang yang selalu bernasib nahas. Saya tidak berniat menyampaikan bahwa kelompok pertama adalah orang-orang yang berhasil, sedangkan yang lain adalah orang-orang yang gagal.

Mereka sama-sama sukses. Kelompok pertama, Anda tahu, mengembangkan cara berpikir yang berhasil menjadikan diri mereka selalu beruntung. Kelompok kedua mengembangkan cara berpikir yang berhasil menjadikan diri mereka selalu sial.

Kita bisa mengatakan bahwa memang ada orang-orang yang ditakdirkan bernasib sial dan, sebaliknya, ada orang-orang yang ditakdirkan beruntung. Jika kita percaya ada keadilan bagi semua manusia, kita mestinya percaya bahwa setiap manusia memiliki potensi yang sama untuk mewujudkan keberhasilan mereka.

Keberuntungan, kesialan, dan cara berpikir yang mendasari keduanya itulah yang membuat Richard Wiseman penasaran. Dia kemudian melakukan riset dan melaporkan hasilnya dalam sebuah buku menarik berjudul The Luck Factor.

Itu bacaan yang menyenangkan, setidaknya ia memberi kita inspirasi tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keberuntungan. Setiap kehidupan yang buruk (dan kesialan terus-menerus adalah kehidupan yang buruk), efeknya selalu kita rasakan di level individu. Demikian pula setiap kualitas kehidupan yang meningkat. Memang, seseorang yang selalu dirundung nasib sial bisa melakukan tindakan yang meresahkan para tetangga. Tetapi, efek mula-mula dari kesialan tersebut dirasakan orang itu sendiri di level individu, sebelum dia mengembangkan diri menjadi orang yang meresahkan lingkungan.

Banyak buku yang sudah ditulis orang tentang bagaimana Anda perlu menggunakan kekuatan pikiran untuk membentuk nasib Anda sendiri. Ada penjelasan-penjelasan simpel yang coba diberikan tentang bagaimana pikiran mewujudkan gagasan menjadi materi. Salah satunya begini:

Katakanlah Anda mempunyai gagasan tentang sebuah rumah yang Anda inginkan, mula-mula Anda merancang baik-baik bentuk rumah itu di dalam pikiran. Kemudian, Anda mengubah gagasan tersebut menjadi gambar dua dimensi melalui bantuan seorang arsitek dan sekarang pemikiran Anda sudah menjadi bentuk rumah di atas kertas. Langkah selanjutnya adalah melakukan sesuatu, dengan mengerahkan segala sumber daya yang Anda miliki, untuk mewujudkan rancangan itu menjadi rumah betulan.

Selanjutnya, Anda memikirkan mebel, bagaimana menghias dinding, dan bagaimana mengisi ruangan-ruangan dengan pernak-pernik seperti yang Anda pikirkan. Sesekali Anda menggeser-geser letak kursi atau tempat tidur atau lemari di kamar. Itu semua demi kenyamanan Anda di dunia kecil yang Anda ciptakan sendiri.

Tentu saja Anda bisa membangun rumah tanpa gagasan dan mungkin rumah Anda akan berbentuk gubuk penceng. Tetapi, karena Anda tidak merancangnya, Anda tidak perlu kecewa.

Hal yang ingin disampaikan dalam perumpamaan itu adalah kita mewujudkan segala sesuatu mula-mula dari pikiran. Prinsip pentingnya, kita menyibukkan pikiran kita dengan satu hal.

Pada masa kampanye pemilihan presiden tahun lalu, ketika saya menyibukkan pikiran hanya untuk mendukung kandidat yang saya inginkan menang, setiap hari yang ada dalam pikiran saya hanya urusan itu. Bahkan, Piala Dunia sepak bola, yang pada masa-masa itu, nyaris tidak saya ingat. Untuk kali pertama sejak mengikuti siaran Piala Dunia, pergelaran di Brasil itulah yang paling tidak mampu menarik perhatian saya dan untuk kali pertama pula saya tidak merasa sedih saat Brasil kalah.

Pikiran saya hanya dikuasai satu hal, yakni bagaimana ikut berkampanye –melalui media sosial– untuk mendukung kandidat pilihan saya. Hanya urusan itulah yang setiap saat ada di dalam pikiran. Hal-hal rutin sehari-hari tentu saja tetap saya jalani, tetapi pikiran saya terserap sepenuhnya ke satu hal itu.

Saya mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan setiap hari sibuk menggunakan pikiran untuk membantu memenangkan pasangan tersebut. Mereka pun menang. Jika sekarang Jokowi tidak bisa menjadi presiden yang baik, itu urusan Pak Presiden dengan dirinya sendiri. Kita berpikir dia punya keberanian, ternyata tidak. Jika dia tidak mampu mengembangkan potensi terbaiknya sebagai presiden dan gagal menggunakan kesempatan yang dimiliki untuk berbuat yang terbaik bagi bangsanya, itu kegagalannya sendiri.

Begitulah, pikiran kita tampaknya hanya bisa berfokus pada satu hal. Dan ketika Anda memenuhi pikiran dengan satu hal itu terus-menerus, Anda tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan hal lainnya, sampai Anda merasa cukup untuk satu hal itu dan perlu menyibukkan pikiran dengan hal lain.

Saat saya sibuk berpikir tentang pikiran, seorang teman, yang bertahun-tahun kemudian baru muncul lagi, menelepon dan mengajak bertemu. Kami pun bertemu hari berikutnya dan dia menyampaikan ilmu yang sangat memikat, yakni cara mengakses pengetahuan dari orang-orang yang sudah mati.

’’Para ilmuwan menyampaikan hukum tentang kekekalan energi,’’ katanya. ’’Jadi, pengetahuan-pengetahuan dan seluruh kecakapan yang dimiliki orang-orang yang hidup sebelum kita, dan sekarang sudah mati, sebetulnya tidak pernah lenyap. Mereka berubah menjadi energi yang kekal.’’

Dia menyukai petualangan-petualangan semacam itu, yang oleh umum dianggap sebagai klenik dan dia menamainya dimensi keempat dan seterusnya dari semesta ini. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut. Jadi, yang bisa saya lakukan hanya menyimak dan menyediakan telinga untuk pertemanan kami.

Menurut dia, sekarang ada kenalannya yang sedang mendalami ilmu untuk mengakses pengetahuan dari para maestro yang sudah mati itu.

’’Nanti kita temui dia,’’ katanya.

’’Saya mau mengakses John Lennon,’’ kata saya.

Dia menginginkan Beethoven.

Setelah itu, kami tidak bertemu lagi dan kami juga tidak pernah mengunjungi kenalannya yang sedang mendalami ilmu mengakses pengetahuan-pengetahuan purba. Saya berharap benar-benar ada orang yang bisa mengakses pengetahuan-pengetahuan semacam itu. Hal itu akan mempermudah dan mempersingkat waktu pembelajaran.

Untuk memiliki kemampuan bela diri, saya tinggal menyediakan diri terhadap Wong Fei Hung atau Bruce Lee. Untuk mendapatkan kegeniusan, kita tinggal menghubungi Albert Einstein. Untuk menjadikan diri penakluk Batavia, kita tinggal mengakses Jan Pieterszoon Coen.

Hanya, sampai sekarang saya tidak pernah mendapat kabar ada satu orang Indonesia yang meraih hadiah Nobel atau penghargaan apa pun yang lain dengan cara mengakses pengetahuan dari para peraih Nobel yang sudah mati. Maka, kita anggap saja ilmu semacam itu tidak ada dan kita tetap harus melakukan setiap upaya dengan pikiran kita sendiri. Kita perlu menyibukkan pikiran kita untuk membentuk diri kita sendiri.

Dan salah satu teknik termudah untuk memenuhi pikiran dengan hal-hal yang kita inginkan adalah sugesti-diri, yakni kita menanamkan kesadaran tertentu ke dalam benak kita, terus-menerus selama beberapa waktu, persetan apa pun hasilnya.

Emile Coue (1857–1926), penyembuh dari Prancis dan orang pertama yang memelopori teknik ini, telah menggunakan metode sugesti-diri untuk menolong banyak orang menyembuhkan diri sendiri dari berbagai macam penyakit. Dia mengajari setiap pasiennya untuk mengatakan berulang-ulang, menjelang tidur dan saat baru bangun tidur, kalimat singkat: ’’Setiap hari, dalam segala hal, keadaanku semakin membaik, semakin membaik.’’

Anda bisa saja menggunakan kalimat Anda sendiri dan menyampaikannya berulang-ulang: ’’Setiap hari, dalam segala hal, saya semakin sial, semakin sial.’’ Atau, ’’Setiap hari, dalam segala hal, keberuntungan saya membaik, semakin membaik.’’ Yang perlu Anda lakukan hanyalah menyampaikannya berulang-ulang dan tidak usah peduli apa pun hasilnya.

Jika Anda seorang penulis, Anda bisa saja menyugesti diri dengan kalimat: ’’Saya bisa menulis sebaik dia atau lebih baik dari dia.’’ Terserah siapa ’’dia’’ yang Anda maksudkan. Sugesti-diri adalah cara termudah untuk menyibukkan pikiran Anda dengan satu hal terus-menerus dalam waktu sekian lama, sampai ia menjadi bagian dari diri Anda, menjadi pemikiran yang tidak Anda sadari.

Itu juga merupakan cara yang mudah untuk membebaskan Anda dari kebingungan, dan dari pikiran yang mengembara ke sana-kemari. Ia juga memudahkan Anda menampik ajakan yang menggiurkan untuk membenamkan diri ke dalam dunia yang ingar-bingar tidak tentu arah.
Pikiran kita, bagaimanapun, adalah satu-satunya barang ajaib yang kita miliki. Jika kita tidak menyugesti diri kita sendiri, orang-orang lain yang akan melakukannya. Anda akan memercayai saja apa kata orang, Anda akan bergunjing, Anda akan hanyut di depan televisi dan emosi Anda diaduk-aduk oleh acara yang sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan Anda.

Jadi, jika Anda menyepakati Emile Coue, sampaikan saja menjelang tidur dan saat bangun tidur, hal-hal terbaik tentang diri Anda dan peduli setan apakah Anda akan menjadi seperti itu atau tidak. Yang lebih penting di sini adalah Anda telah menanamkan kesadaran terbaik tentang diri Anda sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar