Cara
Mengakses Para Maestro yang Sudah Mati
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang,
Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA
POS, 01 Maret 2015
SALAH satu topik yang selalu menarik perhatian saya adalah
bagaimana pikiran bekerja dan bagaimana seseorang mewujudkan kehidupan yang
dia jalani. Ada orang-orang yang selalu beruntung, ada orang-orang yang
selalu bernasib nahas. Saya tidak berniat menyampaikan bahwa kelompok pertama
adalah orang-orang yang berhasil, sedangkan yang lain adalah orang-orang yang
gagal.
Mereka sama-sama sukses. Kelompok pertama, Anda tahu,
mengembangkan cara berpikir yang berhasil menjadikan diri mereka selalu
beruntung. Kelompok kedua mengembangkan cara berpikir yang berhasil
menjadikan diri mereka selalu sial.
Kita bisa mengatakan bahwa memang ada orang-orang yang
ditakdirkan bernasib sial dan, sebaliknya, ada orang-orang yang ditakdirkan
beruntung. Jika kita percaya ada keadilan bagi semua manusia, kita mestinya
percaya bahwa setiap manusia memiliki potensi yang sama untuk mewujudkan
keberhasilan mereka.
Keberuntungan, kesialan, dan cara berpikir yang mendasari
keduanya itulah yang membuat Richard Wiseman penasaran. Dia kemudian
melakukan riset dan melaporkan hasilnya dalam sebuah buku menarik berjudul
The Luck Factor.
Itu bacaan yang menyenangkan, setidaknya ia memberi kita
inspirasi tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk memperbaiki
keberuntungan. Setiap kehidupan yang buruk (dan kesialan terus-menerus adalah
kehidupan yang buruk), efeknya selalu kita rasakan di level individu.
Demikian pula setiap kualitas kehidupan yang meningkat. Memang, seseorang
yang selalu dirundung nasib sial bisa melakukan tindakan yang meresahkan para
tetangga. Tetapi, efek mula-mula dari kesialan tersebut dirasakan orang itu
sendiri di level individu, sebelum dia mengembangkan diri menjadi orang yang
meresahkan lingkungan.
Banyak buku yang sudah ditulis orang tentang bagaimana Anda
perlu menggunakan kekuatan pikiran untuk membentuk nasib Anda sendiri. Ada
penjelasan-penjelasan simpel yang coba diberikan tentang bagaimana pikiran
mewujudkan gagasan menjadi materi. Salah satunya begini:
Katakanlah Anda mempunyai gagasan tentang sebuah rumah yang Anda
inginkan, mula-mula Anda merancang baik-baik bentuk rumah itu di dalam
pikiran. Kemudian, Anda mengubah gagasan tersebut menjadi gambar dua dimensi
melalui bantuan seorang arsitek dan sekarang pemikiran Anda sudah menjadi
bentuk rumah di atas kertas. Langkah selanjutnya adalah melakukan sesuatu, dengan
mengerahkan segala sumber daya yang Anda miliki, untuk mewujudkan rancangan
itu menjadi rumah betulan.
Selanjutnya, Anda memikirkan mebel, bagaimana menghias dinding,
dan bagaimana mengisi ruangan-ruangan dengan pernak-pernik seperti yang Anda
pikirkan. Sesekali Anda menggeser-geser letak kursi atau tempat tidur atau
lemari di kamar. Itu semua demi kenyamanan Anda di dunia kecil yang Anda
ciptakan sendiri.
Tentu saja Anda bisa membangun rumah tanpa gagasan dan mungkin
rumah Anda akan berbentuk gubuk penceng. Tetapi, karena Anda tidak
merancangnya, Anda tidak perlu kecewa.
Hal yang ingin disampaikan dalam perumpamaan itu adalah kita
mewujudkan segala sesuatu mula-mula dari pikiran. Prinsip pentingnya, kita
menyibukkan pikiran kita dengan satu hal.
Pada masa kampanye pemilihan presiden tahun lalu, ketika saya
menyibukkan pikiran hanya untuk mendukung kandidat yang saya inginkan menang,
setiap hari yang ada dalam pikiran saya hanya urusan itu. Bahkan, Piala Dunia
sepak bola, yang pada masa-masa itu, nyaris tidak saya ingat. Untuk kali
pertama sejak mengikuti siaran Piala Dunia, pergelaran di Brasil itulah yang
paling tidak mampu menarik perhatian saya dan untuk kali pertama pula saya
tidak merasa sedih saat Brasil kalah.
Pikiran saya hanya dikuasai satu hal, yakni bagaimana ikut
berkampanye –melalui media sosial– untuk mendukung kandidat pilihan saya.
Hanya urusan itulah yang setiap saat ada di dalam pikiran. Hal-hal rutin
sehari-hari tentu saja tetap saya jalani, tetapi pikiran saya terserap
sepenuhnya ke satu hal itu.
Saya mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan setiap hari sibuk
menggunakan pikiran untuk membantu memenangkan pasangan tersebut. Mereka pun
menang. Jika sekarang Jokowi tidak bisa menjadi presiden yang baik, itu
urusan Pak Presiden dengan dirinya sendiri. Kita berpikir dia punya
keberanian, ternyata tidak. Jika dia tidak mampu mengembangkan potensi
terbaiknya sebagai presiden dan gagal menggunakan kesempatan yang dimiliki
untuk berbuat yang terbaik bagi bangsanya, itu kegagalannya sendiri.
Begitulah, pikiran kita tampaknya hanya bisa berfokus pada satu
hal. Dan ketika Anda memenuhi pikiran dengan satu hal itu terus-menerus, Anda
tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan hal lainnya, sampai Anda merasa
cukup untuk satu hal itu dan perlu menyibukkan pikiran dengan hal lain.
Saat saya sibuk berpikir tentang pikiran, seorang teman, yang
bertahun-tahun kemudian baru muncul lagi, menelepon dan mengajak bertemu.
Kami pun bertemu hari berikutnya dan dia menyampaikan ilmu yang sangat
memikat, yakni cara mengakses pengetahuan dari orang-orang yang sudah mati.
’’Para ilmuwan menyampaikan hukum tentang kekekalan energi,’’
katanya. ’’Jadi, pengetahuan-pengetahuan dan seluruh kecakapan yang dimiliki
orang-orang yang hidup sebelum kita, dan sekarang sudah mati, sebetulnya
tidak pernah lenyap. Mereka berubah menjadi energi yang kekal.’’
Dia menyukai petualangan-petualangan semacam itu, yang oleh umum
dianggap sebagai klenik dan dia menamainya dimensi keempat dan seterusnya
dari semesta ini. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut. Jadi, yang
bisa saya lakukan hanya menyimak dan menyediakan telinga untuk pertemanan
kami.
Menurut dia, sekarang ada kenalannya yang sedang mendalami ilmu
untuk mengakses pengetahuan dari para maestro yang sudah mati itu.
’’Nanti kita temui dia,’’ katanya.
’’Saya mau mengakses John Lennon,’’ kata saya.
Dia menginginkan Beethoven.
Setelah itu, kami tidak bertemu lagi dan kami juga tidak pernah
mengunjungi kenalannya yang sedang mendalami ilmu mengakses pengetahuan-pengetahuan
purba. Saya berharap benar-benar ada orang yang bisa mengakses
pengetahuan-pengetahuan semacam itu. Hal itu akan mempermudah dan
mempersingkat waktu pembelajaran.
Untuk memiliki kemampuan bela diri, saya tinggal menyediakan
diri terhadap Wong Fei Hung atau Bruce Lee. Untuk mendapatkan kegeniusan,
kita tinggal menghubungi Albert Einstein. Untuk menjadikan diri penakluk
Batavia, kita tinggal mengakses Jan Pieterszoon Coen.
Hanya, sampai sekarang saya tidak pernah mendapat kabar ada satu
orang Indonesia yang meraih hadiah Nobel atau penghargaan apa pun yang lain
dengan cara mengakses pengetahuan dari para peraih Nobel yang sudah mati.
Maka, kita anggap saja ilmu semacam itu tidak ada dan kita tetap harus
melakukan setiap upaya dengan pikiran kita sendiri. Kita perlu menyibukkan
pikiran kita untuk membentuk diri kita sendiri.
Dan salah satu teknik termudah untuk memenuhi pikiran dengan
hal-hal yang kita inginkan adalah sugesti-diri, yakni kita menanamkan
kesadaran tertentu ke dalam benak kita, terus-menerus selama beberapa waktu,
persetan apa pun hasilnya.
Emile Coue (1857–1926), penyembuh dari Prancis dan orang pertama
yang memelopori teknik ini, telah menggunakan metode sugesti-diri untuk
menolong banyak orang menyembuhkan diri sendiri dari berbagai macam penyakit.
Dia mengajari setiap pasiennya untuk mengatakan berulang-ulang, menjelang
tidur dan saat baru bangun tidur, kalimat singkat: ’’Setiap hari, dalam
segala hal, keadaanku semakin membaik, semakin membaik.’’
Anda bisa saja menggunakan kalimat Anda sendiri dan
menyampaikannya berulang-ulang: ’’Setiap hari, dalam segala hal, saya semakin
sial, semakin sial.’’ Atau, ’’Setiap hari, dalam segala hal, keberuntungan
saya membaik, semakin membaik.’’ Yang perlu Anda lakukan hanyalah
menyampaikannya berulang-ulang dan tidak usah peduli apa pun hasilnya.
Jika Anda seorang penulis, Anda bisa saja menyugesti diri dengan
kalimat: ’’Saya bisa menulis sebaik dia atau lebih baik dari dia.’’ Terserah
siapa ’’dia’’ yang Anda maksudkan. Sugesti-diri adalah cara termudah untuk
menyibukkan pikiran Anda dengan satu hal terus-menerus dalam waktu sekian
lama, sampai ia menjadi bagian dari diri Anda, menjadi pemikiran yang tidak
Anda sadari.
Itu juga merupakan cara yang mudah untuk membebaskan Anda dari
kebingungan, dan dari pikiran yang mengembara ke sana-kemari. Ia juga
memudahkan Anda menampik ajakan yang menggiurkan untuk membenamkan diri ke
dalam dunia yang ingar-bingar tidak tentu arah.
Pikiran kita, bagaimanapun, adalah satu-satunya barang ajaib
yang kita miliki. Jika kita tidak menyugesti diri kita sendiri, orang-orang
lain yang akan melakukannya. Anda akan memercayai saja apa kata orang, Anda
akan bergunjing, Anda akan hanyut di depan televisi dan emosi Anda
diaduk-aduk oleh acara yang sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan
Anda.
Jadi, jika Anda menyepakati Emile Coue, sampaikan saja menjelang
tidur dan saat bangun tidur, hal-hal terbaik tentang diri Anda dan peduli
setan apakah Anda akan menjadi seperti itu atau tidak. Yang lebih penting di
sini adalah Anda telah menanamkan kesadaran terbaik tentang diri Anda
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar