Jumat, 06 Maret 2015

Dana Rumah Aspirasi

Dana Rumah Aspirasi

Ramlan Surbakti  ;  Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga
KOMPAS, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ke depan, setiap anggota DPR yang ingin membangun rumah aspirasi di daerah pemilihan akan mendapat suntikan dana Rp 150 juta per tahun, setara dengan Rp 12,5 juta per bulan. Dana rumah aspirasi itu dialokasikan untuk biaya sewa rumah dan keperluan operasional rumah aspirasi. Demikian diungkapkan Kompas dalam tulisan "Kinerja Legislatif: Mengawal Dana Rumah Aspirasi", Kamis (26/2/2015).

Kalau berbicara mengenai rumah aspirasi di setiap daerah pemilihan (dapil) haruslah dikaitkan dengan sistem perwakilan politik karena setiap dapil merupakan arena persaingan antarpeserta pemilu pada masa pemilu dan menjadi konstituensi yang harus diwakili peserta pemilu yang dipercaya rakyat setelah pemilu. Salah satu aspek dari sistem perwakilan politik adalah siapa yang mewakili konstituensi (dapil).

Karena itu, patut dipertanyakan, apakah penyediaan dana rumah aspirasi kepada setiap anggota DPR sesuai dengan sistem perwakilan politik Indonesia? Siapakah yang mewakili konstituensi (dapil) dalam sistem perwakilan politik Indonesia: anggota DPR ataukah partai politik yang memiliki kursi di DPR?

Delapan alasan

Menurut pendapat saya, parpol yang mendapat kursi di DPR-lah yang mewakili dapil dalam sistem perwakilan politik Indonesia. Delapan alasan akan dikemukakan untuk mendukung pendapat ini, baik berdasarkan UUD 1945 maupun UU yang mengatur pemilu dan UU yang mengatur tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Jawaban pertama atas pertanyaan tersebut adalah siapakah yang menjadi peserta pemilu anggota DPR, baik menurut UUD 1945 maupun sistem pemilu anggota DPR menurut UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

UUD 1945 membedakan tiga peserta pemilu untuk penyelenggara negara lembaga legislatif dan eksekutif baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pertama, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan parpol atau gabungan parpol untuk pemilihan presiden dan wakil presiden (Pasal 6). Kedua, parpol untuk pemilu anggota DPR dan DPRD (Pasal 22E Ayat 3). Ketiga, perseorangan untuk pemilihan anggota DPD (Pasal 22E Ayat 4). Belakangan, UU yang mengatur pemilihan kepala daerah menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan perseorangan untuk pilkada. Dengan demikian, yang mewakili dapil dalam sistem perwakilan politik Indonesia adalah parpol sebagai peserta pemilu.

Yang menjadi pertanyaan, parpol yang mana? Berdasarkan UU No 8 Tahun 2012 dapat disimpulkan adanya tiga kategori parpol di Indonesia. Pertama, parpol yang telah mendapat status hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak menjadi peserta pemilu, baik karena tidak mendaftarkan diri ke KPU maupun karena dinyatakan tidak memenuhi persyaratan menjadi peserta pemilu oleh KPU.

Kedua, partai politik peserta pemilu (P4) tetapi tidak mencapai ambang batas perwakilan sehingga tidak memiliki kursi di DPR. PBB dan PKP Indonesia termasuk kategori kedua ini.

Ketiga, P4 yang memiliki kursi di DPR. Sepuluh P4 memiliki kursi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014. Dengan demikian, yang mewakili dapil dalam sistem perwakilan politik Indonesia dewasa ini adalah sepuluh P4 yang mendapat kursi pada Pemilu 2014.

Jumlah dapil pemilu anggota DPR merupakan alasan kedua. Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/ kota atau gabungan kabupaten/kota. Besaran dapil pemilu anggota DPR yang ditetapkan dalam UU bukan satu kursi seperti dalam sistem pemilihan umum mayoritarian, melainkan berkisar 3-10 kursi. Jumlah dapil anggota DPR yang ditetapkan dalam Lampiran UU No 8 Tahun 2012 bukan 560, melainkan hanya 77. Berdasarkan jumlah penduduk setiap provinsi, 70 dari 77 dapil ini memiliki kursi antara enam sampai dengan sepuluh.

Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin keterwakilan (representativeness) rakyat bukan untuk menjamin akuntabilitas wakil rakyat seperti dalam sistem pemilihan umum mayoritarian. Karena itu Dana Rumah Aspirasi kepada setiap anggota DPR tidak sejalan dengan besaran dapil pemilu anggota DPR: jumlah dapil DPR bukan 560, melainkan hanya 77.

Pola pencalonan anggota DPR merupakan alasan ketiga. Pola pencalonan anggota DPR menurut UU No 8 Tahun 2012 adalah sistem daftar calon berdasarkan nomor urut yang ditetapkan oleh P4 (party list). Pola pencalonan anggota DPR menggunakan daftar partai tidak saja karena partai politiklah yang menjadi peserta pemilu, tetapi juga karena besaran dapil pemilu anggota DPR berkisar antara tiga sampai sepuluh kursi. Dengan besaran dapil seperti ini, tidak mungkin individu anggota DPR terpilih sebagai yang mewakili dapil. Akan tetapi, penetapan calon terpilih anggota DPR menurut UU No 8 Tahun 2012 tidak berdasarkan daftar nomor urut calon yang ditetapkan oleh P4, tetapi berdasarkan urutan jumlah perolehan suara di antara calon.

Hal ini merupakan salah satu kontradiksi atau penyimpangan dalam sistem pemilu anggota DPR. Namun, hal ini "dikoreksi" oleh para pemilih Indonesia, baik pada Pemilu 2009 maupun Pemilu 2014. Sebanyak 95 persen anggota DPR terpilih pada kedua pemilu ini menempati nomor urut kecil: 1 atau 2 atau 3 dalam daftar calon tetap (DCT) yang ditetapkan P4.

Materi kampanye merupakan alasan keempat. Setiap P4 diwajibkan menyusun visi, misi, dan program pembangunan bangsa sebagai materi kampanye pemilu. Materi kampanye yang disampaikan kepada para pemilih pada masa kampanye pemilu bukan visi, misi, dan program pembangunan dari setiap calon anggota DPR, melainkan yang ditetapkan oleh P4 sebagai penjabaran ideologi partai. Kalau rakyat yang berhak memilih di setiap dapil memberikan kepercayaan kepada suatu P4, tak lain karena menilai program pembangunan yang ditawarkan sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya. P4-lah yang harus mendengarkan aspirasi konstituen berdasarkan ideologi partai bersangkutan, dan memperjuangkan program partai dalam pengambilan keputusan di DPR.

Alasan keenam menyangkut pemilik kursi DPR. Yang memiliki kursi di setiap dapil bukan anggota DPR yang dinyatakan terpilih, melainkan P4 yang mendapat kepercayaan rakyat, sedangkan anggota DPR hanyalah pengisi kursi partai. Hal ini tidak saja karena parpol-lah yang menjadi peserta pemilu anggota DPR, tetapi juga karena menggunakan formula pemilihan proporsional dalam pembagian kursi di setiap dapil. Langkah pertama dalam pembagian kursi di setiap dapil bukan pembagian kursi kepada calon, melainkan pembagian kursi kepada P4 proporsional dengan jumlah suara sah yang diperoleh.

Langkah kedua baru penetapan calon terpilih pada setiap dapil kepada P4 yang mendapat kursi. Kursi yang diberikan kepada calon berdasarkan urutan jumlah perolehan suara merupakan kursi milik partai sebagai peserta pemilu. Calon anggota DPR yang dinyatakan terpilih mengisi kursi partai tidak harus mencapai jumlah suara mayoritas ataupun mencapai jumlah suara bilangan pembagi pemilih (BPP), tetapi mencapai jumlah suara yang lebih banyak daripada jumlah suara calon lain dari P4 dan dapil yang sama. Dari hasil Pemilu 2014 terungkap bahwa hanya sepuluh anggota DPR yang memperoleh suara 190.000 sampai 398.000.

Selebihnya terpilih mengisi kursi P4 karena sumbangan suara calon lain alias suara P4. Selain itu, DPP P4-lah yang berhak mengajukan keberatan terhadap keputusan KPU tentang hasil pemilu anggota DPR kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini tak lain karena P4 yang jadi peserta pemilu anggota DPR dan menjadi pemilik suara yang diberikan oleh pemilih.

Dua alasan lain berdasarkan UU MD3 dapat dikemukakan untuk memperkuat pendapat di atas, yakni (1) pengambilan keputusan di DPR dilakukan berdasarkan pendapat akhir setiap fraksi P4. Fraksi setiap P4 di DPR merupakan perpanjangan tangan DPP P4 masing-masing. Mengapa demikian? Tidak lain karena P4 yang memiliki kursi di DPR-lah yang mewakili dapil di DPR. Lalu (2) yang berwenang menarik (recalled) anggota DPR dari kedudukannya sebagai anggota DPR bukan para pemilih melalui petisi seperti dalam negara yang menggunakan sistem pemilihan umum mayoritarian, melainkan DPP P4 masing-masing. Ini tak lain karena P4 menjadi pemilik kursi di DPR.

Tidak sesuai sistem perwakilan

Alasan yang paling mendasar mengapa P4 yang memiliki kursi di DPR-lah yang mewakili dapil dalam sistem perwakilan politik di Indonesia adalah karena parpol merupakan peserta pemilu anggota DPR. Ketujuh alasan lainnya merupakan konsekuensi dari status partai sebagai peserta pemilu. Semua alasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa Dana Rumah Aspirasi untuk setiap anggota DPR tidak sesuai dengan sistem perwakilan politik Indonesia yang menempatkan P4 sebagai yang mewakili dapil karena menjadi peserta pemilu dan pemilik kursi di DPR.

P4 melaksanakan dua fungsi penting dalam demokrasi perwakilan. Pertama, menyiapkan calon pemimpin politik dan menawarkan mereka pada masa kampanye pemilu. Hal ini dilakukan melalui berbagai tahapan proses: perekrutan warga negara menjadi anggota partai, kaderisasi anggota partai menjadi kader partai, dan menominasikan kader partai menjadi calon dalam berbagai jenis pemilu.

Kedua, menyiapkan pola dan arah kebijakan publik dalam berbagai isu publik (visi, misi, dan program pembangunan bangsa) berdasarkan aspirasi konstituen dan ideologi partai dan kemudian menawarkan program itu kepada rakyat pada masa kampanye pemilu. Hal ini merupakan produk dari mendengarkan aspirasi rakyat dan menjabarkan ideologi partai. Kedua fungsi ini dijalankan sebagai peserta pemilu.

Bagaimana P4 mewakili dapil? Pertama, pimpinan partai tingkat nasional dan daerah mengoordinasi anggota DPR yang mengisi kursi partai di suatu dapil untuk bertemu dengan anggota partai dan simpatisan di daerah. Pertemuan dan konsultasi anggota DPR di dapil masing-masing harus melalui dan bersama dengan institusi partai tingkat nasional dan daerah. Setiap P4 sudah memiliki Rumah Aspirasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota, yaitu tempat P4 berkantor, baik karena sudah mendapat jatah dari pemerintah pada masa Orde Baru (Partai Golkar, PPP, dan PDI Perjuangan) maupun karena usaha partai sendiri (hak milik, kontrak, atau pinjaman) untuk tujuh P4 lainnya. Kedua, DPP P4 wajib mendengarkan anggota DPR dari fraksinya sebelum menetapkan kebijakan partai yang harus dijalankan oleh fraksi di DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar