Sabtu, 07 Maret 2015

Mencermati Pelemahan Rupiah

Mencermati Pelemahan Rupiah

Sunarsip  ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
JAWA POS, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

NILAI tukar rupiah dalam sebulan ini cenderung melemah. Puncaknya, 5 Maret, rupiah menyentuh level ’’psikologis’’ baru Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat (USD). Kurangnya sentimen positif, baik dari internal maupun eksternal, mengakibatkan rupiah akhirnya terpuruk.

Bila mengacu pada kondisi fundamental internal, rupiah sebenarnya berpeluang menguat. Mengapa? Pertama, defisit transaksi berjalan (current account) kita semakin tipis. Pada 2014, defisit transaksi berjalan mencapai USD 26,23 miliar atau menurun jika dibandingkan dengan 2013 sebesar USD 29,12 miliar. Penyempitan defisit transaksi berjalan itu terbantu menurunnya defisit neraca perdagangan migas. Januari 2015, karena tertopang penurunan harga minyak mentah, neraca perdagangan kita surplus.

Kedua, dana asing yang mengalir masuk ke Indonesia masih cukup besar. Pada 2014, aliran masuk modal asing portofolio mencapai Rp137,5 triliun, meningkat lebih dari 100 persen jika dibandingkan dengan 2013 yang mencapai Rp 53,3 triliun. Sementara itu, dalam dua bulan terakhir 2015 ini, modal asing portofolio yang masuk mencapai Rp 39,3 triliun.

Credit default swap (CDS) kita, jika dibandingkan dengan peers, juga relatif lebih baik. Akhir Februari lalu, CDS Indonesia berada di level 146, lebih baik daripada Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Relatif rendahnya CDS Indonesia itu menunjukkan bahwa premi risiko investasi di Indonesia relatif lebih baik. Namun, CDS Indonesia tersebut masih kalah jika dibandingkan dengan Thailand dan Filipina.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi Indonesia, meski trennya menurun, masih relatif lebih baik daripada peers. Pada 2014, ekonomi kita tumbuh 5 persen relatif lebih baik jika dibandingkan dengan India, Turki, serta Afrika Selatan. Keempat, seiring dengan penurunan harga minyak, tren inflasi juga melemah.

Nah, dengan mengacu pada berbagai kondisi internal tersebut, semestinya kondisi itu bisa menjadi pendorong untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ke arah yang tidak terlalu rendah. Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu harus dipahami bahwa persoalan nilai tukar tidaklah semata dipengaruhi faktor fundamental, namun harus dikaitkan pula dengan ekspektasi pelaku pasar. Melalui analisis singkat ini, saya akan menjelaskan alasan kondisi fundamental internal tersebut kurang mampu meyakinkan pelaku pasar untuk tidak memburu USD.

Pertama, pergerakan rupiah saat ini lebih banyak dipengaruhi ekspektasi pasar terkait dengan kondisi eksternal dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Pada 5 Maret 2015, pemerintah Tiongkok menyampaikan draf APBN 2015 kepada parlemen Tiongkok. Dalam draf tersebut, Tiongkok menargetkan pertumbuhan ekonomi 2015 hanya 7 persen, lebih rendah daripada 2014 yang tumbuh 7,4 persen.

Angka pertumbuhan ekonomi itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kinerja dalam satu dekade sebelumnya yang tumbuh sekitar 10 persen. Para analis menyebut, kini Tiongkok memasuki era ’’new normal growth’’. Artinya, bila sebelumnya ’’normal growth’’ Tiongkok 9–10 persen, kini ’’new normal growth’’ mereka hanya sekitar 7 persen.

Tiongkok memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Sebagian besar ekspor kita adalah ke Tiongkok. Sebagian besar ekspor itu berupa komoditas. Karena perekonomian Tiongkok lesu, tentu akan timbul ekspektasi bahwa permintaan Tiongkok terhadap barang ekspor dari Indonesia juga menurun. Bila kondisi tersebut terjadi, neraca perdagangan bisa kembali defisit sehingga defisit transaksi berjalan berpotensi meningkat. Selanjutnya, rupiah akan melemah karena kurangnya pasokan USD.

Kedua, nilai tukar rupiah merupakan cerminan demand dan supply USD. Perlu diketahui, pasar valas domestik cenderung persisten mengalami net demand dengan nasabah domestik (individu dan korporasi) sebagai dominant buyer dan non?residen sebagai dominant seller. Salah satu faktor penyebabnya adalah tingginya permintaan USD untuk pembayaran utang luar negeri (ULN).

Per Desember 2014, sesuai dengan data BI, ULN yang jatuh tempo setahun mencapai USD 58,37 miliar atau sekitar 20 persen dari total ULN Indonesia dan 52 persen terhadap cadangan devisa. Tekanan pembayaran ULN yang tinggi, bila tidak diantisipasi, berpotensi mendorong berlanjutnya pelemahan rupiah. Terlebih, sebagian besar ULN kita belum dipagari dengan mekanisme lindung nilai (hedging).

Ketiga, pergerakan rupiah juga sangat dipengaruhi mata uang lawannya (counterparty), yaitu USD. Mulai membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) telah mendorong USD mengalami apresiasi terhadap mata uang mitra dagangnya. Terlebih, kini terdapat kemungkinan bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuannya, meski belum diketahui kapan pelaksanaannya. Sebagai mata uang yang berposisi lebih lemah, apresiasi USD tersebut juga berdampak pada pelemahan rupiah.

Rupiah sebenarnya berpeluang menguat karena faktor eksternal tersebut. Pada 24 Januari lalu, bank sentral Eropa mengeluarkan kebijakan quantitative easing (QE) melalui pembelian surat berharga yang diterbitkan pemerintah dan bank-bank di Eropa senilai 1 triliun euro mulai Maret 2015 hingga September 2016.

Dengan kebijakan QE ala Eropa itu, penempatan dana portofolio di Eropa jadi kurang menarik karena suku bunganya menjadi rendah. Nilai tukar euro juga melemah. Kondisi itu akan mendorong pengalihan investasi portofolio ke emerging market, termasuk ke Indonesia. Sayangnya, efek QE Eropa tersebut tidak sebesar QE yang diterapkan AS sejak 2008 yang berakhir tahun lalu.

Dengan level rupiah terbaru itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu lebih berhati-hati dalam mengelola kebijakan serta ekspektasi pasar. Sebab, salah sedikit saja, dampaknya terhadap pelemahan rupiah bisa berlanjut. Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam mengelola isu-isu nonteknis yang kini berkembang seperti politik dan hukum karena juga bisa berdampak cukup besar bagi pelemahan rupiah.

Dari sisi teknis, pemerintah dan BI perlu segera memagari rupiah dengan melakukan hedging terkait dengan transaksi pembayaran luar negeri. Hedging itu perlu dilakukan pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta yang memiliki kebutuhan USD tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar