Senin, 13 Oktober 2014

UU Mati, Perppu Tak Hidup

                                     UU Mati, Perppu Tak Hidup

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO,  11 Oktober 2014

                                                                                                                       


Akun Twitter saya @mohmahfudmd dibanjiri pertanyaan: Benarkah jika Perppu No. 1 Tahun 2014 ditolak oleh DPR bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam mekanisme pemilihan kepala daerah? Karena tak mungkin menjawab itu melalui Twitter, saya tulis pokok-pokok analisisnya melalui Kolom ini.

Menurut Pasal 22 UUD 1945 jika terjadi keadaan genting dan memaksa Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang- undangan yang hierarkinya sejajar dengan UU. Alasan genting dan memaksa merupakan hak subjektif Presiden, ditentukan sendiri oleh Presiden tanpa ukuran objektif yang ditentukan di dalam UU. Tetapi melalui putusan No..... Mahkamah Konstitusi menentukan tiga rambu alasan untuk dikeluarkannya sebuah Perppu dengan alasan genting dan memaksa: (1) Karena kekosongan hukum atau tidak adanya UU yang mengatur tentang hal yang harus segera diselesaikan berdasar UU;

(2) UU yang ada tidak dapat dipergunakan; (3) Situasi atau waktu sangat mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat UU secara norma. Karena hierarkinya sejajar dengan UU padahal hanya dibuat sendiri oleh Presiden, masa berlakunya Perppu terbatas hanya sampai pada masa sidang DPR berikutnya. Pada masa sidang berikut itu DPR harus melakukan political review atau legislative review atas Perppu tersebut, apakah akan disetujui atau akan ditolak. Jika Perppu itu disetujui oleh DPR maka ia menjadi UU tetapi jika DPR menolak Perppu tersebut maka ia dinyatakan tidak berlaku.

Perppu No 1 Tahun 2014 lahir bukan karena kekosongan hukum, melainkan mengosongkan hukum yang sudah ada dulu (mencabut UU Pilkada) untuk kemudian baru mengisinya dengan Perppu. Hal ini secara yuridis bisa menimbulkan problem kekosongan hukum jika ternyata DPR kelak menolak Perppu tersebut. Sebab pada saat dikeluarkan Perppu itu berlaku secara sah dan dengan itu secara sah pula mencabut keberlakuan UU No. 22 Tahun 2014. Maka itu jika DPR kelak menolak Perppu tersebut bisa terjadi kekosongan hukum karena UU No. 22 Tahun 2014 sudah dimatikan (dicabut), sedangkan Perppu yang menggantikannya tak bisa dihidupkan karena ditolak DPR.

Ada yang mengatakan, jika DPR menolak Perppu tersebut maka UU yang sudah dimatikannya otomatis hidup kembali. Pandangan ini bisa benar dalam bidang hukum perdata, tetapi menurut saya kurang tepat kalau diberlakukan untuk hukum tata negara. Perppu yang direviu di DPR itu bukan tidak sah, melainkan ditolak untuk dijadikan UU. Adapun sebelum ditolak ia berlaku secara sah sehingga sah pula saat mencabut UU No. 22 Tahun 2014. Harus diingat, keputusan DPR dalam mereviu Perppu hanya berisi menerima atau menolak, tak bisa menolak sebagian, menerima sebagian atau menerima dengan perbaikan.

Untuk memberlakukan lagi sebuah UU pun DPR harus melalui pembahasan lagi dari awal, melalui kesepakatan politik, memasukkannya ke dalam Prolegnas, dan membahas sesuai dengan tahapantahapan yang tersedia. Memang baru pertama ini sebuah Perppu langsung mencabut sebuah UU yang mengatur masalah-masalah rutin yang masih eksis, sehingga membuka risiko terjadinya kekosongan hukum jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Maka itu, untuk jangka panjang, perlu penyediaan instrumen hukum untuk mengantisipasinya.

Ada yang mencontohkan bahwa MK sudah pernah membuat putusan menghidupkan lagi UU Ketenagalistrikan setelah terlebih dulu MK menyatakan batal UU Ketenagalistrikan yang baru. Ini tentu hal yang berbeda sebab yang dilakukan MK adalah proses yudikatif, bukan legislatif seperti di DPR dalam melakukan reviu atas Perppu. Sebagai lembaga peradilan, demi kemanfaatan hukum, MK bisa saja memutus hal seperti itu. Di dalam proses peradilan memang ada istilah membatalkan (ex nunc) dan istilah menyatakan batal (ex tunc).

Kalau menyatakan membatalkan maka putusan itu bersifat prospektif (berlaku ke depan sejak diputus), tetapi kalau menyatakan batal maka putusan itu berlaku retroaktif (berlaku ke belakang sejak ditetapkan) sehingga peraturan/ keputusan yang disengketakan dianggap tidak pernah ada dan keputusan/ peraturan yang lama bisa dihidupkan lagi melalui amar putusan. Itu tergantung pada bagaimana pilihan vonis pengadilan, apakah mau memalakan atau menyatakan batal. Tetapi yang kita bicarakan tentang sudah matinya UU dan tak bisa hidupnya Perppu ini adalah dalam konteks political/legislative review di DPR, bukan judicial review.

Kemungkinan terjadinya kekosongan hukum tentang Pilkada karena UU sudah mati dan pilkada tak bisa hidup itu untuk perkembangan politik terbaru sekarang ini memang lebih mungkin tidak terjadi. Sebab sejak keluarnya Perppu tersebut, parpol-parpol yang kemarin getol memperjuangkan dan memenangkan pemilihan melalui DPRD tampaknya tidak menolak; bahkan banyak yang mengisyaratkan akan menerimanya. Tetapi hal tersebut tetap penting didiskusikan secara akademis untuk mengantisipasi masalah yang mungkin, suatu saat, tiba-tiba muncul sehingga perlu instrumen hukum. Di dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya, perlu dicantumkan larangan Perppu langsung mencabut UU melainkan hanya boleh menangguhkan berlaku UU sampai selesainya pembahasaan atau pengujian Perppu tersebut oleh DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar