Tiada
Hari Tanpa Revolusi Mental
Herry Tjahjono ; Terapis Budaya Perusahaan, Jakarta
|
KOMPAS,
20 Oktober 2014
REVOLUSI
mental Jokowi bukan cuma sebuah program besar—tetapi mengakar (radikal, radix
= akar)—yang diharapkan mampu mengubah nasib bangsa. Menganalisis gagasan
Jokowi ini, ke-”radikal”-an revolusi mental itu terpapar lewat beberapa
faktor kehidupan berbangsa-bernegara.
Pertama,
kepemimpinan nasional yang lunglai tecermin dari gejala paradoksal psikologis
masyarakat. Mereka resah dan marah, bukannya bahagia, padahal reformasi telah
berjalan 16 tahun. Kedua, sikap mental semakin rusak, tecermin dari perilaku
amoral, seperti korupsi, intoleransi, kerakusan, dan kekerasan yang semakin
parah.
Namun,
sebagai program mendasar dengan skala raksasa, tidak bisa jika hanya
dicanangkan sekali jadi—terlebih jika hanya menjadi konsumsi kampanye. Karena
sekali lagi, revolusi mental dalam pengertian radikal mensyaratkan
keterampilan kepemimpinan yang berhubungan langsung dengan tiga jenis
”perilaku” penting.
Pertama,
keterampilan kepemimpinan terkait ”perilaku perubahan”. Secara spesifik,
perilaku perubahan berhubungan dengan manusia dan organisasi sekaligus
sehingga memerlukan manajemen perubahan yang benar dan efektif. Revolusi
mental Jokowi memerlukan manajemen perubahan substansial dan instrumental.
Dimensi perubahan
Nyaris
semua praktik manajemen perubahan di negeri ini, baik organisasi bisnis,
pendidikan, sosial, politik, maupun negara bangsa, hanya bergulat pada
dimensi instrumental perubahan. Berbagai kasus alih generasi kepemimpinan
lebih bicara aspek teknis-taktis perubahan, seperti bagaimana meningkatkan
pendapatan dan produktivitas serta membesarkan organisasi. Itu semua hanya
melahirkan transisi organisasional dari pemimpin lama ke pemimpin baru.
Fokus
pada dimensi instrumental perubahan hanya akan mengantar organisasi pada
kondisi rentan, mudah goyah, sering going nowhere, dan akhirnya gagal. Itu
pula yang ditengarai Jokowi dalam tulisannya soal susahnya mendorong nation
building jika hanya mengandalkan perombakan institusional.
Dimensi
substansial perubahan terkait dengan aspek kultural-strategis perubahan,
intangible tetapi sangat mendasar, dan muaranya adalah transformasional,
bukan transisional. Aspek kultural-strategis berhubungan langsung dengan
nilai-nilai bangsa dan ini jauh lebih besar dari ”sekadar” soal teknis.
Contohnya, soal ”martabat bangsa” akibat pelecehan TKI. Ini bukan sekadar
aspek teknis-taktis menyediakan lapangan kerja agar mereka bekerja di negeri
sendiri. Persoalannya adalah bagaimana membuat negeri ini berwibawa sehingga
bangsanya di luar dihormati.
Jokowi
setidaknya telah menangkap hal itu lewat revolusi mentalnya. Namun,
diperlukan keterampilan mengelola perubahan sampai dimensi substansial sejak
awal pemerintahannya, selain dimensi instrumental yang juga mengemuka.
Sekadar pengingat, kebutuhan organisasi praktis sering menjebak seorang
pemimpin untuk melupakan dimensi substansial perubahan dan hanya berkutat
pada dimensi instrumental perubahan. Dan jika itu yang dilakukan, yang
terjadi hanya transisi perubahan, bukan transformasi.
Kedua,
keterampilan kepemimpinan soal ”perilaku organisasi” agar melahirkan sense of ownership soal revolusi
mental di pemerintahannya. Jokowi mesti sadar bahwa prioritas utama dari
kepemimpinannya adalah melahirkan rasa memiliki (sense of ownership) terhadap gagasan dan prinsip revolusi mental
di jajaran kabinetnya.
Mulai diri sendiri
Secara
praksis perilaku organisasi, ide atau visi besar revolusi mental itu bisa
dimulai dari Jokowi sendiri, misalnya melahirkan sense of ownership revolusi
mental dengan menamakan kabinetnya sebagai ”kabinet revolusi mental”.
Selanjutnya, menjadikan prinsip-prinsip revolusi mental sebagai parameter
pokok seleksi dan perekrutan menteri dalam kabinetnya, baru menentukan
kualifikasi dan kompetensi teknis. Konsekuensinya, sehebat apa pun sang
kandidat, jika tidak memiliki soft competence sesuai prinsip-prinsip revolusi
mental, tabu masuk dalam kabinet revolusi mental.
Langkah
lebih teknis dari upaya menumbuhkan sense of ownership revolusi mental adalah
dengan mewajibkan segenap jajarannya membuat program kerja pokok terkait
revolusi mental sesuai dengan karakteristik kementerian masing-masing.
Prinsip-prinsip pokok revolusi mental yang digariskan Jokowi sejak awal,
menjadi payung (grand design) yang melingkupi semua desain dari masing-masing
pembantunya. Setelah itu barulah setiap menteri menyusun rencana dan target
kerja teknis.
Ketiga,
keterampilan kepemimpinan terkait ”perilaku manusia” seutuhnya, bukan sekadar
tindakan manusia yang kasatmata. Perilaku korupsi, intoleransi lewat
kekerasan, dan sebagainya adalah tindakan manusia yang kasatmata dan akhirnya
bisa dihakimi. Namun, perilaku seutuhnya, termasuk pikiran dan pola pikir,
dalam bahasa revolusi mental Jokowi adalah paradigma.
Jika
kita hanya berfokus pada perilaku kasatmata, perubahan radikal manusia tidak
bisa terjadi. Paradigma yang mendasari semua perilaku manusia perlu perubahan
yang akan melahirkan perubahan sikap-mental. Hanya dari sanalah perubahan
perilaku manusia yang mengakar bisa terjadi.
Contoh
ekstrem adalah perilaku teroris yang bersedia melakukan tindakan paling
ekstrem sekalipun sebab yang diubah, dipengaruhi, dan dibentuk adalah pola
pikirnya, paradigmanya. Sayang, perubahan paradigma manusia tidak bisa
dilakukan sekali jadi. Perubahan paradigma manusia berlangsung dalam proses
tanpa henti. Dalam bahasa manajemen keterampilan manusia harus dilakukan setiap
hari tanpa putus.
Maka,
Jokowi perlu memulai dari jajaran pembantu terdekatnya dengan membuat program
kerja harian yang dilandasi prinsip-prinsip revolusi mentalnya. Selanjutnya,
para pembantunya itu menurunkan ke bawahan masing-masing, demikian seterusnya.
Pendeknya,
tiada hari tanpa revolusi mental! Jika tidak, revolusi mental hanya akan
bernasib sama dengan visi-visi megalomania yang sering dicanangkan para
pemimpin bangsa terdahulu yang hanya menjadi slogan kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar