Selasa, 21 Oktober 2014

Tiada Hari Tanpa Revolusi Mental

Tiada Hari Tanpa Revolusi Mental

Herry Tjahjono  ;   Terapis Budaya Perusahaan, Jakarta
KOMPAS,  20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


REVOLUSI mental Jokowi bukan cuma sebuah program besar—tetapi mengakar (radikal, radix = akar)—yang diharapkan mampu mengubah nasib bangsa. Menganalisis gagasan Jokowi ini, ke-”radikal”-an revolusi mental itu terpapar lewat beberapa faktor kehidupan berbangsa-bernegara.

Pertama, kepemimpinan nasional yang lunglai tecermin dari gejala paradoksal psikologis masyarakat. Mereka resah dan marah, bukannya bahagia, padahal reformasi telah berjalan 16 tahun. Kedua, sikap mental semakin rusak, tecermin dari perilaku amoral, seperti korupsi, intoleransi, kerakusan, dan kekerasan yang semakin parah.

Namun, sebagai program mendasar dengan skala raksasa, tidak bisa jika hanya dicanangkan sekali jadi—terlebih jika hanya menjadi konsumsi kampanye. Karena sekali lagi, revolusi mental dalam pengertian radikal mensyaratkan keterampilan kepemimpinan yang berhubungan langsung dengan tiga jenis ”perilaku” penting.

Pertama, keterampilan kepemimpinan terkait ”perilaku perubahan”. Secara spesifik, perilaku perubahan berhubungan dengan manusia dan organisasi sekaligus sehingga memerlukan manajemen perubahan yang benar dan efektif. Revolusi mental Jokowi memerlukan manajemen perubahan substansial dan instrumental.

Dimensi perubahan

Nyaris semua praktik manajemen perubahan di negeri ini, baik organisasi bisnis, pendidikan, sosial, politik, maupun negara bangsa, hanya bergulat pada dimensi instrumental perubahan. Berbagai kasus alih generasi kepemimpinan lebih bicara aspek teknis-taktis perubahan, seperti bagaimana meningkatkan pendapatan dan produktivitas serta membesarkan organisasi. Itu semua hanya melahirkan transisi organisasional dari pemimpin lama ke pemimpin baru.

Fokus pada dimensi instrumental perubahan hanya akan mengantar organisasi pada kondisi rentan, mudah goyah, sering going nowhere, dan akhirnya gagal. Itu pula yang ditengarai Jokowi dalam tulisannya soal susahnya mendorong nation building jika hanya mengandalkan perombakan institusional.

Dimensi substansial perubahan terkait dengan aspek kultural-strategis perubahan, intangible tetapi sangat mendasar, dan muaranya adalah transformasional, bukan transisional. Aspek kultural-strategis berhubungan langsung dengan nilai-nilai bangsa dan ini jauh lebih besar dari ”sekadar” soal teknis. Contohnya, soal ”martabat bangsa” akibat pelecehan TKI. Ini bukan sekadar aspek teknis-taktis menyediakan lapangan kerja agar mereka bekerja di negeri sendiri. Persoalannya adalah bagaimana membuat negeri ini berwibawa sehingga bangsanya di luar dihormati.

Jokowi setidaknya telah menangkap hal itu lewat revolusi mentalnya. Namun, diperlukan keterampilan mengelola perubahan sampai dimensi substansial sejak awal pemerintahannya, selain dimensi instrumental yang juga mengemuka. Sekadar pengingat, kebutuhan organisasi praktis sering menjebak seorang pemimpin untuk melupakan dimensi substansial perubahan dan hanya berkutat pada dimensi instrumental perubahan. Dan jika itu yang dilakukan, yang terjadi hanya transisi perubahan, bukan transformasi.

Kedua, keterampilan kepemimpinan soal ”perilaku organisasi” agar melahirkan sense of ownership soal revolusi mental di pemerintahannya. Jokowi mesti sadar bahwa prioritas utama dari kepemimpinannya adalah melahirkan rasa memiliki (sense of ownership) terhadap gagasan dan prinsip revolusi mental di jajaran kabinetnya.

Mulai diri sendiri

Secara praksis perilaku organisasi, ide atau visi besar revolusi mental itu bisa dimulai dari Jokowi sendiri, misalnya melahirkan sense of ownership revolusi mental dengan menamakan kabinetnya sebagai ”kabinet revolusi mental”. Selanjutnya, menjadikan prinsip-prinsip revolusi mental sebagai parameter pokok seleksi dan perekrutan menteri dalam kabinetnya, baru menentukan kualifikasi dan kompetensi teknis. Konsekuensinya, sehebat apa pun sang kandidat, jika tidak memiliki soft competence sesuai prinsip-prinsip revolusi mental, tabu masuk dalam kabinet revolusi mental.

Langkah lebih teknis dari upaya menumbuhkan sense of ownership revolusi mental adalah dengan mewajibkan segenap jajarannya membuat program kerja pokok terkait revolusi mental sesuai dengan karakteristik kementerian masing-masing. Prinsip-prinsip pokok revolusi mental yang digariskan Jokowi sejak awal, menjadi payung (grand design) yang melingkupi semua desain dari masing-masing pembantunya. Setelah itu barulah setiap menteri menyusun rencana dan target kerja teknis.

Ketiga, keterampilan kepemimpinan terkait ”perilaku manusia” seutuhnya, bukan sekadar tindakan manusia yang kasatmata. Perilaku korupsi, intoleransi lewat kekerasan, dan sebagainya adalah tindakan manusia yang kasatmata dan akhirnya bisa dihakimi. Namun, perilaku seutuhnya, termasuk pikiran dan pola pikir, dalam bahasa revolusi mental Jokowi adalah paradigma.

Jika kita hanya berfokus pada perilaku kasatmata, perubahan radikal manusia tidak bisa terjadi. Paradigma yang mendasari semua perilaku manusia perlu perubahan yang akan melahirkan perubahan sikap-mental. Hanya dari sanalah perubahan perilaku manusia yang mengakar bisa terjadi.

Contoh ekstrem adalah perilaku teroris yang bersedia melakukan tindakan paling ekstrem sekalipun sebab yang diubah, dipengaruhi, dan dibentuk adalah pola pikirnya, paradigmanya. Sayang, perubahan paradigma manusia tidak bisa dilakukan sekali jadi. Perubahan paradigma manusia berlangsung dalam proses tanpa henti. Dalam bahasa manajemen keterampilan manusia harus dilakukan setiap hari tanpa putus.

Maka, Jokowi perlu memulai dari jajaran pembantu terdekatnya dengan membuat program kerja harian yang dilandasi prinsip-prinsip revolusi mentalnya. Selanjutnya, para pembantunya itu menurunkan ke bawahan masing-masing, demikian seterusnya.

Pendeknya, tiada hari tanpa revolusi mental! Jika tidak, revolusi mental hanya akan bernasib sama dengan visi-visi megalomania yang sering dicanangkan para pemimpin bangsa terdahulu yang hanya menjadi slogan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar