Kamis, 02 Oktober 2014

Politik Kosmetik SBY

Politik Kosmetik SBY

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
SINAR HARAPAN,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


Begitu entengnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat “merasa kecewa” atas putusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menetapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) di DPRD. Hal itu disampaikan dalam jumpa pers di The Willard Hotel Washington DC, Amerika Serikat, sesaat setelah voting DPR, Kamis (25/9) dini hari waktu Indonesia.

SBY menegaskan kekecewaan itu lantaran usulan Fraksi Demokrat di DPR terkait sepuluh opsi tidak diakomodasi fraksi lain. Fraksi Demokrat memaksakan agar sepuluh opsi perbaikan pilkada langsung dijadikan opsi ketiga untuk dipilih dalam voting, selain opsi pertama pilkada langsung dan opsi kedua pilkada di DPRD. Belakangan terungkap bahwa walk-out-nya Fraksi Demokrat dari ruang sidang paripurna DPR agar tidak ikut voting, karena Ketua Fraksi Demokrat mendapat SMS dari SBY.

Akhirnya, DPR memutuskan pilkada dilakukan anggota DPRD. Itu karena suara yang mendukung dari Koalisi Merah Putih (KMP) jauh di atas suara yang mendukung pilkada langsung. Hengkangnya Fraksi Demokrat dari ruang rapat menyebabkan suara pendukung pilkada langsung kalah. Kekecewaan SBY tak lebih dari sekadar “politik kosmetik”. Seolah-olah ia sedih, tetapi sebetulnya memang tidak ingin lagi pilkada diberikan pada rakyat.

Memang cukup aneh keinginan Partai Demokrat. Sebab melihat ke belakang, sebetulnya RUU Pilkada yang diajukan pemerintah (presiden) mendesain agar pilkada dilakukan DPRD, bukan pemilihan langsung. Secara logika, semua anggota Fraksi Demokrat tentu mengetahui dan memahami usulan itu.

Kesan Pemaksaan

Sepuluh opsi (syarat) yang diajukan Fraksi Demokrat sebagai “harga mati” yang harus masuk dalam RUU Pilkada setidaknya bisa diartikan dalam dua aspek. Pertama, dijadikan sebagai senjata yang terkesan dipaksakan. Fraksi Demokrat memilih pilkada langsung berdasarkan keinginan rakyat. Dianggapnya pilkada langsung selama ini banyak kelemahannya sehingga kesepuluh opsi sebagai jalan keluar yang mesti diikuti.

Dalam RUU Pilkada langsung sebetulnya delapan dari sepuluh opsi sudah terakomodasi. Bahkan juga sebagian sudah ada dalam draf RUU Pilkada di DPRD yang didukung partai yang tergabung dalam KMP. Hal ini, misalnya, opsi pertama: harus ada uji publik atas integritas dan kompetensi calon kepala daerah.

Ini sudah ada dalam Pasal 36 RUU Pilkada Langsung bahwa dalam tahap pencalonan, KPUD membentuk tim panel yang terdiri atas lima orang, yaitu dua akademikus, dua tokoh masyarakat, dan satu anggota KPUD untuk melakukan uji publik kompetensi dan integritas para calon.

Begitu pula opsi kedua, yaitu harus ada efisiensi biaya pilkada. Ini juga sudah diatur dalam Pasal 189 RUU Pilkada Langsung, bahwa untuk mengefisiensi biaya akan dilakukan pilkada serentak dimulai pada 2015. Hanya dua opsi Fraksi Demokrat yang tidak diakomodasi, yaitu opsi kedelapan: larangan pencopotan aparat birokrasi setelah pilkada.

Opsi ini tidak diatur dalam RUU karena tidak masuk dalam tahapan pilkada. Opsi lain yang belum diakomodasi adalah opisi kesepuluh, yaitu pencegahan kekerasan dan pembebanan tanggung jawab bagi calon atas kepatuhan pendukungnya.

Kedua, sepertinya Fraksi Demokrat hanya ingin mencari sensasi politik seolah-olah mendukung pilkada langsung, tetapi sebetulnya mendukung pilkada di DPRD. Indikasi ini terlihat dari aksi walk-out menjelang voting. Sebab kalau hanya dua opsi yang belum masuk dalam RUU, tidak mesti lari dari pertarungan kalau memang betul-betul mendukung pilkada langsung.

Seharusnya bisa bersepakat dengan pendukung pilkada langsung lainnya (PDI-P, PKB, dan Hanura), bahwa yang penting memenangkan dulu voting untuk pilkada langsung. Sementara itu, opsi yang belum terpenuhi bisa diatur melalui peraturan pelaksanaan. Wajar jika ada tudingan kalau SBY justru membunuh demokrasi dengan mengebiri hak rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya di daerah.

Konstitusionalitas

Silang pendapat yang cukup panas sebetulnya memiliki dasar dan argumentasi yang sama kuat dan rasional. Bagi yang kontra pilkada di DPRD dianggap merampas kedaulatan rakyat seperti dimaksud Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.

Pilkada di DPRD dinilai mengkhianati amanat reformasi, menjauhkan rakyat dari calon pemimpinnya, dan semakin memperkuat politik oligarki di daerah. Padahal, makna Pasal 1 Ayat (2) UUD, kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, memilih persiden/wakil presiden dan kepala daerah harus sesuai ketentuan yang diatur dalam UUD.

Anggota DPR dipilih melalui pemilu yang diatur pada Pasal 19 Ayat (1), DPD pada Pasal 22 C Ayat (1), dan DPRD pada Pasal 18 Ayat (3) UUD, kemudian diperkuat dalam Pasal 22 E Ayat (2) UUD. Presiden/wakil presiden dipilih langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1 UUD), sedangkan kepala daerah mengacu pada Pasal 18 Ayat (4) UUD yaitu dilakukan “secara demokratis”. Makna konstitusionalitas dipilih “secara demokratis” ialah dipilih melalui perwakilan di DPRD atau dipilih langsung oleh rakyat.

Sekiranya pembuat UUD bermaksud kepala daerah harus dipilih langsung rakyat, tentu akan diatur secara tegas dalam UUD seperti pemilihan presiden. Artinya, pembuat UUD memberi kewenangan kepada pembuat UU untuk menentukan mekanisme pilkada sesuai kondisi ketatanegaraan dan realitas masyarakat di daerah. Hal ini sejalan dengan sikap Mahkamah Konstitusi dari berbagai putusannya.

Secara konstitusionalitas, pilkada “secara demokratis” selain dimaknai dipilih lewat perwakilan dan dipilih langsung, juga melalui penetapan DPRD seperti pemilihan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan wali kota di Jakarta. Bahkan, pilkada bisa juga didesain secara progresif, yaitu secara aklamasi rakyat menyetujui satu calon. Mekanisme pemilihan seperti itu tidak berarti mendistorsi substansi “dipilih secara demokratis”.

Namun, perbedaan pilihan harus disikapi bijak. Keputusan DPR juga layak dihargai sebagai pembelajaran menuju kedewasaan berdemokrasi. Argumentasi kedua kubu sama-sama konstitusional, apalagi “demokrasi hanyalah alat” bukan tujuan. Jika dianggap demokrasi langsung lebih banyak mudaratnya, kemudian DPR memilih pilkada melalui DPRD, tidak berarti negeri ini melangkah mundur dan mengabaikan kedaulatan rakyat.

Jika ada warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar karena diambil alih DPRD, boleh melakukan uji materi ke MK. Biar MK yang menafsirkan dan menetapkan konstitusionalitasnya. Namun yang penting, tidak saling menafikan pandangan yang sesungguhnya sama-sama konstitusional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar