Politik
Kosmetik SBY
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
SINAR
HARAPAN, 01 Oktober 2014
Begitu entengnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga
Ketua Umum Partai Demokrat “merasa kecewa” atas putusan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang menetapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) di DPRD. Hal
itu disampaikan dalam jumpa pers di The
Willard Hotel Washington DC, Amerika Serikat, sesaat setelah voting DPR, Kamis (25/9) dini hari
waktu Indonesia.
SBY menegaskan kekecewaan itu lantaran usulan Fraksi Demokrat di DPR
terkait sepuluh opsi tidak diakomodasi fraksi lain. Fraksi Demokrat memaksakan
agar sepuluh opsi perbaikan pilkada langsung dijadikan opsi ketiga untuk
dipilih dalam voting, selain opsi pertama pilkada langsung dan opsi kedua
pilkada di DPRD. Belakangan terungkap bahwa walk-out-nya Fraksi Demokrat dari ruang sidang paripurna DPR agar
tidak ikut voting, karena Ketua
Fraksi Demokrat mendapat SMS dari SBY.
Akhirnya, DPR memutuskan pilkada dilakukan anggota DPRD. Itu karena
suara yang mendukung dari Koalisi Merah Putih (KMP) jauh di atas suara yang
mendukung pilkada langsung. Hengkangnya Fraksi Demokrat dari ruang rapat
menyebabkan suara pendukung pilkada langsung kalah. Kekecewaan SBY tak lebih
dari sekadar “politik kosmetik”. Seolah-olah ia sedih, tetapi sebetulnya
memang tidak ingin lagi pilkada diberikan pada rakyat.
Memang cukup aneh keinginan Partai Demokrat. Sebab melihat ke belakang,
sebetulnya RUU Pilkada yang diajukan pemerintah (presiden) mendesain agar
pilkada dilakukan DPRD, bukan pemilihan langsung. Secara logika, semua
anggota Fraksi Demokrat tentu mengetahui dan memahami usulan itu.
Kesan
Pemaksaan
Sepuluh opsi (syarat) yang diajukan Fraksi Demokrat sebagai “harga
mati” yang harus masuk dalam RUU Pilkada setidaknya bisa diartikan dalam dua
aspek. Pertama, dijadikan sebagai senjata yang terkesan dipaksakan. Fraksi
Demokrat memilih pilkada langsung berdasarkan keinginan rakyat. Dianggapnya
pilkada langsung selama ini banyak kelemahannya sehingga kesepuluh opsi
sebagai jalan keluar yang mesti diikuti.
Dalam RUU Pilkada langsung sebetulnya delapan dari sepuluh opsi sudah
terakomodasi. Bahkan juga sebagian sudah ada dalam draf RUU Pilkada di DPRD
yang didukung partai yang tergabung dalam KMP. Hal ini, misalnya, opsi
pertama: harus ada uji publik atas integritas dan kompetensi calon kepala
daerah.
Ini sudah ada dalam Pasal 36 RUU Pilkada Langsung bahwa dalam tahap
pencalonan, KPUD membentuk tim panel yang terdiri atas lima orang, yaitu dua
akademikus, dua tokoh masyarakat, dan satu anggota KPUD untuk melakukan uji
publik kompetensi dan integritas para calon.
Begitu pula opsi kedua, yaitu harus ada efisiensi biaya pilkada. Ini
juga sudah diatur dalam Pasal 189 RUU Pilkada Langsung, bahwa untuk
mengefisiensi biaya akan dilakukan pilkada serentak dimulai pada 2015. Hanya
dua opsi Fraksi Demokrat yang tidak diakomodasi, yaitu opsi kedelapan:
larangan pencopotan aparat birokrasi setelah pilkada.
Opsi ini tidak diatur dalam RUU karena tidak masuk dalam tahapan
pilkada. Opsi lain yang belum diakomodasi adalah opisi kesepuluh, yaitu
pencegahan kekerasan dan pembebanan tanggung jawab bagi calon atas kepatuhan
pendukungnya.
Kedua, sepertinya Fraksi Demokrat hanya ingin mencari sensasi politik
seolah-olah mendukung pilkada langsung, tetapi sebetulnya mendukung pilkada
di DPRD. Indikasi ini terlihat dari aksi walk-out
menjelang voting. Sebab kalau hanya
dua opsi yang belum masuk dalam RUU, tidak mesti lari dari pertarungan kalau
memang betul-betul mendukung pilkada langsung.
Seharusnya bisa bersepakat dengan pendukung pilkada langsung lainnya
(PDI-P, PKB, dan Hanura), bahwa yang penting memenangkan dulu voting untuk
pilkada langsung. Sementara itu, opsi yang belum terpenuhi bisa diatur
melalui peraturan pelaksanaan. Wajar jika ada tudingan kalau SBY justru
membunuh demokrasi dengan mengebiri hak rakyat untuk memilih sendiri
pemimpinnya di daerah.
Konstitusionalitas
Silang pendapat yang cukup panas sebetulnya memiliki dasar dan
argumentasi yang sama kuat dan rasional. Bagi yang kontra pilkada di DPRD
dianggap merampas kedaulatan rakyat seperti dimaksud Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Pilkada di DPRD dinilai mengkhianati amanat reformasi, menjauhkan
rakyat dari calon pemimpinnya, dan semakin memperkuat politik oligarki di
daerah. Padahal, makna Pasal 1 Ayat (2) UUD, kedaulatan rakyat untuk memilih
anggota DPR, DPD, DPRD, memilih persiden/wakil presiden dan kepala daerah
harus sesuai ketentuan yang diatur dalam UUD.
Anggota DPR dipilih melalui pemilu yang diatur pada Pasal 19 Ayat (1),
DPD pada Pasal 22 C Ayat (1), dan DPRD pada Pasal 18 Ayat (3) UUD, kemudian
diperkuat dalam Pasal 22 E Ayat (2) UUD. Presiden/wakil presiden dipilih
langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1 UUD), sedangkan kepala daerah mengacu pada
Pasal 18 Ayat (4) UUD yaitu dilakukan “secara demokratis”. Makna
konstitusionalitas dipilih “secara demokratis” ialah dipilih melalui
perwakilan di DPRD atau dipilih langsung oleh rakyat.
Sekiranya pembuat UUD bermaksud kepala daerah harus dipilih langsung
rakyat, tentu akan diatur secara tegas dalam UUD seperti pemilihan presiden.
Artinya, pembuat UUD memberi kewenangan kepada pembuat UU untuk menentukan
mekanisme pilkada sesuai kondisi ketatanegaraan dan realitas masyarakat di
daerah. Hal ini sejalan dengan sikap Mahkamah Konstitusi dari berbagai
putusannya.
Secara konstitusionalitas, pilkada “secara demokratis” selain dimaknai
dipilih lewat perwakilan dan dipilih langsung, juga melalui penetapan DPRD
seperti pemilihan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan wali kota di
Jakarta. Bahkan, pilkada bisa juga didesain secara progresif, yaitu secara
aklamasi rakyat menyetujui satu calon. Mekanisme pemilihan seperti itu tidak
berarti mendistorsi substansi “dipilih secara demokratis”.
Namun, perbedaan pilihan harus disikapi bijak. Keputusan DPR juga layak
dihargai sebagai pembelajaran menuju kedewasaan berdemokrasi. Argumentasi
kedua kubu sama-sama konstitusional, apalagi “demokrasi hanyalah alat” bukan
tujuan. Jika dianggap demokrasi langsung lebih banyak mudaratnya, kemudian
DPR memilih pilkada melalui DPRD, tidak berarti negeri ini melangkah mundur
dan mengabaikan kedaulatan rakyat.
Jika ada warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar
karena diambil alih DPRD, boleh melakukan uji materi ke MK. Biar MK yang
menafsirkan dan menetapkan konstitusionalitasnya. Namun yang penting, tidak
saling menafikan pandangan yang sesungguhnya sama-sama konstitusional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar