Kamis, 02 Oktober 2014

Demokrasi Dibunuh secara Sistematis

Demokrasi Dibunuh secara Sistematis

Benny Susetyo  ;   Seorang Rohaniwan
KORAN JAKARTA,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


Rakyat melihat dengan terang demokrasi telah dibunuh secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Di pengujung masa jabatannya selaku presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berupaya mengembalikan kekuatan Orde Baru yang dulu mati-matian ditumbangkan rakyat pada Mei 1998 dengan cara membunuh demokrasi. Pembunuhan demokrasi melibatkan para penjahat politik di pemerintahan dan DPR. Pada 26 September 2014 rakyat mendapati demokrasi tewas mengenaskan.

Ini mengerikan karena pembunuh demokrasi adalah anak kandungnya sendiri: SBY. Padahal, dia menjadi presiden dua periode berkat demokrasi juga. Namun, dia kini menempatkan demokrasi sebagai ancaman bagi diri, keluarga, partai, dan sekutunya. Dengan berbagai dalih/alibinya, dia menyangkal tuduhan publik sebagai otak pembunuhan demokrasi.

Meskipun SBY memerintahkan untuk mengusut tuntas dalang pembunuhan, rakyat dengan jelas melihat ada noda darah demokrasi di tangannya. Berikut bukti memperkuat tuduhan bahwa demokrasi tewas di tangannya.

Pertama, draf usulan pilkada oleh DPRD berasal dari pemerintah, meskipun terbatas untuk gubernur. Belakangan, dibalik, bupati dan wali kota yang dipilih DPRD. Sebelumnya, usulan itu hanya didukung PKB. Partai-partai lain tetap memilih pilkada langsung baik gubernur, bupati maupun wali kota. Pada 3 September 2014 partai-partai dalam Koalisi Merah Putih (KMP) berubah sikap jadi mendukung pilkada oleh DPRD, kecuali PKS. Pada 9 September PKS berubah sikap dengan mendukung pilkada oleh DPRD.

Kedua, hampir dua tahun pembahasan RUU Pilkada, pemerintah dan Partai Demokrat (PD) tak berubah sikap. Mereka berkukuh membahas RUU Pilkada, meskipun masyarakat mendesak agar pembahasan ditunda. Ketika masyarakat meminta RUU Pilkada dicabut, pemerintah tidak bereaksi dan tetap melanjutkan pembahasan. Ini menegaskan niat dan sikap untuk membunuh demokrasi.

Ketiga, ketika fraksi-fraksi berbalik arah mendukung pilkada oleh DPRD, PD belum menyatakan sikap. Tetapi ketika publik merespons negatif sikap partai-partai KMP yang mendukung pilkada oleh DPRD dan sebagian besar elemen masyarakat tetap menghendaki pilkada langsung, SBY mengklarifikasi sikap partai dan dirinya. Masyarakat menilai opsi pilkada oleh DPRD bakal menjadi warisan buruk presiden.

Melalui Youtube, pada 14 September, SBY menegaskan mendukung pilkada secara langsung. Dia berjanji dalam waktu dua hari, partainya akan menyatakan sikap. Sampai dua hari berakhir PD belum juga menyatakan sikap. Setelah desakan publik terus menguat barulah PD menyatakan setuju pilkada langsung. Jika SBY memang berkomitmen pilkada langsung, seharusnya sejak awal pembahasan tiga tahun lalu, draf pemerintah hanya pilkada langsung. Selain itu, SBY juga bisa menarik pembahasan RUU oleh DPR. Namun, pada kenyataannya, PD justru berperan aktif dalam proses pembunuhan demokrasi.

Keempat, sepuluh hari sebelum paripurna, PD mendukung sepenuhnya pilkada langsung dengan akal-akalan embel-embel 10 syarat perbaikan. Yang aneh, delapan di antaranya sudah ada dalam RUU pilkada. Namun PD tetap berkukuh menyatakan 10 persyaratan belum diakomodasi. Dua hari sebelum paripurna, muncul lagi syarat baru, 10 syarat harus diterima secara musyawarah mufakat.

PD juga mendukung dan mempertahankan pilkada langsung, tetapi harus dengan syarat mutlak, DPR setuju 10 syarat, yang sebelumnya tidak pernah disinggung, apalagi sebagai syarat mutlak. Dari sini sudah ketahuan, sebenarnya SBY tidak menghendaki pilkada langsung. Dengan usulan Demokrat itu maka akan terdapat tiga opsi.

Kelima, saat usulan PD diterima tanpa reserve oleh PDIP, PKB, dan Hanura, sehingga terbuka opsi ketiga, PD justru menunjukkan ekspresi terkejut. Mereka lalu menyatakan netral dan walk out. Mudah sekali ditebak bahwa PD sengaja menyampaikan 10 syarat mutlak itu karena mereka yakin semua fraksi, termasuk PDIP dan koalisinya, akan menolak.

Di luar dugaan, PDIP dan koalisinya (yang diharapkan menolak) justru sangat mendukung. Keanehan lain, saat opsi ketiga terbuka, PD justru walk out sehingga semua tahu lalu voting. Semua juga sudah tahu sebelum voting, KMP pasti menang. Walk out dilakukan atas perintah SBY. Sikap SBY yang prihatin dan kecewa keputusan DPR dan walk out PD tak lebih sebagai sandiwara yang sarat dengan kebohongan.

Keenam, informasi dari Sekjen PPP Romahurmuzy bahwa keputusan walk out PD merupakan strategi yang sejak awal sudah dirancang. Reaksi SBY yang kecewa atas sikap walk out merupakan bagian dari strategi. Romahurmuzy menyatakan sejak awal sudah ada janji PD pada KMP untuk memainkan strategi itu. Pernyataan ini diperkuat Setya Novanto (Golkar) yang membenarkan adanya komunikasi intensif antara PD dan KMP. Ini berarti ada persekongkolan antara Pemerintahan SBY dan para penjahat politik di DPR untuk membunuh demokrasi.

Di balik ini semua rakyat melihat gejala politik sudah kehilangan daya nalar yang sehat karena sekadar kepentingan do ut des (saya mendapat apa). Politik sangat pragmatis. Ini menghilangkan politik beradab. Perjuangan yang dibangun berdarah-darah, musnah sekejap.

Tertipu

Rakyat tertipu memiliki wakil di parlemen. Masyarakat tertipu dan berulang kali tertipu. Tertipu memiliki pelayan yang suka mencuri uang rakyatnya sendiri. Inilah lingkaran kegelapan yang mewarnai kehidupan politik sebagai cerminan betapa nurani sebagai bangsa telah sirna.

Para elite bagai singa sirkus yang lihai memerankan tipu muslihat membuai. Mereka menipu seolah warga tidak tahu, padahal gamblang. Parlemen bagai singa yang siap menerkam dengan ganas. Politik telah menginjak-injak nilai-nilai kebenaran.

Elite politik seharusnya memegang teguh gagasan keutamaan publik dalam perjuangan, sehingga mampu menjadi pemimpin yang bertindak memiliki arete. Cicero dalam Des Res Publica I (XXV 39) menyatakan Res publica res populi, populus autem non omnis hominum coetus qua-qua modo congregatus, sed coetus multitudinis iuris consensus et utilitatis communione sociatus. Di dalam kalimat ini terdapat unsur-unsur hakiki bila sebuah kebersamaan yang disebut sebagai republik ini terus berlangsung.

Republik berakar dari res publica yang memuat kata coetus (perkumpulan), congregatus (keterhimpunan), consensus (kesepakatan, kesaturasaan), utilitas (kemanfaatan, kegunaan, kepentingan, kebaikan mutu), communia (persekutuan, kebersamaan). Republik identik dengan segala hal milik umum (res publica), milik rakyat (res populi).

Kesadaran ini harus menjadi fokus pemimpin Indonesia ke depan. Dia harus mampu menawarkan agenda yang jelas bagi perubahan masyarakat. Dengan memusatkan kesadaran itu, rakyat tidak lagi tertimpa masalah seperti sekarang ini ketika banyak agenda demokrasi justru terlupakan, malah melahirkan kebijakan yang mematikan kedaulatan rakyat.

Berpolitik bukan semata-mata alat menggapai kuasa dengan mengalalkan segala cara, tapi harus menggunakan suara hati. Berpolitik tanpa suara hati pasti salah arah. Publik merindukan sosok elite yang bertindak menggunakan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar