Mengawal
Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi
Abdul Hamid ; Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten;
Kandidat Doktor di Doshisha
University, Jepang
|
KORAN
SINDO, 07 Oktober 2014
MENURUT
kabar, Jokowi akan memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua
kementerian: “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah” dan “Kementerian
Riset dan Pendidikan Tinggi”. Ide ini menarik untuk menarik gerbong
pendidikan tinggi kita dari situasi tidak menguntungkan belakangan ini.
Ketertinggalan
Dunia
pendidikan tinggi kita jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasar data
ScimagoJR, jumlah publikasi ilmiah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia.
Padahal tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. Indonesia
memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961.
Jarak
terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia
mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu
memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190.
Hal
serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS
misalnya, baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014.
Universitas di Indonesia yang masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71.
ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 dan 145. Bandingkan sekali lagi
dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di atas UI,
masing-masing UM, UKM dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66.
Penyebab Ketertinggalan
Salah
satu hal yang menyebabkan situasi di atas bertahan adalah paradigma dunia
pendidikan tinggi kita masih tak berbeda jauh dengan sekolah dasar dan
menengah, yaitu mengedepankan belajar-mengajar. Dosen masih dianggap sebagai
pengajar yang tugasnya hanyalah mengajar. Datang ke kampus untuk mengajar dan
kemudian kembali beraktivitas di luar kampus.
Hal ini
ditunjang oleh masih kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan riset,
membaca ataupun menulis. Sebuah survei dengan populasi dosen-dosen yang
tergabung di Grup Dosen Indonesia menunjukkan 39% dosen tak memiliki meja
kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama- sama.
Sebanyak
35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26%
yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua
orang dosen. Jadi, bagaimana kita mau berbicara hal-hal yang canggih di dunia
pendidikan tinggi ketika sarana dasar berupa meja kerja untuk membaca,
menulis, atau membimbing mahasiswa dengan layak saja masih jadi persoalan
besar bagi sebagian besar dosen di Indonesia? Minimnya aktivitas dosen di
dalam kampus selain untuk mengajar juga berangkat dari rendahnya tingkat
kesejahteraan.
Rendahnya
kesejahteraan memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah
pendapatan, mulai jadi pengamat, buka warung sampai menjadi konsultan. Dosen
seharusnya bisa fokus bekerja di satu tempat.
Energinya
bisa dicurahkan secara maksimal sehingga bisa menghasilkan karya-karya ilmiah
berkualitas. Pemerintah memang memiliki proyek sertifikasi dosen. Namun
antrean dosen mengikuti sertifikasi ini amat panjang. Menurut data Dikti
(2014) jumlah dosen di Indonesia yang belum tersertifikasi mencapai 61%.
Jikapun
sudah bersertifikasi, tunjangan profesi dihentikan ketika menjalankan tugas
belajar. Ironisnya lagi, bagi dosen berstatus PNS, mereka juga
didiskriminasikan dengan tidak diberikannya tunjangan kinerja yang secara
umum menjadi hak sebagai PNS. Sementara itu, tunjangan fungsional dosen tidak
pernah dinaikkan sejak 2007 sampai sekarang. Situasi ini tentu saja sulit
menarik anak-anak muda terbaik bangsa untuk berkarier di dunia akademik.
Beban Administratif
Persoalan
lain juga adalah banyaknya beban administratif. Selain disibukkan dengan
penelitian dan pengajaran, dosen juga disibukkan dengan mengisi berbagai
isian dan berkas-berkas. Belum lupa rasanya bagaimana dunia pendidikan tinggi
dihebohkan oleh kewajiban bagi seluruh dosen untuk mengisi Sistem Informasi
Pengembangan Karier Dosen (SIPKD). Kewajiban tersebut membuat para dosen
pontangpanting memindai berbagai berkas seperti SK dan berbagai sertifikat,
kemudian mengunduhnya ke laman SIPKD.
Akibatnya
server jebol berulang kali dan program tersebut tak jelas rimbanya.
Aspek-aspek administratif yang melelahkan juga akan terus terjadi sepanjang
karier dosen dalam proses pengajuan kenaikan jabatan fungsional. Berniat naik
jabatan fungsional berarti juga menyiapkan diri mengumpulkan berkas yang
tercecer mulai dari ijazah, jurnal, SK mengajar, jadwal mengajar sampai
sertifikat menjadi pembicara di berbagai seminar.
Upaya Pemerintah
Celakanya,
cara pemerintah menyikapi rendahnya kualitas dan kuantitas riset dan
publikasi dilakukan dengan cara yang cenderung instan. Dirjen Dikti,
misalnya, mengeluarkan Surat Edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban
menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S- 1, S-2, dan S-3 dengan alasan
ketertinggalan dari Malaysia.
Akibatnya,
di berbagai kampus dibuatlah jurnal-jurnal tanpa proses peer review untuk
menampung skripsi dan tesis mahasiswa. Namun, tak banyak program S-3 yang
mengikuti kewajiban publikasi di jurnal internasional.
Bagi
yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam perangkap
jurnal predator. Namun, yang harus dihargai dari upaya pemerintah adalah
memberikan beasiswa kepada para dosen dan calon dosen.
Ribuan
dosen mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di dalam dan luar negeri baik di
tingkat master dan doktoral, walaupun pengelolaan beasiswanya masih jauh dari
harapan. Bagaimanapun, ini menjadi investasi yang luar biasa di tengah postur
dosen Indonesia yang didominasi oleh dosen bergelar S-2 yang mencapai 59%,
diikuti S-1 (25%) dan S-3 yang hanya 11%.
Peluang
Apakah
lantas tak ada peluang bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk
menggeliat dan bangkit? Tentu saja ada. Jika jadi dibentuk, Kementerian Riset
dan Pendidikan Tinggi mesti mulai menata ulang dunia pendidikan tinggi. Harus
ada cetak biru yang didasarkan pada akar persoalan di lapangan.
Pembenahan
infrastruktur riset, fasilitas dasar bekerja bagi dosen, peningkatan
kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan menjadi hal yang utama. Harus ada
juga terobosan administratif sehingga terbuka ruang bagi ilmuwan cemerlang
dan anak-anak muda berpotensi untuk terserap menjadi dosen tetap.
Ya,
sistem rekrutmen dosen yang kaku (seperti rekrutmen birokrat) dan
mengedepankan aspek administratif justru menghambat para ilmuwan dan calon
ilmuwan cemerlang untuk berkarier di dunia akademik di Indonesia.
Hambatan
administratif ini mesti dibongkar karena dalam beberapa tahun ke depan
Indonesia sesungguhnya akan mengalami keberlimpahan anak muda bertitel doktor
dari dalam dan luar negeri, dari berbagai program beasiswa.
Selain
itu, terbuka pada pengembangan keilmuan yang semakin multidisiplin juga
menjadi hal yang utama. Pendekatan jurusan/departemen secara kaku dalam
proses rekrutmen dosen mesti digantikan dengan rekrutmen berdasarkan keahlian
dan portofolio.
Berdasarkan
portofolio, seorang ilmuwan cemerlang bereputasi internasional yang telah
menghasilkan puluhan paper di jurnal bereputasi tak harus memulai dari
jenjang asisten ahli, tapi bisa langsung menjadi lektor kepala atau profesor.
Jika hal-hal di atas bisa jadi komitmen pemerintahan baru, bolehlah
kita berharap pada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang akan
dibentuk. Jika diabaikan maka yang terjadi hanya memindahkan masalah, atau
bahkan memperpanjang jalur birokrasi pendidikan tinggi belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar