Memperkuat
Relasi Sosial
Rahmat Hidayat ; Bekerja di Kemenpera;
Dosen Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah-Jakata
|
REPUBLIKA,
06 Oktober 2014
Hari
Raya Idul Adha merupakan hari yang diagungkan oleh seluruh umat Islam di
dunia. Ada dua peristiwa yang berkaitan dengan Idul Adha, yaitu pelaksanaan
ibadah kurban dan ibadah haji. Oleh karena itu, Idul Adha disebut juga dengan
hari raya haji.
Ibadah
haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi segenap umat Islam
yang telah memenuhi syarat yaitu mampu
(Qistithaah badaniahS Ali Imran [3]: 97), baik mampu harta (istithaah maaliah), mampu
akal (istithaah aqliah) dan mampu badan () dan cukup sekali seumur hidup.
Bagi umat Islam yang sudah memenuhi syarat, Rasulullah SAW memerintahkan
untuk menyegerakan berhaji. Demikian pula Allah SWT perintahkan kita umat
Islam melaksanakan ibadah kurban (QS Al-Kautsar [108]: 1-3). Bahkan,
Rasulullah SAW mengancam orang yang tidak mau berkuban padahal dia mempunyai
kelapangan rizki, dengan sabdanya: "Barang siapa yang mempunyai
kelapangan rizki dan dia tidak berkurban, hendaklah ia tidak mendekat ke
tempat shalatku."
Salah
satu rukun haji yang mutlak harus dilaksanakan oleh setiap jamaah haji adalah
wukuf di Arafah. Sehingga, bagi mereka yang kurang sehat pun diwajibkan hadir
melaksanakan ibadah wukuf melalui bantuan tandu, kendaraan ambulans, sehingga
dikenal dengan istilah "safari wukuf".
Secara
bahasa, wukuf bermakna berhenti, diam tanpa bergerak. Secara istilah, wukuf
adalah berkumpulnya seluruh jemaah haji dari berbagai penjuru dunia dengan
berbagai latar belakang budaya, warna kulit, negara, bahasa, dan sosial
politik di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah. Hari itu merupakan puncak
ibadah haji, sehingga Rasulullah SAW bersabda, "Al haju Arafah,"
haji adalah wukuf di Arafah. (HR Bukhari-Muslim).
Wukuf di
Arafah merupakan momen yang sangat penting bagi seluruh jamaah haji yang
datang dari berbagai belahan dunia. Mereka berpakaian yang sama, pakaian
ihram—warna putih, tidak berjahit (untuk laki-laki), pakaian yang kelak akan
dipakai ketika menghadap Allah 'Azza wa Jalla, pakaian yang menandakan
kesamaan dan kesejajaran (egalitarianisme) di antara umat Islam, sehingga
tidak ada lagi sekat-sekat sosial di antara mereka, semuanya sama. Mereka
hadir dengan tujuan yang sama, mendekatkan diri (taqarrub/) serta memohon
ampunan Allah.
Wukuf di
Arafah adalah momen sangat tepat untuk untuk saling mengenal dan silaturahim di antara jamaah
haji sesuai dengan makna "arafah-taarruf" (saling mengenal). Dengan
demikian, wukuf di Arafah merupakan muktamar akbar bagi umat Islam dari
seluruh dunia dan menjadi momentum memperkuat relasi sosial umat Islam. Wukuf
di Arafah juga momentum bagi para
jamaah haji untuk melakukan ihtisab, merenung kembali akan eksistensi mereka
sebagai hamba Allah SWT, mereka seakan melakukan gladi resik tentang apa yang
akan terjadi kelak ketika dibangkitkan di hari akhir.
Kemudian,
dari sekian rangkaian ritual ibadah haji, kurban adalah simbolisasi klimaks
dari rangkaian ujian berat yang dialami Nabi Ibrahim untuk menyembelih
anaknya, Ismail, yang dilaksanakannya karena semata-mata taat kepada Allah.
Peristiwa ini merupakan suri teladan dari seorang ayah dan anak yang taat
kepada Allah. Peristiwa tersebut diabadikan oleh Allah dalam Alquran (QS
Ash-Shaffat [37] :102 -108).
Bagi
Ibrahim, Ismail bukan sekadar anak, melainkan juga idaman hati, pelipur lara
dan teman perjuangan melawan penindasan Namrudz dalam menegakkan kalimat
tauhid. Inilah ujian sebenarnya (al-bala al mubin) yang disebut jihad akbar,
yaitu jihad melawan hawa nafsu yang sering menguasai manusia serta menjauhkan
mereka dari Tuhannya. Karena ketabahan dan keikhlasannya, Ibrahim berhasil
melewati ujian berat tersebut sehingga Allah menggantinya dengan seekor
binatang sembelihan, yang kemudian dijadikan simbol untuk mendekatkan diri
kepada Allah sebagaimana terkandung dalam makna "qurban" itu
sendiri.
Hikmah
yang terkandung dalam dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail memberikan
pelajaran kepada kita bagaimana membangun semangat dialogis antara orang tua
dan anak serta bagaimana pentingnya memanamkan ketaatan kepada Allah dan
orang tua sejak usia dini. Dengan bekal taat tersebut, Ismail siap membantu
ayahnya melaksanakan perintah Allah SWT. Ibadah kurban juga mengajarkan kita
semangat berbuat baik dan berbagi sebagaimana disiratkan Al-qur'an: … dan
makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah orang-orang melarat dan
fakir (QS 22: 28).
Dengan
demikian, esensi yang terkandung dalam ibadah kurban memberikan pesan moral
agar setiap pribadi memiliki kesiapan mental untuk senantiasa menaati
perintah Allah SWT. Dalam konteks demikian, maka ibadah kurban akan
memperkuat kesalehan spiritual kita (hablun min Allah).
Ibadah
kurban juga memupuk kita memiliki empati dan tanggung jawab sosial yang
tinggi. Dengan berempati dan bertanggung jawab, kita merasakan denyut
penderitaan orang lain, dan sekaligus berusaha untuk mengatasinya. Dengan demikian,
maka ibadah kurban akan dapat meningkatkan kesalehan sosial kita.
Rasulullah
SAW adalah contoh teladan bagi kita, bagaimana jiwanya senantiasa bergetar
setiap kali melihat penderitaan umatnya, dan beliau selalu berusaha
membantunya. Demikian pula yang dicontohkan oleh Sayyidina Umar, yang setiap
saat siap menderita karena ingin merasakan penderitaan umatnya, dan sekaligus
beliau siap berdiri di garda terdepan membantu meringankan dan mengatasi
beban penderitaan umatnya.
Inilah sikap berkorban dari para pemimpin yang sangat peka dan
bertanggung jawab terhadap penderitaan rakyatnya. Sikap seperti ini pula yang
dibutuhkan pada saat ini, yakni pemimpin dengan keteladanan, pemimpin yang
bertanggung jawab dan siap berkorban untuk rakyatnya, serta siap menderita
dan menunda kepentingan pribadi, keluarga, serta golongannya, demi
kepentingan masyarakat luas, karena sadar bahwa dirinya adalah pelayan yang
dipilih oleh tuannya—rakyat. Semoga Hari Raya Idul Adha ini menjadi momentum
bagi kita dalam membangun dan memperkuat relasi sosial, menuju kehidupan yang
lebih baik dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar