Selasa, 14 Oktober 2014

Duka Tumbak dalam Serbuan Tambang

                    Duka Tumbak dalam Serbuan Tambang

Max Regus  ;   Pernah Meneliti Resistensi Lokal dan Tambang di Flores (2009-2010),
Kandidat Doktor Graduate School for Humanities, Universitas Tilburg, Belanda
KOMPAS,  11 Oktober 2014

                                                                                                                       


Dentingan nestapa itu sedang mengalun dari Tumbak, sebuah kampung kecil di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan kepala keluarga tidak lebih dari 70-an, pendapatan berkisar dari Rp 400.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan dan mata pencarian bertani, kampung kecil ini sedang mengirimkan pesan penting ke pusat kekuasaan.
Pada hari-hari ini, ketika para penguasa sedang sibuk membincangkan posisi politik, sejumlah kecil warga bangsa terkurung dalam ruang kepedihan. Sesuatu yang terus berulang dalam beberapa tahun belakangan ini. Itu terjadi ketika industri tambang mengepung dan merobek pulau kecil di ujung timur Indonesia itu.
Pembantaian ekologis
Dalam catatan sejumlah aktivis antitambang di Flores, kemunculan sekian banyak korporasi sejak tahun 2007 sudah mengundang keprihatinan.
Kampung Tumbak, dalam artian keseluruhan komunitas sosial termasuk hak ulayat atas kawasan, menjadi incaran utama perusahaan tambang.
Dalam konteks pemekaran wilayah, Tumbak berada di daerah pemekaran, Manggarai Timur. Kondisi transisi politik lokal ini memberikan peluang kepada pelaku tambang untuk masuk dan kemudian merusak pertahanan masyarakat lokal di sana. Dari tahun ke tahun, korporasi tambang terus berusaha mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah daerah Manggarai Timur.
Secara formal yuridis, korporasi tambang kemudian menggenggam hak eksplorasi tambang di Tumbak. Bayangan kerusakan segera mengintai masyarakat dan lingkungan hidup. Kawasan incaran perusahaan tambang langsung berhubungan dengan wilayah pendukung aktivitas pertanian warga. Pembantaian ekologis (ekolosida) bergerak dengan cepat dan mencuri masa depan warga lokal.
Ironisnya, ketragisan ekologis ini dibingkai oleh IUP dari pemerintah daerah. Dengan secarik kertas IUP di tangan, perusahaan tambang seolah memiliki privilese mendapatkan pengawalan dari pihak keamanan.
Inilah yang saat ini menjadi salah satu persoalan krusial dalam konteks duka Tumbak.
Dari kacamata masyarakat dan kelompok advokasi, kepolisian dianggap telah menunjukkan keberpihakan kepada korporasi tambang. Mereka lebih sering tampil sebagai alat yang memperlancar operasi perusahaan tambang ketimbang menghadirkan rasa aman bagi masyarakat.
Perlawanan masyarakat, yang kemudian cenderung berujung pada konflik terbuka, terjadi pada 13 September 2014 ketika Pastor Simon Suban Tukan, salah seorang aktivis Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Flores, mengalami kekerasan.
Berkaitan dengan kejadian ini, sejumlah jaringan advokasi penentang tambang di Flores mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk membatalkan semua IUP. Bahkan, Komnas HAM yang melakukan investigasi atas persoalan Tumbak merekomendasikan moratorium eksplorasi dan eksploitasi tambang di kawasan ini.
Politik lokal
Sekurangnya, dalam konteks tragedi Tumbak, pemerintah lokal selalu mengajukan dua argumentasi unggulan dalam mendukung operasi perusahaan tambang.
Pertama, pemerintah lokal tidak dapat menghalangi UU yang memberikan basis yuridis-formal bagi keberadaan investasi tambang. Padahal, sebenarnya argumentasi ini bisa dipatahkan dengan pernyataan fundamental tentang karakter sosio-kultural masyarakat. Masyarakat agraris dengan paham kosmologis yang tertaut erat dengan alam sekitar menghadapi keterancaman dengan kehadiran mesin tambang di pulau kecil itu.
Kedua, alasan percepatan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi selalu diletakkan di belakang izin yang diberikan kepada perusahaan tambang di Flores. Tambang akan menghadirkan volume kemakmuran bagi masyarakat Flores.
Hingga sekarang, argumentasi ini belum menghadirkan pembuktian sahih selain semakin banyak kawasan yang berubah rupa menjadi lubang-lubang raksasa. Kerusakan area penyanggah kultur masyarakat agraris justru mengancam klaim logika kesejahteraan ekonomi.
Maka, rakyat banyak berharap pada kehadiran pemerintahan baru yang memiliki ikhtiar memperkuat dan membangun kampung (desa). Dengan demikian, kisah serupa Tumbak seharusnya segera mendapatkan jalan keluar terbaik.
Pertanyaannya adalah apakah pemerintah daerah masih berkukuh mengeluarkan IUP dengan logika percepatan kemakmuran ekonomi warga desa dengan akan hadirnya dana semiliar rupiah per tahun yang akan masuk ke kampung-kampung kita?
Pemerintahan Jokowi-JK harus menyikapi deretan ekolosida yang tergelar semakin ramai di pelosok-pelosok negeri akibat meriahnya salah kaprah kepemimpinan politik lokal.
Politik lokal kerap memunculkan tengkulak politik lokal yang dengan mudah menggadaikan kuasa mereka untuk menerbitkan IUP dengan kemudahan-kemudahan ekonomis di depan mata mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar