Senin, 13 Oktober 2014

Diplomasi Kurban

                                                    Diplomasi Kurban

Ahyudin  ;   Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT)
KORAN SINDO,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Ajaran Allah, bahkan yang sunah sekalipun, niscaya punya dampak luar biasa. Salah satu yang sunah itu: ibadah kurban. Kalau impact kurban tidak luar biasa, bukan salah ajaran. Dalami diri, mungkin sekali kurban biasa-biasa saja impact -nya karena kita belum berpikir dan bekerja total untuk itu. Yakinlah, kurban itu luar biasa.

Seperti apa? Awal 1990-an silam, terbayangkah orang Indonesia yang bukan sedang berhaji, memotong kurban di luar negeri? Lalu waktu bergulir. Sejarah baru kurban, berkembang: rakyat Indonesia bisa berkurban untuk Indonesia dan dunia. Bukan hanya di sekitar tempat tinggalnya. Kurban beredar ke sejumlah kawasan yang sedang dilanda krisis kemanusiaan. Bukan kambing atau sapi Indonesia diekspor. Di sejumlah wilayah sasaran, ada mitra lokal yang belanja hewan kurban.

Ekonomi pun berputar di wilayah sasaran. Ada kemudahan bertransaksi: internet banking , transfer, sampai pembayaran dengan kartu kredit bahkan jemput donasi (dana pekurban dalam hal ini disebut donasi) di wilayah tertentu. Kurban bukan hanya dibedah dari dimensi spiritual/ritual, apalagi sekadar ekonomi semata. Ini tentang dimensi kemanusiaan global. Apa hakikat diplomasi atau hubungan internasional? Bagi pegiat kema-nusiaan, diplomasi itu demi kemanusiaan.

Politik, keamanan nasional, ekonomi luar negeri, dan berbagai alibi hubungan internasional tak lain demi menyamankan makhluk manusia. Diplomasi itu jembatan kemanusiaan, bahkan kerja nyata kemanusiaan berskala global. Bukan diplomasi kalau tujuannya menekan dan memicu ketidaknyamanan global. Kurban global dalam manajemen kemanusiaan merupakan diplomasi nyata kemanusiaan.

Menebar keriangan di kantong-kantong pengungsian, bahkan di perbatasan negeri lain yang rawan kekerasan dengan daging kurban, mengandung dimensi diplomatik, lebih dari sekadar karitatif. Pertama, kehadiran pegiat kemanusiaan Indonesia, mewakili entitas Indonesia. Bangsa besar ini, sekalipun hadir sedikit orang, di kancah kemanusiaan, teresonansi sebagai sebuah wujud kepedulian. Ia menggemakan perhatian dan pembelaan atas krisis di sebuah negeri, atas nasib yang menimpa umat manusia di mana pun.

Lebih dari sekadar hadirnya diplomat formal yang tentu punya akses di forumforum kenegaraan, pegiat kemanusiaan ini mempersembahkan kurban dari rakyat Indonesia. Berkilo-kilogram, bahkan berton-ton daging korban, diterima tangan-tangan kurus korban perang di perbatasan Suriah, di tengah sekumpulan janda Palestina korban serangan Israel di Gaza, atau pengungsi nan malang Somalia dan di banyak tempat lainnya di dunia. Sampainya kurban ini menjadi percikan pembakar semangat kepedu-lian. Lebih dari sekadar cerita tentang sekerat daging dan seulas senyuman.

Ada narasi hebat tentang umat manusia yang terlunta-lunta, terabai bahkan terancam hidupnya. Dan putra-putra terbaik Indonesia, mengendarai kurban itu untuk menyapa dan memicu senyum bahagia; pun doa tulus dipicu rasa syukur dari mereka yang dilanda nestapa. Kedua, perjalanan kurban Indonesia ke ranah global sejatinya juga kisah tentang stimulan kebijakan luar negeri banyak bangsa; bangsa yang negerinya menjadi kawasan implementasi korban—selayaknya berpikir keras untuk segera mengakhiri kemelut.

Malu sudah menjadi urusan negeri lain; setidaknya, bisa lebih serius menunjukkan jiwa kemanusiaannya. Kalau pun tidak, celah sedikit yang dilalui pegiat kemanusiaan menjadi ”lobang kecil” harapan yang menaikkan krisis laten itu menjadi isu kemanusiaan global. Siapa pun orangnya, di negeri mana pun ia hidup, sepanjang dipersepsikan memiliki kuasa dan dipandang mampu berkontribusi untuk memulihkan krisis kemanusiaan, juga tersentuh dan layak malu jika tak berkarya kemanusiaan. Ibarat kobaran api kebaikan, pegiat kemanusiaan— termasuk pembawa kurban global—adalah pemantik kecilnya sampai kebaikan meluas ke mana-mana.

Kerja kemanusiaan kurban global ini bukan semata-mata menyampaikan daging kurban, melainkan pada impact strategisnya: menstimulasi sikap dunia menjadi kian humanis dalam segenap wujudnya. Representasi masyarakat sipil lewat kurban global, distimulasi peran formal efektif negara asal juga. Indonesia dengan stimulasi kerja penuh dedikasi berani dan tulus pegiat kemanusiaan (salah satunya dengan program kurban global), menjadi makin punya alasan kuat menunjukkan peran lebih nyata. Suara nyaring itu disuarakan anak negeri, didukung beneficiares (penerima manfaat) dari banyak titik kritis kemanusiaan di banyak negara.

Kekuatan diplomasi people to people, meneguhkan dan melapangkan jalan diplomasi goverment to government—bahkan dalam banyak kasus, kekuatannya melebihi diplomasi bussines to bussiness yang jauh lebih banyak mendapat dukungan dibanding terhadap kerjakerja kemanusiaan. Dalam banyak momentum kemanusiaan antarbangsa, pegiat kemanusiaan kebanyakan didukung kekuatan bersama masyarakat Indonesia.

Berbeda dengan relasi bisnis antarbangsa. Melalui artikel singkat ini, ingin saya sampaikan, di sejumlah negara, kekuatan masyarakat sipil—salah satunya dalam wujud formal organisasi nonpemerintah (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat, memperoleh dukungan signifikan pemerintah, badan dunia (di mana para petingginya juga senegeri asal dengan sejumlah NGO internasional) dan korporat. Sementara NGO Indonesia, elemen masyarakat sipil Indonesia mandiri dalam ikhtiar kerasnya mengedukasi publik mengamanahkan dukungannya.

Saatnya pemerintah dan korporat nasional adu kompak dengan kepedulian kemanusiaan bangsa-bangsa lain. Kurban kita adalah media diplomasi kemanusiaan: berkurban sembari menata perdamaian dunia. Global Qurban- ACT misalnya, sebagai salah satu pemain kurban global bentukan putra Indonesia, berupaya keras bekerja nyata mengelola isu kemanusiaan global dengan tekad bisa mengirim kurban ke 20 negara, termasuk di 29 provinsi di tanah Air. Semoga langkah ini menepis anggapan bahwa kurban sekadar ritual yang tak seberapa kontributif bagi perubahan sosial makro. Tanpa menepis tradisi berkurban di lingkungan sekitar, kurban global pun menjadi pilihan melipatgandakan maslahat kurban kita. Wallahu aWallahu alam bish-shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar