Senin, 13 Oktober 2014

Berkorban Demi Indonesia

                                       Berkorban Demi Indonesia

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Perubahan-perubahan peta kekuasaan, dari satu tangan ke tangan lain, dari satu rezim ke rezim lain, bukan hanya mengubah warna kehidupan, tetapi juga orientasi nilai, yang menjadi kiblat maupun ”ruh” kehidupan kita. Kita menyaksikan bahwa perubahan- perubahan peta kekuasaan itu menentukan jalannya kehidupan politik kira.

Hari ini kita pun menyaksikan tumbuhnya semangat berpolitik yang begitu tinggi. Tak perlu diragukan, mungkin ini tanda partisipasi politik di kalangan masyarakat kita makin meningkat? Tampaknya orang merasa ”terpanggil” untuk berpolitik. Dan makna berpolitik ini hanya berarti politik resmi, politik yang dilaksanakan melalui jalan partai politik. Tak mengherankan bahwa orang pun beramai-ramai masuk ke dalam partai politik. Orang dari berbagai profesi beralih ke dunia politik, dengan profesi baru: politisi. Sebagian, sambil menjadi politisi, mereka masih tetap memegang profesi lama, karena, barangkali, profesi sebagai politisi masih belum stabil bagi mereka.

Partai-partai pun penuh dengan orang-orang baru, wajah-wajah baru, dan mungkin dengan segenap idealisme baru. ”Idealisme baru?” ”Ya, idealisme dalam perjuangan politik.” ”Di mana letak idealismenya?” ”Di dalam perjuangan itu, yaitu bahwa berpolitik tidak semata mencari kekuasaan” ”Perjuangan politik memang untuk kekuasaan. Begitu dalil politik di mana politisi masa lalu, sementara jenderal masa lalu, dan pejabat negara masa lalu. Bagi mereka, kalau perjuangan politik memangnya buat apa bila bukan untuk kekuasaan?” Pandangan seperti itu, kirakira, yang membuat penguasa merasa telah berjuang keras dan tinggal menikmati kekuasaannya.

Di sana kekuasaan lalu berarti menindas, dan mengabaikan orang lain. Kekuasaan juga berarti menyimpang dari garis kehidupan dan aspirasi masyarakat. ”Tidak. Berpolitik bukan hanya buat meraih kekuasaan. Kekuasaan itu hanya tujuan antara. Tujuan akhirnya bukan kekuasaan, melainkan mengoperasikan kekuasaan secara adil dan manusiawi, dan penguasa merasa bahwa dirinya hanya instrumen kecil, dan ”abdi” dalam arti sebenarnya bagi seluruh rakyat, atau warga masyarakat, karena penguasa, setiap saat, hanya ”mengabdi” dan ”mengabdi” bagi kepentingan besar, dan bagi tujuan mulia, yang jelas lebih besar dan lebih mulia dibanding kepentingan pribadi, kelompok dan kepentingan partai.

Jika orientasi nilai kita tetap tak berubah, dan hingga hari ini kita berpendapat bahwa perjuangan politik itu semata untuk kekuasaan, maka sumber penyimpangan dan segenap watak otoriter itu tak akan pernah bergeser. Tiap penguasa selalu menyimpang, selingkuh dan korup. Kita sedang mengubahnya. Dan harus mengubahnya terusmenerus, jika langkah kita sekarang gagal. Kita berpolitik untuk mengabdi kepentingan negara. Indonesia kita bikin bersukacita. Hidup kita ini kita abdikan bagi kepentingan Indonesia.
Gairah berpolitik, wajah baru, idealisme baru, jelas merupakan modal besar. Barangkali ini modal yang tak ada, dan tak pernah ada di masa lalu, terutama di zaman Orde Baru yang kejam dan otoriter, yang menganggap penguasa sebagai raja diraja yang tak pernah tersentuh oleh siapa pun? Pejuang-pejuang politik di masa lalu begitu terbatas jumlahnya. Sekarang, dilihat dari konstelasi kehidupan partai-partai politik, maupun percaturan politik kita. Di mana-mana tampak kaum muda. Di mana-mana kelihatan jelas gejala peremajaan.

Di mana-mana kaum muda mendominasi berbagai posisi penting dalam partai, dan menjadi fungsionaris partai. Tanpa berjanji lebih dahulu, semua partai politik bisa disebut ”go green ”, mungkin bahkan dengan semangat ”evergreen ”. Kata ”green” di sini tepat, jika ”green ”, ”hijau ” hanya berarti muda, dan muda berarti semangat baru,orientasi nilai baru dan idealisme baru seperti disebutkan di atas. Dengan begitu Indonesia juga tampak ”green ”, segar, penuh gairah menghadapi tata ekonomi-politik dunia baru. Indonesia tidak bingung di dalam percaturan politik dan ekonomi global. Politisi tua, rata-rata kurang fasih berbicara tentang apa yang global. Kaum muda, lebih paham untuk diajak dalam permainan global itu.

Pada hari raya kurban ini, apa janji para politisi muda? Jangan berkata bahwa pada hari raya kurban ini Anda semua telah berkorban. Bukan itu yang relevan untuk dipersoalkan. Kurban dalam ibadah keagamaan itu perkara yang sudah jadi, sudah kita taati, sudah menjadi bagian dari jalan hidup kita. Jadi, dengan sendirinya, apa yang sudah jadi, tak perlu dipersoalkan lagi. Pada hari raya ini, adakah korban yang lain? Korban yang tak segera habis dimakan dalam sehari dua hari?

Korban yang melembaga, korban yang mapan dan strategis untuk menata kehidupan rakyat? Para politisi baru, yang memiliki semangat baru, orientasi nilai baru dan idealisme baru tadi, di dalam partai masing-masing, di dalam perjuangan politik mereka, semua telah menetapkan langkah politik untuk membikin Indonesia menjadi lebih makmur. Rakyat sehat. Bocah-bocah bersekolah. Buruh- buruh di luar negeri, pulang, kembali ke kampung halaman, dan bekerja di negeri sendiri. Bangsa Indonesia tak boleh menjadi buruh dan kuli di mana-mana.

Kita bisa memberi warga kita pekerjaan. Mereka bekerja di negeri kita sendiri. Kita bisa mengurusnya agar kita mandiri. Para politisi muda, dengan semangat baru, orientasi nilai baru dan idealisme baru, membikin ini semua sebagai jalan perjuangan politik mereka. Bagimu negeri, jiwa raga kami, bagi mereka bukan sekadar sebuah tembang, sebuah lagu. Bagimu negeri, jiwa raga kami itu kenyataan hidup, dan perjuangan politik sehari-hari. Mereka siap ”berkorban demi Indonesia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar