Minggu, 19 Oktober 2014

Dampak Ayah Pemarah

                                            Dampak Ayah Pemarah

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS,  12 Oktober 2014

                                                                                                                       


Ayah dan ibu adalah lingkung sosial pertama saat bayi dilahirkan. Kehadiran mereka serta pola interaksinya menggoreskan landasan dasar pemahaman anak tentang interaksi dua jenis kelamin dalam ikatan perkawinan.
Penghayatan emosional anak tentang dinamika interaksi ayah dan ibu akan berperan dalam perkembangan pola pandangan semesta (world view) khususnya tentang lelaki/perempuan, suami/istri, dan perkawinan.

”Ibu, apa yang saya khawatirkan, yaitu dampak negatif dari sikap pemarah ayahnya sejak anak masih kecil hingga saat ini, menjadi kenyataan. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi masalah tersebut yang saya hadapi dengan anak perempuan saya, Y, (31), sebagai anak sulung....”

Demikian Ibu X (59), dengan suara bergetar menahan tangis. ”Kami berkenalan saat bersekolah di perguruan tinggi, saat ini suami mengelola perusahaan yang sukses. Sementara saya juga memiliki perusahaan yang cukup maju, walaupun tidak sebesar perusahaan suami saya. Pada dasarnya suami saya secara umum adalah lelaki yang baik hati, dalam artian ia seorang suami yang bertanggung jawab secara finansial pada keluarga. Penghasilan yang ia dapatkan pun sebagian besar diserahkan kepada saya. Saya dan anak-anak bebas menggunakannya, untuk segala keperluan. Anak-anak pun bersekolah, lulus dengan hasil baik, dan saat ini mereka sudah kembali ke Indonesia dan tinggal bersama di rumah kami. Selama hampir 35 tahun menikah, ia tidak pernah berselingkuh, setia, dan jujur kepada keluarga.

Namun, yang menjadi masalah saya adalah bahwa ia seorang yang pemarah, sangat emosional. Misalnya, salah satu makanan yang tersedia di meja belum dilengkapi sendok, maka ia bisa marah besar, teriak, dan memaki tanpa kendali. Saya sering terkaget-kaget dan tidak siap menerima umpatannya. Saat kami masih muda, saya sering melawan, tetapi reaksinya semakin keras, yang membuat saya ketakutan dan akhirnya terdiam. Setiap bangun pagi saya menjadi ketakutan, takut salah dan selalu berusaha untuk sepatuh mungkin kepada suami, walaupun masih sering gagal dan dimaki tanpa ampun.

Ibu bisa bayangkan bagaimana ketakutan yang diderita anak-anak kalau melihat ayahnya seperti itu. Pernah suatu saat, karena saya masih di luar rumah, anak perempuan saya menyediakan mi untuk ayahnya, apa yang terjadi, karena kuah mi tersebut tidak tersedia, ayahnya marah dan mangkok mi ditumpahkan di meja. Anak saya begitu terkejut dan menangis keras dan marah sekali kepada ayahnya. Preseden ini rupanya membuat hati Y sangat terluka batinnya dan hal ini berdampak tidak sederhana bagi perkembangan world view anak, khususnya tentang lelaki.

Kecuali itu, suami saya pun sama sekali tidak pernah menghargai kinerja saya, terutama kalau ia melihat apa yang saya hasilkan dalam kerja tidak sesuai dengan harapannya, sering saya dimaki tanpa perasaan, di hadapan teman, pekerja, anak-anak, bahkan di depan asisten rumah tangga sekalipun.

Sakit hati saya, tetapi saat ini saya merasa air mata saya sudah kering. Saya hampir tidak bisa menangis lagi, tetapi akibatnya adalah saya sangat membenci dia, tidak sedikit pun tersisa rasa kasih sayang. Saya enggan melayani kebutuhan intimnya. Kami sudah tidak pernah bermesraan lagi. Beberapa kali anak-anak membela saya, melalui SMS yang dikirim kepada ayahnya, dia berusaha membaik beberapa hari, tapi kemudian kembali pada sifat aslinya.

Masalah yang saya hadapi saat ini ialah, hingga seusia tersebut, anak sulung saya (Y) belum pernah menjalin hubungan berpacaran serius. Sikapnya terhadap teman lelakinya sekadar teman biasa. Ternyata kondisi ini pun membuat dia mendapat cercaan ayahnya. Ia dikatakan sebagai seorang gadis yang tidak bisa bergaul, tidak bisa mengurus penampilan, sehingga kurang menarik bagi lelaki.

Psikoanalisis

Dari perspektif psikoanalisis, dapat dijabarkan bahwa perilaku ayah yang pemarah, melecehkan figur perempuan, dalam hal ini ibunya bahkan dirinya sendiri. Ibu adalah sosok istri patuh, cantik, suka berdandan, berprestasi dalam perusahaannya, tetapi tetap mendapat makian, hinaan oleh ayahnya. Rupanya kondisi tersebut secara perlahan terinternalisasi dalam aspek fungsi kepribadian anak perempuan sulungnya tersebut, dan mendukung terbentuknya world view yang negatif tentang figur lelaki dalam benak Y.

Apalagi sikap otoriter dan dominan dari ayah begitu keras dan sangat intens, membuat ibunya tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut memungkinkan proses identifikasi Y untuk tujuan mengambil alih hakikat karakter feminin dari figur ibu pun mengalami distraksi sehingga tanpa disadari tumbuh pula penolakan diri secara sadar untuk berperilaku feminin. Untuk itu, Y mengungkap world view-nya kepada ibunya:

”Lelaki itu maunya apa ya, Mama? Mereka mau istri cantik, harus bisa dandan, punya tampilan fisik prima, pintar, patuh, semua yang terbaik bagi dirinya, tapi mereka tetap memiliki kekuasaan untuk bersikap sewenang-wenang memperlakukan istri. Wah, saya enggak sanggup, saya enggak mau kawin.”

Saran solusi

1. Bisa dibayangkan betapa terkejutnya sang ibu (X) mendengar ungkapan tegas anak perempuannya, walaupun ungkapan tersebut sebenarnya sudah diantisipasi sejak sang ibu sadar akan kemungkinan pengaruh negatif bagi bentukan world view anak perempuan tentang lelaki, yaitu saat anak melihat, menyaksikan, bahkan sering mendengar makian dan cercaan ayah terhadap ibu. Untuk itu, tentu saja ibu membutuhkan konseling psikologi.

2. Bagi Y, seyogianya juga menjalani psikoterapi intensif demi mampu menempatkan world view negatif yang terbentuk tentang lelaki dalam proporsi yang tepat, agar tidak berpengaruh pada penentuan pilihan hidupnya di kemudian hari sehingga pilihannya lebih menjanjikan peluang perolehan kualitas hidup yang berfungsi optimal, sambil seraya memiliki kondisi psikologis yang sehat dan berfungsi secara optimal pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar